Independen --- Belakangan ini, kasus kekerasan seksual pada anak makin sering terdengar. Bahkan, hampir tiap pekan kita selalu mendengar kasus kekerasan seksual. Di institusi pendidikan misalnya, kasus kekerasan seksual muncul di beberapa pesantren yang seharusnya menjadi institusi melindungi anak. Kasus Hery Wirawan di Bandung adalah salah satu kasus kekerasan seksual dalam institusi pendidikan agama.
Selain di lembaga pendidikan, beberapa kasus kekerasan seksual pada anak, justru muncul di lingkungan keluarga. Keluarga yang seharusnya bisa menjadi tempat berlindung utama bagi anak pun, nyatanya belum bisa menjadi ruang aman, karena tak sedikit juga kasus kekerasan seksual yang terjadi dilakukan oleh orang tua atau saudara
Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) mencatat, dari 10.832 kasus kekerasan terhadap anak, 59,7 persen diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual.
Dalam laporan Covid-19 dan Anak-Anak di Indonesia yang dirilis oleh UNICEF (2020) menyebutkan bahwa selama masa pandemi Covid-19 terdapat krisis keamanan dan pengasuhan anak. Salah satu faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga pada anak-anak yakni pemberlakuan karantina wilayah. Hal ini memperburuk faktor risiko kekerasan anak di Indonesia yang sebelumnya sudah tergolong tinggi, yakni 60 persen. Bahkan dalam laporan itu tertulis bahwa 1 dari 9 perempuan yang telah menikah sebelum berusia 18 tahun memiliki kerentanan mengalami kekerasan rumah tangga.
Trauma kekerasan seksual yang terjadi pada anak bisa mempengaruhi tumbuh kembang mereka. Untuk mencegah kasus kekerasan seksual terus berulang, pencegahan kekerasan seksual harus menjadi tanggung jawab bersama. Di lingkungan keluarga misalnya, orang tua bisa membekali anak untuk menghargai ruang privat orang lain dan tidak mengajarkan anak untuk memaksa orang lain. Misalnya membiasakan diri untuk meminta izin anak ketika akan mencium mereka dan tidak memaksa memeluk apabila anak tidak mau. Hal ini penting agar anak mengenal batasan pada orang lain dan memiliki kontrol atas dirinya sendiri.
Lalu bagaimana jurnalis melindungi penyintas dalam peliputan kasus kekerasan seksual pada anak? Berikut beberapa kiat peliputan:
- Jurnalis harus melindungi identitas anak dan harus memperhatikan trauma atau stigma yang mungkin bisa terjadi pada anak. Hal yang bisa dikategorikan identitas anak yakni nama anak, nama orangtua, nama saudara, tempat tinggal, nama sekolah, atau ciri khusus pada anak.
- Jurnalis tidak boleh memaksa anak untuk berbicara atau bercerita tentang kasus kekerasan seksual yang Ia alami. Anak juga harus didampingi oleh orangtua yang dipercaya ketika melakukan wawancara.
- Jurnalis harus menyerukan hak-hak anak ketika mereka mengalami kasus kekerasan seksual, jangan hanya mengejar klik.
- Perhatikan keamanan anak saat melakukan wawancara, setelah wawancara, hingga ketika berita tersebut dipublikasi. Pastikan ada mitigasi yang baik terkait keselamatan mereka.
- Jurnalis harus menginformasikan dengan jelas bahwa wawancara itu dilakukan untuk pemberitaan yang kasusnya bisa tersiar secara nasional maupun internasional.
Saat melakukan peliputan kasus kekerasan seksual pada anak, jurnalis juga sebaiknya memahami undang-undang yang bisa menjadi payung hukum untuk mereka. Apa saja?
- Pasal 52 sampai 66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
- Pasal 76 C, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak