Finding Ruth Sitepu

 

Oleh Nany Afrida

INDEPENDEN--- Kasus hilangnya Ruth Rudangta Sitepu, warga negara Indonesia yang menetap di Malaysia bersama suaminya, Pastor Joshua Hilmy, hingga kini masih terbungkus kabut ketidakpastian. 

Sudah hampir sembilan tahun sejak laporan pertama dibuat pada November 2016, namun pemerintah Indonesia belum menunjukkan langkah investigasi yang memadai untuk mencari tahu nasibnya. Padahal, konstitusi dengan tegas menjamin perlindungan bagi seluruh WNI, termasuk mereka yang berada di luar negeri.

Berdasarkan kertas posisi yang dibuat oleh lembaga Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) hilangnya Ruth memperlihatkan pola-pola yang sangat mirip dengan dua kasus penghilangan paksa lain di Malaysia.

Dua kasus itu yang menimpa Amri Che Mat dan Pastor Raymond Koh. Kesamaan pola itu memperkuat dugaan bahwa apa yang terjadi pada Ruth bukan sekadar orang hilang biasa, melainkan praktik penghilangan paksa yang dilakukan secara sistematis.

KontraS, sebagai organisasi yang konsisten mengadvokasi kasus penghilangan orang secara paksa, menerima pengaduan kasus ini pada Juni 2018. Sejak saat itu, KontraS melakukan serangkaian pengumpulan fakta dan pendampingan hukum, bekerja bersama firma hukum Lubis Santosa Maramis (LSM), untuk memperkuat hipotesis bahwa telah terjadi praktik penghilangan paksa atas diri Ruth. 

 

FOTO
Poster Ruth Sitepu (FOTO: KontraS)

“Dalam perspektif HAM, penghilangan paksa merupakan pelanggaran serius karena merampas hak korban dan hak keluarga untuk mengetahui nasib orang yang mereka cintai,” kata Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya.

Bagi keluarga Ruth, ketidaktahuan atas keberadaan dan keselamatan Ruth telah menjadi sumber penderitaan berkepanjangan yang menghambat proses mereka untuk menerima dan berdamai dengan kehilangan.

Siapa Ruth?

Ruth adalah WNI yang pernah menempuh pendidikan di perguruan tinggi agama Kristen di Yogyakarta dan aktif sebagai sukarelawan gereja. Karena kesulitan mendapatkan pekerjaan di Indonesia, ia pergi ke Malaysia sekitar tahun 2000 dan bekerja di industri garmen selama dua tahun sebelum kembali ke Sumatera. Kemudian ia kembali lagi ke Malaysia untuk bekerja di pabrik.

Ruth bertemu dengan suaminya, Hilmy bin Hanim, seorang warga negara Malaysia yang kemudian menjadi pendeta. Mereka menikah pada tahun 2004 di Malaysia dan mencatatkan pernikahan itu di Indonesia pada tahun yang sama. Satu kali upacara adat Batak digelar pada tahun 2006 di kampung halaman Ruth. 

Setelah menikah, Ruth dan suaminya memilih menetap di Malaysia sejak 2007. Terakhir mereka pulang ke Indonesia pada tahun 2009 ketika ayah Ruth meninggal. Setelah itu, komunikasi hanya dilakukan melalui telepon atau Facebook Messenger dengan keponakan dan saudara iparnya.

Selama tinggal di Malaysia, Ruth dan Hilmi menempati rumah kerabat di Petaling Jaya. Mereka sering membuat unggahan bertema keagamaan di media sosial. Namun, pada November 2016, keluarga di Malaysia memberi kabar ke Indonesia bahwa Ruth tidak dapat dihubungi. Usaha keluarga untuk menelepon nomor Ruth tidak mendapat respons sama sekali.

Bukan Kasus Pertama

Penghilangan Ruth dan suaminya bukanlah kasus tunggal. Dalam periode waktu yang berdekatan, dua tokoh agama minoritas di Malaysia—Amri Che Mat, seorang penganut Syiah, dan Pastor Raymond Koh—juga menghilang dalam situasi yang menunjukkan pola serupa dan mengindikasikan keterlibatan aparat keamanan negara. 

Hasil penyelidikan SUHAKAM (Komisi HAM Malaysia) mengenai dua kasus tersebut menyimpulkan adanya keterlibatan polisi dalam operasi penghilangan paksa. Fakta-fakta yang diungkap memperlihatkan adanya pola yang konsisten, mulai dari pantauan intensif terhadap korban, tuduhan terhadap aktivitas keagamaan minoritas, tekanan dari polisi maupun pejabat agama, hingga operasi pengepungan kendaraan yang berlangsung cepat dan terkoordinasi. 

Pada kedua kasus tersebut, kendaraan yang digunakan korban —atau lembaga amal yang mereka jalankan—juga dituding sebagai sarana untuk menyebarkan ajaran “menyimpang”. Pihak kepolisian kerap menyangkal keterlibatan mereka, dan proses penyelidikan berlangsung tanpa transparansi.

Dalam kasus Amri Che Mat, terdapat bukti bahwa pihak kepolisian melakukan investigasi khusus terhadap aktivitasnya, termasuk pengawasan rumah selama tiga hari, sebelum akhirnya terjadi pengepungan mobil oleh beberapa kendaraan dan Amri menghilang. 

Mobilnya ditemukan keesokan hari dengan beberapa kaca pecah. Sementara itu, dalam kasus Pastor Raymond Koh, rekaman CCTV memperlihatkan aksi penculikan terorganisasi: kendaraan 4WD hitam, para pelaku bertopeng, dan operasi yang selesai dalam waktu kurang dari satu menit.

Seorang polisi bahkan menyebut kejadian itu “mungkin operasi polisi”, memperkuat dugaan keterlibatan aparat. Kesamaan latar belakang korban sebagai tokoh agama minoritas dan pola-pola tindakan represif terhadap kebebasan berkeyakinan di Malaysia membuat dugaan praktik penghilangan paksa atas Ruth dan suaminya semakin kuat.

Ada Motif Keterlibatan Aparat Malaysia

Pemerintah Malaysia memiliki regulasi yang mengekang aktivitas keagamaan minoritas, dan dalam kasus Amri serta Raymond, korban sempat dipanggil, diperiksa, atau diamati secara intensif oleh aparat sebelum menghilang. 

Dalam kasus Ruth, terdapat penyangkalan polisi terkait perkembangan kasus, serta tekanan agar keluarga tidak memberikan informasi kepada media. Polisi bahkan menyarankan keluarga untuk tidak melapor ke KBRI, yang menunjukkan adanya upaya menutup akses korban dan keluarga terhadap bantuan negara asalnya. 

Minimnya perkembangan penyelidikan, termasuk ketika laporan dilakukan, turut memperlihatkan adanya pembiaran. Kondisi rumah Ruth yang berantakan saat diperiksa keluarga menegaskan adanya situasi genting sebelum ia dan suaminya menghilang, mirip dengan kondisi korban-korban lain dalam kasus penghilangan paksa. 

Semua faktor ini menunjukkan bahwa tindakan hukum terkait agama minoritas dijalankan secara ekstralegal, di luar prosedur resmi negara.

Mencari keadilan

Sejak laporan pertama pada tahun 2016, keluarga Ruth telah menempuh berbagai upaya untuk mencari keadilan. 

Pada awal 2018, dua anggota keluarga berangkat ke Malaysia untuk melapor ke Polis Diraja Malaysia di Petaling Jaya, mengajukan laporan ke SUHAKAM, dan meninjau kediaman Ruth. Mereka menemukan kondisi rumah yang berantakan dan tidak wajar, menguatkan kecurigaan adanya penghilangan paksa.

 Dalam proses pelaporan di SUHAKAM, keluarga diminta menandatangani dokumen tanpa menerima salinannya. Upaya di Indonesia dilakukan kepada Mabes Polri dan Kementerian Luar Negeri, tetapi Mabes Polri tidak mengeluarkan STTP dan Kemenlu, meski menerima laporan, tidak memberikan perkembangan berarti. Ketiadaan respons negara memperlihatkan lemahnya perlindungan terhadap WNI di luar negeri, terutama dalam kasus pelanggaran berat HAM.

Dari berbagai fakta yang terungkap, hilangnya Ruth Rudangta Sitepu dan suaminya merupakan dugaan kuat praktik penghilangan orang secara paksa, yang terjadi dalam konteks penindasan minoritas agama di Malaysia. 

Pola penghilangan yang dialami Ruth sangat mirip dengan pola operasi yang sebelumnya menimpa Amri Che Mat dan Pastor Raymond Koh, yang telah dibuktikan SUHAKAM melibatkan aparat keamanan negara. 

Kasus ini menunjukkan adanya pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, mulai dari hak hidup hingga hak keluarga untuk mengetahui kebenaran. Selain itu, minimnya transparansi penyelidikan, pembiaran oleh aparat penegak hukum Malaysia, serta lemahnya perlindungan negara Indonesia terhadap warganya yang hilang di luar negeri memperburuk situasi. 

Motif diskriminasi agama tampak sebagai faktor penting yang melatarbelakangi kasus ini.

Upaya keluarga Ruth yang telah berlangsung selama bertahun-tahun belum menghasilkan perkembangan berarti, baik dari otoritas Malaysia maupun lembaga-lembaga pemerintah Indonesia yang berkewajiban memberikan perlindungan. 

Kemajuan Kasus Lain

Rilis yang diterima independen.id dari Kontras pada 17 November 2025 memberikan informasi baru. 

Ternyata pada 5 November 2025, Pengadilan Tinggi Kuala Lumpur mengabulkan dua gugatan perdata yang diajukan istri Amri Che Mat dan Pastor Raymond Koh, yang telah hilang sejak akhir 2016 dan awal 2017. 

Pengadilan memutuskan bahwa Pemerintah dan Kepolisian Malaysia bertanggung jawab atas penghilangan paksa keduanya, memerintahkan dibukanya kembali investigasi dan pencarian, serta mewajibkan pembayaran kompensasi materil harian kepada keluarga sejak hari hilangnya korban hingga status dan keberadaan mereka jelas. 

Skema kompensasi ini sejalan dengan praktik hukum kebiasaan internasional di sejumlah negara, seperti Chili dan Brasil.

Putusan ini menurut KontraS menjadi preseden penting bagi penanganan kasus penghilangan paksa terhadap Ruth Sitepu, terlebih SUHAKAM dalam investigasi publiknya telah menemukan keterkaitan antara kasus Amri Che Mat, Pastor Raymond Koh, Joshua Hilmy, dan Ruth Sitepu. 

“Pertanggungjawaban negara yang diakui dalam kasus Amri dan Raymond semestinya juga diterapkan dalam kasus Ruth. Sebagai warga negara Indonesia, Ruth berhak atas perlindungan negara,” kata Dimas Bagus Arya, Koordinator Kontras pada Senin.

Hak itu ada di Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 21 UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Peraturan Menteri Luar Negeri No. 5 Tahun 2018 tentang Perlindungan WNI di Luar Negeri, serta Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. 

“Kami beserta keluarga berharap kepada Pemerintah Indonesia agar serius dalam pencarian kakak kami, Kak Ruth. Karena kami tetap dan selalu berharap agar kami bisa berjumpa lagi dengan kakak kami,” ujar Iman Setiawan, adik Ruth Sitepu.

kali dilihat