Oleh Nany Afrida
INDEPENDEN—Pesan berantai itu diterima Independen.id sekitar pukul 14.35 WIB. Isinya screenshot hasil putusan sela Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan terkait gugatan Menteri Pertanian RI Amran Sulaiman terhadap Tempo.
Di bawah screenshot, pengirim menulis kalimat singkat penuh kelegaan: “Kita menang. Panjang umur kebebasan pers.”
Putusan sela PN Jakarta Selatan memang menjadi titik penting yang menentukan apakah gugatan perdata tersebut akan diteruskan atau dihentikan. Tempo digugat Amran terkait pemberitaan yang berkaitan dengan kementerian yang dipimpinnya.
Awalnya, Tempo.co diadukan ke Dewan Pers setelah menerbitkan poster dan motion graphic berjudul “Poles-poles Beras Busuk”—bagian dari publikasi berita mengenai aktivitas Perum Bulog dalam penyerapan gabah/beras, sesuai Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Pengadaan dan Pengelolaan Gabah/Beras Dalam Negeri serta Penyaluran Cadangan Beras Pemerintah.
Namun setelah proses di Dewan Pers berjalan, Amran justru mengajukan gugatan perdata ke PN Jakarta Selatan, menuntut Tempo membayar ganti rugi sebesar Rp 200 miliar. Padahal berdasarkan mediasi dengan Dewan Pers, Tempo sudah setuju menganti poster dengan judul berbeda, termasuk memoderasi konten.
Pada akhirnya, PN Jakarta Selatan menolak seluruh gugatan perdata tersebut melalui putusan nomor 684/Pdt.G/2025/PN JKT.SEL, sekaligus menegaskan bahwa sengketa karya jurnalistik adalah ranah Dewan Pers, bukan pengadilan umum, sebagaimana amanat Pasal 15 UU Pers No. 40 Tahun 1999.
Majelis hakim terdiri dari Sulistyo Muhamad Dwi Putro, S.H., M.H. (Ketua Majelis), I Ketut Darpawan, S.H. (Hakim Anggota I), dan Sri Rejeki Marsinta, S.H., M.Hum. (Hakim Anggota II).
Dalam pertimbangannya, majelis menyatakan bahwa hingga gugatan didaftarkan, Dewan Pers belum mengeluarkan pernyataan terbuka terkait tuduhan Amran bahwa Tempo tidak melaksanakan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Nomor 3/PPR-DP/VI/2025.
Pengadilan menilai bahwa Dewan Pers seharusnya terlebih dahulu mengeluarkan Surat Pernyataan Terbuka Khusus, sebagaimana diatur dalam Peraturan DP Nomor 03/Peraturan-DP/VII/2017 tentang Prosedur Pengaduan.
Akibatnya, eksepsi Tempo terkait kompetensi kewenangan dikabulkan.
PN Jakarta Selatan dinyatakan tidak berwenang mengadili perkara ini, dan penggugat yaitu Amran Sulaiman harus membayar biaya perkara.
Keputusan ini tentu menimbulkan kekecewaan dari pihak Amran Sulaiman. Pengacara Amran Sulaiman yaitu Chandra Muliawan, menyampaikan kekecewaan atas Putusan tersebut.
Kementan memastikan akan mengajukan gugatan ke pengadilan lain yang dianggap berwenang sesuai peraturan perundang-undangan sebagai bentuk komitmen untuk melindungi hak dan martabat 160 juta petani Indonesia.
“Perjuangan kami tidak berhenti di sini. Kami tidak sedang membela pribadi Mentan Amran. Yang kami bela adalah petani Indonesia agar tidak terus dikalahkan oleh stigma negatif atas hasil kerja keras mereka. Kami akan terus mencari keadilan, sampai pintu terakhir pun kami ketuk,” kata Chandra.
Respons Kuasa Hukum dan Komunitas Pers
LBH Pers sebagai kuasa hukum Tempo mengapresiasi putusan majelis hakim. Mereka juga menilai majelis telah mempertimbangkan pendapat ahli Yosep Adi Prasetyo—mantan Ketua Dewan Pers—yang menjelaskan bahwa apabila PPR tidak dijalankan, mekanismenya adalah melaporkan ulang ke Dewan Pers untuk dikeluarkan Pernyataan Terbuka.
LBH Pers menegaskan bahwa gugatan Amran merupakan bentuk Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP), yaitu upaya hukum untuk membungkam kritik dan mengintimidasi masyarakat.
Dalam konteks sengketa pers, tindakan seperti ini juga dikenal sebagai Unjustified Lawsuit Against Press (ULAP)—gugatan yang bertujuan mengganggu kemerdekaan pers sebagai kontrol sosial.
“Putusan Pengadilan Jakarta Selatan seperti air pelepas dahaga di tengah paceklik demokrasi. Kemenangan ini milik pers, warga, serta kita semua yang menghendaki kebebasan berpikir, berpendapat, dan mengakses informasi,” kata Mustafa Layong, Direktur LBH Pers.
Sekretaris Jenderal AJI Indonesia, Bayu Wardhana, menyatakan bahwa keputusan PN Jakarta Selatan sudah tepat. Sengketa pers adalah ranah Dewan Pers, bukan pengadilan.
“Ini jadi pelajaran bagi semua, terutama pejabat pemerintah, untuk patuh pada hukum. Tidak ada lagi yang menggugat pers secara pidana maupun perdata,” ujar Bayu.
Luviana, Koordinator Koalisi Media Alternatif (KOMA), mengucapkan selamat kepada Tempo atas kemenangan yang menurutnya merupakan penolakan terhadap pembungkaman demokrasi.
“Kami bergerak bersama media-media kritis yang menolak tunduk pada pembungkaman,” tegasnya.
Gugatan yang Mengundang Kecaman
Tempo tidak menghadapi kasus ini sendirian. Selain AJI dan Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), berbagai elemen masyarakat, media alternatif, dan sejumlah organisasi sipil aktif melakukan advokasi melalui aksi dan diskusi publik.
Ketua KKJ Pusat, Erick Tanjung, menegaskan bahwa keberpihakan mereka bukan hanya untuk Tempo, tetapi untuk semua media di Indonesia.
“Apa yang terjadi pada Tempo bisa terjadi pada media lain. Ini sesat pikir Menteri Amran. Dan ini bisa menjadi preseden buruk karena bisa membungkam media yang kritis,” kata Erick.
Aksi solidaritas dilakukan di berbagai kota, serta kampanye digital yang masif.
Dari sisi litigasi, 65 akademisi dan tokoh masyarakat mengajukan amicus curiae kepada pengadilan, termasuk Niniek Rahayu (mantan Ketua Dewan Pers). Mereka menegaskan bahwa sengketa pers tidak tepat diselesaikan di pengadilan umum.
Niniek mengutip pandangan ahli hukum Belanda, Asser Rutten, yang menyatakan bahwa penghinaan melalui media cetak tidak dapat digugat berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata apabila pelaku bertindak untuk kepentingan publik.
Komnas HAM turut mengirim amicus curiae yang membela posisi Tempo.
Instruksi Dukungan untuk Amran di Media Sosial
Berbagai laporan media menyebut bahwa pegawai Kementerian Pertanian sempat diarahkan untuk menunjukkan dukungan kepada Amran selama proses gugatan. Bentuknya tidak resmi—lebih kepada instruksi informal berjenjang.
Pada Oktober 2025, beredar pesan berantai di grup WhatsApp pegawai Kementerian Pertanian. Pesan itu berisi instruksi untuk memberikan “dislike” dan melaporkan konten YouTube Tempodotco tentang gugatan Amran sebagai misinformasi.
Tayangan tersebut adalah segmen Tukang Kupas Perkara, berisi percakapan Direktur LBH Pers Mustafa Layong dan Ketua Bidang Advokasi AJI Erick Tanjung tentang gugatan Rp 200 miliar Amran terhadap Tempo.
IFEX dan IFJ Menyurati Presiden Prabowo
Gelombang kritik datang pula dari luar negeri. International Freedom of Expression (IFEX) menyurati Presiden Prabowo Subianto agar memerintahkan Amran mencabut gugatan terhadap Tempo. IFEX menilai gugatan tersebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia, khususnya kebebasan berekspresi dan hak atas informasi.
IFEX menganggap gugatan Amran sebagai bentuk SLAPP, upaya hukum yang bertujuan menguras energi, mengintimidasi, dan melemahkan pers.
“Ketika para pemimpin politik dan lembaga negara menentang kritik publik serta membungkam jurnalis melalui intimidasi hukum, hal ini berkontribusi pada budaya korupsi politik dan iklim sensor diri,” tulis IFEX.
International Federation of Journalists (IFJ) juga mengecam keras gugatan Amran terhadap Tempo.
Dalam pernyataannya IFJ menulis: “Peliputan investigatif dan kritis demi kepentingan publik adalah pilar utama demokrasi, dan gugatan hukum yang bersifat intimidatif terhadap Tempo hanya akan menekan kebebasan pers serta membungkam jurnalisme independen.”
Kemenangan Tempo atas kasus gugatan ini dianggap masyarakat sipil sebagai kemenangan publik.
“Karena hak atas informasi yang jujur dan kritis adalah hak warga negara dan bentuk pengawasan yang sangat esensial dalam negara demokrasi. Kita layak berterimakasih pada majelis hakim dalam perkara ini yang berani memutus sebagaimana mestinya. Tidak lupa juga pada berbagai pihak yang mendukung kebebasan Pers melalui sahabat peradilan (amicus curiae ),” kata Arif Maulana.
Menurutnya harapan untuk pemajuan demokrasi di masa depan akan terus hidup jika kebebasan pers dilindungi dan diperjuangkan