Oleh : Ferry
Sukabumiheadline.com – Mau tahu rahasia? Ternyata proyek strategis nasional (PSN) tidak menjamin kemakmuran daerah di sekitarnya sebagaimana didengungkan banyak orang. Tidak percaya? Mari berkunjung ke Kecamatan Kabandungan dan Kalapanunggal Sukabumi Jawa Barat.
Ada dua hal menarik di dua kecamatan ini.
Pertama, Kecamatan Kabandungan dan Kalapanunggal itu berada di sekitar lokasi wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Gunung Salak, dan menjadi PLTP terbesar di Jawab Barat.
Yang kedua, warga kecamatan itu tidak mendapatkan keuntungan dari tenaga panas bumi yang dihasilkan. Padahal proyek itu sudah peroperasi sejak 1984, bahkan sebelum puluhan PSN baru yang dicetus di era Presiden Joko Widodo. Kecamatan Kalapanunggal dan Kabadungan bertahan menjadi lumbung kemiskinan di Sukabumi hingga saat ini!
Penelusuran sukabumiheadline.com, kepala desa (kades) dan warga yang ditemui di dua kecamatan itu hanya mengetahui sumber anggaran yang bisa berdampak kepada masyarakat di sekitar perusahaan PLTP Gunung Salak adalah dana Corporate Social Responsibillity (CSR).
Ahmad Sukandi mengaku upahnya sebagai buruh perkebunan hanya Rp33 ribu per hari. Tak ayal, warga Pondok Beureum Kabandungan ini hanya mampu memberi pendidikan anaknya hingga SMP. Kondisi itu tidak hanya di alami oleh keluarganya, tetapi juga buruh perkebunan lainnya.
“Ya bagaimana kami bisa menyekolahkan anak, uang sebesar itu memang untuk makan saja pas-pasan. Jadi disyukuri saja,” kata Ahmad.
Mereka juga harus tinggal di rumah yang rawan ambruk. Rumah bedeng itu memang dalam kondisi lapuk dan rusak sebagian.
Ahmad Sukandi menyebut selama Star Energy Geothermal Salak (SEGS) beroperasi, warga tidak pernah tersentuh program CSR. Kondisi tersebut, menurutnya, berbeda dengan ketika Chevron Geothermal Salak, Ltd. beroperasi.
“Enggak ada, enggak pernah. Kalaupun ada pembagian zakat fitrah atau hewan kurban, itu biasanya dari Serikat Pekerja PT Indonesia Power,” ungkapnya.
“Bahkan, jalan ini saja, itu di-hotmix saat masih Chevron, kalau enggak salah sekitar tujuh tahun lalu. Kalau Star Energy enggak pernah,” pungkasnya seraya menunjuk jalan lingkungan selebar tiga meter yang terlihat masih beraspal mulus.
Dihubungi terpisah Kades Kabandungan, Bedi yang mengamini keluhan warganya.
“Ya begitulah kondisinya. Saya sih gak terlalu berharap ke Star Energy, makanya saya akan menggandeng IPB. Dalam hal ini IPB memiliki Program Desa Sejahtera Astra – IPB untuk melakukan penanaman pepaya California sebagai upaya kami untuk meningkatkan kesejahteraan warga,” ungkap Bedi di Desa Kabandungan.
Menurut Bedi pogram CSR menurun secara kualitas dan anggaran. Padahal sebelumnya, saat masih Chevron, program CSR disusun matang sejak masih tahap perencanaan, hingga eksekusi semua direncanakan dan diawasi cukup ketat.
Beralih ke Kampung Batu Gajah, Desa Walagsari, Kecamatan Kalapanunggal yang berbatasan langsung dengan Kampung Lio, Desa Tugubandung, Kecamatan Kabandungan, sebuah jembatan gantung yang sudah terlihat lapuk dengan alas papan bolong akibat patah di banyak bagian, membentang sepanjang 30 meter di atas Sungai Citarik dengan disangga sling baja yang terlihat sudah berkarat.
Jembatan Gantung Muara Lio tersebut tergolong vital karena setiap hari dilintasi untuk menyeberangi sungai oleh sekira 100 KK warga Walagsari dan 45 KK warga Tugubandung.
Menurut tokoh masyarakat setempat, Ade Rahmat, air sungai kerap tiba-tiba meluap dan nyaris rata dengan daratan. Sedangkan, jembatan lapuk tersebut setiap hari juga digunakan oleh pengendara sepeda motor dan pejalan kaki untuk menyeberang.
“Ya wajar lapuk, karena seingat Abah sih memang sudah sepuluh tahun lebih tidak diperbaiki,” kata pria 61 tahun yang biasa dipanggil Abah Ade itu.
Abah Ade menambahkan, sudah ada dua warga yang menjadi korban setelah terjatuh dari Jembatan Gantung Muara Lio ke aliran Sungai Citarik yang sedang meluap. Bahkan, salah seorang di antaranya langsung meninggal dunia sebab langsung terseret arus sungai.
Sebagai informasi, menurut UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), Pasal 74, meskipun SEGS telah mentransfer DBH dan BP Panas Bumi ke Pemkab Sukabumi, namun hal itu tidak menghilangkan kewajiban mereka dalam melaksanakan program CSR, demikian berlaku sebaliknya.
Pembangunan Infrastruktur yang Payah
Organisasi sipil Cinta Karya Alam Lestari (CIKAL) mencatat pembangunan infrastruktur dan layanan dasar di dua kecamatan ini justru masih jauh tertinggal dari kecamatan lain di wilayah utara Sukabumi yang tidak memiliki WKP PLTP sebesar Gunung Salak.
Direktur CIKAL, Didin Sa’dilah menjelaskan, sebagai perbandingan berdasarkan data yang dihimpunnya dari situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Pemkab Sukabumi, pembangunan infrastruktur di Kecamatan Kalapanunggal dan Kabandungan pada 2022 dari berbagai sumber anggaran, masing-masing Rp12.784.367.782,75 untuk Kalapanunggal dan Kabandungan Rp9.477.143.732.
“Dari nilai tersebut kami tidak menemukan anggaran yang bersumber dari Dana Bagi Hasil (DBH) Panas Bumi maupun dana Bonus Produksi (BP) Panas Bumi. Padahal puluhan miliar diterima Pemerintah Kabupaten Sukabumi setiap tahunnya,” ungkap Didin pada sukabumiheadline.com baru-baru ini.
Lembaganya kemudian melakukan advokasi agar ada perubahan kebijakan pengelolaan DBH dan BP Panas Bumi lebih berpihak kepada wilayah sekitar operasi geothermal.
“Kalapanunggal dan Kabandungan harusnya layak mendapatkan alokasi anggaran lebih besar dibanding daerah lainnya di Sukabumi,” kata Didin.
Tercatat sudah dua kali CIKAL yang berbasis di Desa Pulosari, Kecamatan Kalapanunggal ini melakukan audiensi dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sukabumi untuk menyampaikan tuntutannya tersebut.
Kepada sukabumiheadline.com, Didin merinci tiga tuntutan utama yang selalu disuarakannya kepada Pemkab Sukabumi. Pertama, selain dari sumber pendapatan APBD Kabupaten Sukabumi lainnya, CIKAL meminta agar Alokasi DBH Panas Bumi dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan layanan sosial dasar di Kalapanunggal dan Kabandungan.
“Kami meminta penambahan sekurang-kuranganya 70 persen dari nilai DBH Panas Bumi dari WKP PT Star Energy Geothermal Salak, Ltd. (SEGS) yang diterima Pemkab Sukabumi,” kata Didin.
Tuntutan kedua, kata Didin, CIKAL menuntut adanya penambahan dana BP Panas Bumi untuk Pemerintah Desa dari pembagian sekarang dengan mengurangi bagian dari Pemkab Sukabumi, agar pemanfaatannya terasa langsung oleh warga masyarakat Kalapanunggal dan Kabandungan.
Sedangkan ketiga, CIKAL mendesak adanya program pendampingan oleh berbagai CSO lokal Kabupaten Sukabumi terhadap pemanfaatan BP Panas Bumi dan DBH Panas Bumi di Kalapanunggal dan Kabandungan.
“Ini sebagai bentuk partisipasi publik secara langsung terhadap pengelolaan dua dana tersebut,” ucapnya.
Lumbung Kemiskinan
Dalam audiensi pertama CIKAL dengan Pemkab Sukabumi di Gedung Sekretariat Daerah (Setda) yang antara lain dihadiri Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Sukabumi, Ade Suryaman dan Plt. Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagin) Dani Tarsono pada Rabu (11/10/2023), Plt. Kepala Bappelitbangda Kabupaten Sukabumi, Aep Majmudin mengamini paparan yang disampaikan CIKAL.
Bahkan, Aep menyebut bahwa Kalapanunggal dan Kabandungan merupakan dua kecamatan yang menjadi lumbung kemiskinan di Kabupaten Sukabumi.
“Ini sangat mengkhawatirkan mengingat dua kecamatan ini, Kalapanunggal dan Kabandungan, merupakan lumbung kemiskinan. Sebagian besar mereka memang tinggal di dalam area perkebunan,” jelasnya.
Ironisnya, menurut data Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi Tahun 2021 dan Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) Tahun 2022, APBD Kabupaten Sukabumi pada tahun 2022 lalu menerima DBH Panas Bumi dari PLTP Salak dan lima PLTP lainnya di Jawa Barat sebesar Rp82.910.097.080,00, jumlah ini lebih kecil dari tahun 2021 yang mencapai Rp233.777.212.604,00.
“Membaca angka-angka tersebut, sangat pantas dan wajar jika Kalapanunggal dan Kabandungan memiliki infrastruktur dan layanan dasar, termasuk pendidikan dan kesehatan, yang semakin hari semakin baik sebagaimana tuntutan kami,” cetus Didin.
Perlu diketahui, sebagai PLTP terbesar di antara lima PLTP lainnya di Jawa Barat, PLTP Gunung Salak yang saat ini dioperasikan bersama oleh SEGS berdasarkan Kontrak Operasi Bersama dengan PT Indonesia Power (PT IP) memasok uap panas bumi untuk PLTP pada unit 1, 2, dan 3 yang dioperasikan PT IP dan mengoperasikan sendiri PLTP unit 4, 5, dan 6.
Secara keseluruhan menurut data dalam Sustainability Report SEGS tahun 2022, perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki PT Barito Pacific Tbk. (BRPT) itu memasok energi untuk jaringan listrik interkoneksi Jawa-Madura-Bali (Jamali) sebesar 381 MW yang dihasilkan dari 51 sumur produksi.
Dari operasi PLTP Gunung Salak, setiap tahun Pemkab Sukabumi mendapatkan dua penerimaan yaitu Dana Bagi Hasil dan Bonus Produksi Panas Bumi. Sedangkan, dari lima PLTP lainnya di Jawa Barat hanya mendapatkan DBH Panas Bumi.
Lantas, Berapa besarannya?
Merujuk pada ketentuan Pasal 118 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, DBH Panas Bumi berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang bersumber dari iuran tetap dan iuran produksi Panas Bumi dibagikan pemerintah pusat dengan ketentuan 20 persen untuk pemerintah pusat dan 80 persen dibagikan kepada pemerintah daerah.
Adapun ketentuan pembagian 80 persen DBH Panas Bumi untuk pemerintah daerah sebesar 16 persen untuk provinsi bersangkutan, 32 persen untuk kabupaten/kota penghasil, 12 persen kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil, 12 persen untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan, dan 8 persen dialokasikan untuk kabupaten/kota pengolah.
Selain DBH Panas Bumi, Pemkab Sukabumi juga juga menerima dana BP Panas Bumi. Dana ini diterima Kabupaten Sukabumi sebagai daerah penghasil bersama Kabupaten Bogor.
Dana BP Panas Bumi merupakan kewajiban keuangan yang dikenakan atas pendapatan kotor dari penjualan uap panas bumi dan atau listrik dari PLTP, ketentuan ini merujuk kepada Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2016 tentang Besaran dan Tata Cara Pemberian Bonus Produksi Panas Bumi, dengan pengenaan 1 persen atas pendapatan kotor dari penjualan uap panas bumi atau 0,5 peren atas pendapatan kotor dari penjualan listrik.
Adapun realisasi BP Panas Bumi dari SEGS yang diterima Pemkab Sukabumi menurut CIKAL, berdasarkan LHP BPK RI Atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kab. Sukabumi Tahun 2021, sebesar Rp11.198.213.971,00 (2020), Rp12.526.136.302,00 (2021) dan Rp11.008.568.447,00 (2022).
Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Bupati (Perbup) Sukabumi Nomor 33 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemanfaatan Dana Bonus Produksi Panas Bumi Kepada Pemerintah Desa, Pemkab Sukabumi menyalurkan 50 persen BP Panas Bumi kepada dua kecamatan tersebut. Sedangkan 50 persen sisanya dimanfaatkan Pemkab Sukabumi untuk membiaya program prioritas pembangunan daerah yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Adapun, 50 persen dana BP Panas Bumi yang diterima kedua kecamatan tersebut dibagi secara merata untuk 13 Pemerintah Desa di wilayah Kalapanunggal dan Kabandungan.
“Karenanya, kami mendesak adanya penambahan dana BP Panas Bumi untuk 13 Pemerintah Desa dari pembagian sekarang agar pemanfaatannya lebih terasa oleh Pemerintah Desa dan masyarakatnya,” tegas Didin.
Tuntutan CIKAL tersebut, lanjut Didin, bukan tanpa alasan. CIKAL memilki data pembanding, yaitu Pemkab Bogor yang sudah menaikkan alokasi BP Panas Bumi untuk 15 Desa di Kecamatan Pamijahan, yang juga merupakan WKP dari SEGS.
Lewat Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pemanfaatan dan Penyaluran Bonus Produksi Panas Bumi dari SEGS, Pemkab Bogor telah menaikan alokasi untuk desa menjadi 70 persen, dari sebelumnya yang hanya 40 persen.
Tuntutan CIKAL tersebut direspons Pemkab Sukabumi dengan janji akan mempelajari kemungkinan merevisi Perbup Sukabumi Nomor 33 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemanfaatan Bonus Produksi Panas Bumi, terkait tuntutan kenaikan alokasi untuk desa menjadi 70 persen, dari saat ini yang hanya 50 persen.
Hal itu disampaikan Sekda Kabupaten Sukabumi, Ade Suryaman, saat audiensi kedua CIKAL dengan Pemkab Sukabumi di Pendopo Kabupaten Sukabumi, pada Desember lalu.
Namun demikian, Ade mengaku membutuhkan masukan dan akan menjaring aspirasi dari para kepala desa di Kalapanunggal dan Kabandungan.
“Walau bagaimanapun kami harus mendengar masukan dari para kepala desa karena angka saat ini (50 persen-red) juga merupakan aspirasi mereka,” jelas Ade.
Respons SEGS
Sementara itu, Public Affair and Corporate Communications SEGS, Hadi Kuswoyo, saat dikonfirmasi pada Selasa (28/11/2023), berjanji akan segera memberikan penjelasan.
“Baik, kang. Segera saya respons ya,” kata Hadi melalui aplikasi perpesanan WhatsApp.
Namun hingga Jumat (1/12/2023), Hadi belum memberikan jawaban atas pertanyaan yang dikirim redaksi. Demikian dengan pesan WhatsApp redaksi pada hari yang sama, juga tidak dibalas.
Hingga dihubungi kembali pada Senin (4/12/2023), Hadi hanya menjawab singkat, “Saya masih menunggu konfirmasi, kang,” kata dia tanpa menjelaskan dari siapa konfirmasi yang dimaksud.
Sedangkan Iwan Syahrir Azof selaku Humas SEGS, saat dikonfirmasi mengaku jika dirinya sudah pensiun. Meskipun lebih dikenal sebagai Humas, namun mengutip dari akun LinkedIn, Iwan menjabat sebagai Head of Policy, Government & Public Affair, Communication and Security of Star Energy Salak-Darajat.
“Kebetulan saya sudah pensiun, saya akan kirimkan WA ini ke bagian yang menangani hal ini. Terima kasih,” singkat Iwan, Selasa (13/2/2024).
Namun, hingga berita ini ditulis, redaksi belum menerima penjelasan apapun terkait pertanyaan yang disampaikan kepada Iwan.
*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal Sukabumi Headline, pada 13 Maret 2024. Liputan ini merupakan program penulisan Jurnalisme Kolaboratif untuk Memonitor Proyek Strategis Nasional kerjasama AJI Indonesia dan Kurawal.