Independen --- Produk legislasi dari DPR sering kali tidak berbasiskan riset. Pemilihan sebuah RUU dibahas sampai disahkan lebih banyak karena kepentingan politik. Salah satu contoh nyata adalah gagalnya RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) masuk dalam pembahasan DPR.
RUU PKS dari sisi naskah akademikinya sudah demikian jelas bahwa perlu ada UU yang mengatur tindakan kekerasan seksual, karena KUHP dan UU yang lain tidak mampu mengatur. Bahkan cenderung menjadikan korban sebagai terpidana. Di sisi lain, data Komnas Perempuan menunjukkan kekerasan pada perempuan angkanya terus meningkat dari tahun ke tahun.
Namun semua bukti empirik itu tetap membuat DPR bergeming. RUU PKS dikeluarkan dalam Prolegnas 2020 karena para anggota DPR masih berhitung untung rugi secara politik jika memperjuangkan RUU ini. RUU PKS ini terkena info-info hoax yang dipelintir sedemikian rupa sehingga menimbulkan antipati dari kalangan agama.
Bagaimana sebenarnya proses pengambilan keputusan di DPR? Bukankah DPR mempunyai lembaga penelitian tersendiri untuk membantu mengkaji sebuah RUU mendesak atau tidak. Apakah peran lembaga ini? Simak liputan Iqbal Tawakal Lazuardi Siregar dalam DPR Dianggap Abaikan Riset dalam Susun UU, Salah Satu Penyebab RUU PKS Dicoret