Puisi-Puisi Willy Pramudya
(tanpa judul)
kami berebahan di tempat tidur
bercerita dan bercanda
tiba-tiba telunjuknya menunjuk langit-langit
lihat ikan-ikan di langit itu, ayah
mereka berenang; terus menari-nari
ssst dengar, mereka juga menyanyi
aku mau ikut ke sana, ayah
berenang, menari, terus menyanyi
lalu ia menyebut kawanan domba
berbaris merumput di padang luas
lihat burung-burung itu
main petak umpet dengan ikan-ikan
menyelinap di antara domba-domba, katanya
langitnya biru, ayah, semua biru
tiba-tiba matanya menerobos lubang atap
mengintip langit di luar;
terdiam sekejap. lalu bertanya:
kenapa langit di sana selalu gelap
(terpublikasi 13 Juli 2016, pukul 23:11)
Wajah
Kita adalah bayi
yang dicuri dari rahim ibu
untuk memunggungi masa lalu
yang tak pernah kita lintasi
Kita adalah kanak-kanak
yang diculik dari taman bermain
menghapus mimpi bintang-bintang
yang tak pernah terhampiri
Kita adalah remaja
yang dicabut dari kelompoknya
dibuang ke mal-mal dan kafe
yang menyaru jadi ibu asuh
Kita adalah muda-mudi
yang dirampok di lorong waktu
untuk diperosok ke lubang hitam
yang tak menemu jalan pulang
Kita adalah kaum tua
yang kehilangan peta ziarah
bergegas mengubur silsilah
yang tak tertulis dalam sejarah
Kita adalah wajah-wajah terserak
tanpa bentuk tuna rupa
gelagapan mencari sangkan paran
yang ditinggalkan tanpa tujuan
Matraman, 060716
(terpublikasi 6 Juli 2016, pukul 14:37)
(tanpa judul)
Barangkali inilah nasib itu
kita menyatukan segala perkara
perbedaan-perbedaan mustahil
deret angka-angka yang muskil
tapi aku sudah meneken kontraknya
dan kamu mengamininya dengan air mata
Barangkali inilah suratan itu
kita saling membenturkan kepala
atau meremas dada
meski kepala dan rasa sulit bersatu
tapi aku sudah meneken kontraknya
dan kamu mengamininya dengan bibir tergetar
Barangkali ini garis hidup
kita terus saling mencakar
melemparkan panah berbisa
tepat di jantung kita
karena kita tak saling memahami
tapi aku sudah menekan kontraknya
dan kamu mengamininya degupan dada
Barangkali inilah takdir itu
kita mesti menyatukan dua kata terlarang
agama dan senggama
seperti api dan air; siang dan malam
tapi aku sudah meneken kontraknya
dan kamu mengamininya dengan desah rahimmu
(terpublikasi 27 Juni 2016, pukul 4:12)
Dan hujan tak turun di sini
Dan hujan tak turun di sini, Nak
tapi ombak dan buih masih berkejaran
menyeru dendam, menjemput pulang
ke rumah tua yang lama ditinggalkan
tempat rindu sepanjang-panjang dititipkan
bagi mereka yang lupa jalan pulang
Rasanya hujan takkan turun di sini, Nak
tapi angin dan rumput sabana saling berbisik
ingin benar mengantarmu terbang ke langit silam
tempat anak-anak membidikkan panah mimpi
menembus awan, mungkin surga atau taman abadi
hingga kau tiba, terbata-bata
Agaknya hujan tak ingin turun di sini, Nak
tapi bebatang perdu telah lama menunggu
bersama kawanan lembu yang kehilangan lenguh
tinggal upacara, menyisakan doa senja yang ringkih
bergetar di bibir nelayan sebelum musim mencumbu lautan
Dan hujan tak turun di sini, bersama kota yang membisu....
Kupang, 17 Juni 2016
(terpublikasi 19 Juni 2016)
* Willy Pramudya adalah mantan jurnalis yang sekarang aktif melakukan literasi media kepada masyarakat menjadi pengajar di beberapa universitas.