Oleh : Mansyur Armain
Independen- Masyarakat Buli di Gunung Wato-wato, Kecamatan Buli, Halmahera Timur, Maluku Utara, hidup dan bernafas bersama alam. Mereka memanfaatkan sungai dan lahan perkebunan sebagai sumber penghidupan. Mereka tersebar di 10 desa, diantaranya Desa Buli Asal, Wayafli dan Buli Karya. Kemudian Teluk Buli, Sailal, Buli, dan Geltoli. Serta Gamesan, Baburino, dan Pekaulang.
Sehari-hari masyarakat Buli ada yang bekerja sebagai petani dan ada pula nelayan. Sebagai umat beragama mereka menjalani hidup dengan penuh toleransi. Meskipun memiliki kepercayaan yang berbeda-beda, tetapi nilai-nilai sosial budaya dan adat dapat dijalankan secara bersama, tanpa memandang siapapun orangnya.
Sayangnya, kondisi tersebut tidak berjalan lama. Masuknya PT. Priven Lestari di Buli dengan tujuan membuat jalan houling, membuat masyarakat dari 8 desa yang ada merasa dikucilkan dari tanah sendiri. Aktivitas membongkar hutan disinyalir dilakukan pihak PT tanpa izin dan tidak diketahui oleh masyarakat Buli.
Dari kejauhan, dapat dilihat barak perusahaan PT. Priven Lestari terletak persis di atas gunung Wato-wato. Barak tersebut dijadikan sebagai tempat istirahat para kontraktor usai menggusur hutan. Hanya dibutuhkan beberapa menit menggunakan sepeda motor untuk menuju lokasi PT. Priven Lestari di gunung Wato-wato.
Gunung yang digusur tersebut masuk dalam kawasan Desa Geltoli. Mulai dari ujung sungai hingga ke gunung jaraknya sekitar 700 meter. Di samping sungai tampak tumpukan pohon yang tumbang akibat penggusuran. Pohon-pohon itu dibiarkan begitu saja.
Di lokasi gunung Wato-wato, ada sisa tanah merah yang menumpuk dari hasil penambangan. Bila dilihat, kandungan tanah tersebut masih memiliki nikel. Ketika terjadi musim hujan, tanah-tanah tersebut akan mengalami longsor dan mencemari sungai yang ada. Padahal dari sungai itulah yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat Buli.
Sempat ada kejadian tragis,19 September 2023 lalu, Desa Geltoli mengalami banjir hingga setinggi lutut orang dewasa. Semua pemukiman tergenang air hingga masuk sampai ke rumah warga. Ini akibat aktivitas pembongkaran hutan di gunung Wato-wato sehingga berdampak buruk terhadap masyarakat.
Siang itu, disela-sela perjalanan, kami sempat berhenti sejenak untuk membasuh wajah dengan air di sungai Watileo kecil. Sungai yang masih menjadi satu rantai dengan gunung Wato-wato, yang mengalir hingga ke pemukiman warga di Desa Buli.
Saat tiba di sungai, kami mendapati ada empat ekor burung. Masyarakat Buli biasa menyebutnya dengan istilah burung “taun”. Burung tersebut terbang dengan rapi, berkeliling persis di atas kepala kami. Seketika suasana menjadi hening. Tubuh ini pun mulai bergidik, merinding melihat burung tersebut menghilang seketika.
Gunung Wato-wato dan ritual “iantoa”
Menurut cerita masyarakat Buli, gunung Wato-wato diibaratkan sebagai seorang perempuan yang sedang tidur. Layaknya seperti ibu merawat, menjaga dan menyusui anak-anaknya. Jika dipandang dari lautan, gunung tersebut terlihat persis menyerupai perempuan, mulai dari anggota tubuh dari ujung kaki hingga rambut. Dari gunung tersebut, ada 9 sungai yang mengalir sampai ke Subaim.
Lukas Feblun (51) warga Desa Wayafli menceritakan asal usul hubungan rumah adat “iantoa” dan gunung Wato-wato yang harus diketahui.
“Dari tokoh adat di Desa Wayafli, saya diberi jabatan dari Sultan Zainal Abidin Sjah waktu itu, “Uku (api)”. Karena dulu, jabatan tersebut ada syarat yaitu diletakkan di atas telapak tangan. Dari situlah, saya diberi jabatan dari Sultan,” ungkap Lukas Feblun, Selasa (10/10/2023).
Orang-orang di Buli menjadikan “iantoa” (kepala perang,red) dan sebagai tindakan. Misalnya, ketika melakukan demonstrasi terhadap PT. Priven Lestari pada 6 September 2023 lalu.
Berkaitan dengan “iantoa” dalam anggapan sebagai pahlawan khusus suku Buli. Ia diistilahkan seperti ikan tuna atau ikan ekor kuning dalam cerita orang-orang Buli. Suatu ketika, saat melakukan demonstrasi, para tetua di kampung Buli meminta atau dalam bahasa Tidore “Basiloa-loa” di rumah adat. Lukas mengaku tidak mempermasalahkan perihal saat itu dia tidak diberitahukan atau mendapatkan surat sebagai informasi terkait demonstrasi.
“Prinsipnya, saya tidak menuntut apa-apa. Sebab ia punya tujuan baik demi banyak orang yang menggantungkan hidup di gunung Wato-wato sebagai sumber mata air, bukan air mata,” cerita Lukas.
Lukas mengatakan, hampir semua daerah, kampung serta gunung, identik dengan orang (manusia,red). Meskipun tidak dapat dibuktikan secara mendasar dan nyata. Ungkapan itu, kata Lukas, sebenarnya kemungkinan dipakai oleh orang-orang berpendidikan tinggi, bahwa gunung Wato-wato seperti seorang ibu yang melindungi anak-anaknya.
“Berkaitan dengan ritual rumah adat “iantoa” ada dua yaitu, pertama, setiap hari Jumat, biasanya anak-anak muda memberi tahu kepada penjaganya dengan mengatakan “torang mau baku tikam” (kami saling menikam) menggunakan pohon dalam sebutan orang Buli “Golobo”, kedua, meminta izin kepada pihak Kecamatan untuk mencari “tuturuga” (penyu) agar diberi makan,” jelas Lukas.
Namun saat itu, dari Polres Halmahera Timur tidak memberi izin untuk mencari hewan “tuturuga” (penyu) dengan tujuan memberi makan. Sebab hewan tersebut dilarang dan dilindungi. Meskipun bagi masyarakat yang membuat ritual “iantoa” tidak menjadi persoalan, bila dilakukan khusus untuk adat.
Sebagai ketua BPD Desa Wayafli, Lukas menjelaskan, di konflik 1999 tahun lalu, masyarakat Buli tidak takut menjalankan ritual tersebut karena mereka percaya, bahwa “iantoa” merupakan pahlawan untuk menghadang atau mengusir rusuh antara agama ke tempat lain.
Menurut suku yang tinggal di Desa Labi-labi, Kecamatan Wasilei Utara, dalam cerita,”iantoa” mereka pernah menemukan akan kecil dan dipelihara hingga dewasa sehingga terjadi konflik.
“Saya tidak tahu, kenapa ia menghilang. Karena menurut cerita, dia menghilang dan berpesan, kalau saya di laut itu “iantoa” atau disebut orang adat Buli artinya, “ian” (Ikan) dan “toa” (Tuna). Dengan demikian berarti ikan tuna ekor kuning, dan masyarakat di Buli tidak pernah makan ikan tersebut,” tuturnya.
Ungkapan “Iantoa” Lukas menambahkan, bila berada di laut, yang menjadi perahu adalah tuna, sedangkan di darat perahunya yaitu, burung taun-taun. “ Jika Ngoni (kalian) mendapat susah (mengalami kesusahan,red), panggil saja burung tersebut, itu terbukti ketika orang-orang membuat ritualnya,” paparnya.
Biasanya dalam pembongkaran gunung Wato-wato ada prosesi ritualnya. Hal itu membutuhkan anggaran yang cukup besar, karena dihadiri langsung dari berbagai unsur FKPD di lingkungan Pemerintah Halmahera Timur. Namun ritual tersebut hingga saat ini belum dilaksanakan. Meskipun PT. Antam sempat menyampaikan agar membuat ritual tersebut.
“Untuk rumah adat, ada orang khusus yang menjaga, seperti untuk menyapu halaman maupun membersihkan rumah. Termasuk ketika mendekati malam, mereka biasanya memberi penerangan dengan membakar poci. Sementara di Buli, torang (kami,red) punya pengawal seperti Gimalaha dari agama Islam, serta ada juga Bobato Akhirat dan Dunia. Jadi tugas dari dua Bobato ini, hal-hal yang berkaitan dengan akhirat dan dunia,” lanjutnya.
Lukas mengatakan, masuknya PT. Priven Lestari sangat mengkhawatirkan. Ia meyakini setiap perusahan besar pasti memiliki bekingan yang kuat.
“Apa yang diperbuat oleh Priven ini, tidak menghargai masyarakat Buli, dan suatu saat menimbulkan konflik hingga masuk penjara. Hal seperti itu, membuat nilai dan budaya semakin hilang. Maka dari itu, melalui Pemerintah Halmahera Timur, Camat, bahkan Pemerintah Provinsi Maluku Utara harus memikirkan permasalahan tersebut,” lanjutnya.
Ketua kerukunan umat beragama Buli, Kalep Susu (74) dari Desa Sailal juga menyampaikan hal yang sama. Kalep menuturkan, bila perusahan PT. Preven Lestari terus beroperasi, maka berdampak dan sangat berpengaruh terhadap lingkungan, kultur dan budaya masyarakat Buli.
“Waktu pemuda dan masyarakat Buli melakukan demonstrasi menolak PT. Priven Lestari September 2023, saya menyampaikan kepada masyarakat secara baik, jangan sampai torang (kami) susah dikemudian hari,” terang Kalep yang juga pensiunan Guru di Halmahaera Barat.
Ketika PT. Priven Lestari beroperasi, Kalep mengatakan kurun 10 tahun ke depan masyarakat Buli mulai akan merasakan dampak lingkungan.
“Paling tinggi di atas 10 tahun maka kami hancur. Jika melihat Sembilan sungai di gunung Wato-wato ini, bagian dari sumber air penghidupan bagi masyarakat Buli. Tetapi persoalannya, ngoni (kalian) PT. Priven Lestari sudah harus tahu, masyarakat di kampung. Yang jelas mereka sudah gusur, tanah-tanah akan dijual,” tegas Kalep.
Kalep menambahkan, keluhan tersebut sudah pernah disampaikan pada salah satu orang dari Patani yang menjabat sebagai direktur PT. Priven yang bernama Ridwan.
“Dari situ, kami menyampaikan kepada dia, pak Ridwan, tidak kenal pe kitorang ( kenal kepada kami) lagi, tidak tahu torang (kami) punya hidup, bahkan apakah tidak tahu peta Desa Buli,”kesal Kalep sambil memakai alat pendengar.
Kalep mengungkapkan pemerintah daerah dinilai tidak pro rakyat, sebab beroperasinya PT. Priven Lestari secara tidak langsung sudah “membunuh” masyarakat Buli. Pemerintah tidak lagi memeriksa izin yang sudah dikeluarkan. Pasalnya, saat dilakukan pertemuan antara pemuda Buli dengan Bupati Halmahera Timur, Dinas Lingkungan Hidup menyampaikan PT. Priven Lestari tidak mengirimkan surat ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH), termasuk Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
“Perlu diketahui, bahwa di setiap pemukiman masyarakat yang di Buli memiliki budaya tersendiri. Tentunya, mereka melihat gunung Wato-wato bagian dari pelindung desa sebagai benteng terakhir dan ruang hidup orang-orang Buli,” singkatnya.
Pendeta Adewenti Min Radja (41), koordinator gereja-gereja Indonesia di Maluku Utara, mengatakan di Halmahera Timur isu lingkungan menjadi salah satu pembahasan yang serius ketika orang Buli melakukan pertemuan.
“Kami bukan menolak investasi di Buli, tetapi harus secara terukur dan bertanggungjawab atas yang mereka perbuat di gunung Wato-wato,” ujarnya.
Artinya, PT. Priven Lestari ketika melakukan aktivitas penambangan tidak seharusnya menimbulkan dampak lingkungan yang buruk. Ia mencontohkan, beberapa waktu lalu ketika berkunjung ke Desa Lelilef, Kecamatan Weda Tengah, kondisi Gua Bokimaruru terlihat sangat bagus. Tetapi beberapa bulan kemudian, sungai tersebut berubah menjadi warna cokelat dan berdampak terhadap masyarakat seperti, tidak lagi mencuci pakaian, mandi, dan memancing.
“Rata-rata dari generasi kami yang bersekolah tidak mau PT. Priven Lestari beroperasi. Karena sungai yang berada di gunung Wato-wato itu merupakan sumber air. Ngoni (kalian) mau bilang bor pakai sumur bor, dan ketika tanah merah tercemar ke pemukiman warga ikut tercemar,” kesalnya.
Ia menjelaskan keseimbangan antara alam dengan manusia yang sangat terikat dalam prespektif gereja.
“Kalau saya tidak menghargai alam, pasti dia akan memberontak, sebab secara telogis, torang (kami) ini sama-sama hasil ciptaan,” tutur Pendeta Min.
Bukan berarti, lanjut Pendeta Min, mereka yang berkuasa dapat membabat hutan hingga tidak bersisa. Sebaliknya harus dikelola untuk kesejahteraan, bukan untuk merusak.
“Jika merusak, maka generasi akan hancur. Bukan hanya dari aspek lingkungannya, tetapi dari kultur dan sosial-budaya. Kalau kebun, bapak saya punya sudah lama berkebun dan luasannya hampir 2 hektare. Tetapi tanahnya PT. Priven Lestari sudah mulai bor. Sebagai masyarakat dalam menghuni gunung Wato-wato, tetap kami menolak keberadaan perusahan PT. Priven Lestari,” jelasnya.
Berdasarkan cerita warga dari Desa Teluk Buli, Ismunandar Marsaoly (39), yang pernah ia dengar dari tetua kampung di Buli seperti Almarhum Sangadji Maba dan Musakie, dahulu orang Maba dan Sangadji Maba punya wilayah dan tempat tinggal.
Di wilayah itu, ada pulau dan tanjung di Buli yang memiliki nama seperti, Gau, Gie dan lainnya, bagian dari nama leluhur Maba yang dahulu bermukim di teluk Buli. Singkat cerita, ada orang tetua di kampung ini mendapat ancaman dari Belanda dari pasukan Kao Ternate dalam rangka perebutan wilayah. Saat itu, mereka berkeinginan untuk merebut Maba sehingga Sangadji Maba meminta bantu orang-orang Buli.
“Orang Buli dulunya, hidup di Wasilei Timur tepat di daerah Iga dan Labi-labi, Wasilei Timur . Mereka diminta migrasi ke Buli dengan alasan karena permintaan Sangadji Maba untuk melindungi mereka dari pasukan Kao dari Kerajaan Ternate,” cerita Ismunandar.
Ismunandar menyampaikan, ia tidak tahu apakah sudah ada penelitian atau belum tentang kehidupan orang-orang Buli dan Maba, selain dari cerita turun temuran tersebut.
“Dorang (mereka) Maba diminta pindah dan hidup di Buli, sedangkan orang Maba dan Sangadji pindah di wilayah Maba. Atas dasar pertimbangan itulah, bahwa di Maba relatif aman untuk ditempati dan tidak ada gangguan dari pasukan Kao-Ternate, karena di belakang Maba saat itu, daerah rawa,” paparnya.
Akibat migrasi itu, memungkinkan ada ikatan sejarah panjang sehingga sebagian orang Buli Asal masuk Islam dan Nasrani. Itulah, hubungan toleransi yang kuat tentang Maba dan Buli.
“Teluk Buli disebut sebagai kampung tua dan induk dari semua suku besar di Halmahera Timur. Ini menjadi identitas dan budaya di Buli, jika dirusak dengan aktivitas perusahan PT. Priven Lestari di gunung Wato-wato, tentunya berdampak secara signitifkan terhadap lingkungan,” singkatnya.
Masyarakat tolak eksploitasi Gunung Wato-wato
Salah seorang warga Desa Wayafli, Ernes Bawang (63), mengaku ia merupakan orang pertama yang punya kebun sebesar 2 hektar di lokasi yang saat ini diduduki PT. Priven Lestari. Di dalamnya ada pohon cengkeh, nenas, dan jenis tanaman lainnya.
“Saya tidak cari doi (duit). Ada masyarakat tidak respon pada waktu itu, tetapi sekarang mereka sudah respon. Dan sampai sekarang, saya masih mempertahankan kebun agar tak dirusak. Karena selama hidup, saya tidak berharap kavling, itupun ada pihak yang meminta melepaskan saya punya kebun. Sebab kebun saya itu, masuk dalam kawasan konsesi yang berbatasan dengan PT. Antam dan PT. Priven Lestari,” tutur Ernes.
Ia mengatakan dalam aksi menolak perusahan PT. Priven Lestari yang beroperasi di gunung Wato-wato di beberapa bulan lalu sempat dilakukan rapat.
“Pernah konsultan dari PT. Priven Lestasi mengadakan rapat dengan saya di tahun 2016. Dalam rapat tersebut, mereka hanya bertanya ke beberapa masyarakat yang hadir, tetapi saya tidak bicara dan hanya mendengar saja,” ucap Ernes.
Konsultan yang datang dalam pertemuan itu, seorang perempuan. Ia bertanya kepada saya, “mengapa tidak bicara. Di malam itu, beberapa teman saya menekan agar bisa setuju, tetapi mereka yang berada dalam ruangan itu, 99 persen orang Buli tidak mau,” jelasnya.
Ernes menuturkan, ia tidak mempunyai hak melarang PT. Priven Lestari masuk di Buli, karena mereka sudah memiliki Kawasan Pengeboran (KP) di tahun 2006. Sementara dirinya telah berkebun semenjak tahun 80-an di waktu masih remaja.
Koordinator Aliansi Masyarakat Buli Peduli Wato-wato, Purnomo Kiye mengungkapkan, pemberian izin dari pemerintah pusat kepada PT. Priven Lestari, sudah melanggar tata ruang Kabupaten Halmahera Timur. Serta mengancam keberlangsungan sumber air bersih, sungai, perkebunan, dan pemukiman warga setempat.
Terhitung sejak tahun 2015 hingga 2018, perusahan PT. Priven telah melakukan empat kali konsultasi dokumen AMDAL. Untuk di tahun 2015-2017 dilakukan di kantor Camat Kecamatan Maba dan terakhir pada tahun 2018 di Kota Ternate. Sedangkan dalam pertemuan itu, warga Kecamatan dengan tegas menolak rencana penambangan oleh PT. Priven Lestari.
Meski demikian, pihak PT. Priven tidak mempertimbangkan keputusan dan sikap penolakan warga, bahkan tidak memasukan dalam lembar dokumen hasil konsultasi. Sementara pada 22 Maret 2022 PT. Priven Lestari masih berinisiatif membuat pertemuan tahapan eksplorasi ke eksploitasi yang dimediasi oleh Pemerintah Kecamatan Maba. Dan hasil dari pertemuan itu, mendapat penolakan yang sama dari peserta rapat, sehingga di akhir Mei 2023 dan mereka kembali membuka ritisan jalan Desa Geltoli sebagai akses untuk alat perusahan.
Purnomo Kiye mengatakan, berkaca dari kenyataan dan pengalaman proses penambangan yang dilakukan sejumlah perusahaan di Halmahera Timur seperti, PT. ANTAM di pulau kecil Gee, PT. Haltim Mining Diva Maba-Wailikum, PT. Makmur Jaya Lestari di pulau kecil, Maba Pura, PT. Adita Nikel Indonesia di Desa Maba Tewil, seluruhnya meninggalkan jejak kotor dan kerusakan yang tak bisa dipulihkan.
Aksi penolakan warga terhadap PT. Priven Lestari tersebut tertuang dalam berita acara rapat antara Asosiasi Kepala Desa dan perwakilan elemen masyarakat Kecamatan Maba terkait rencana penambangan PT. Priven Lestari di belakang Kota Buli, bahwa pada 7 Juni 2023 yang berlangsung di Desa Wayafli.
Ada empat keputusan yang dihasilkan yaitu, (a), secara tegas masyarakat Kecamatan Maba menyatakan menolak PT. Priven Lestari melakukan penambangan di belakang Kota Buli, (b) PT. Priven Lestari diharuskan menghentikan seluruh aktivitas penambangan sejak berita acara ini dibuat, (c) meminta kepada Pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Timur, DPRD Halmahera Timur, DPRD Provinsi Maluku Utara dan Pemerintah Provinsi Maluku Utara agar mengusulkan, mendesak, dan mengawal pencabutan izin konsesi PT. Priven Lestari ke Kementerian ESDM di Jakarta, dan (d) membentuk tim kerja dokumen penolakan PT. Priven Lestari.
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari dokumen AMDAL PT. Priven Lestari tahun 2018, kegiatan pembukaan dan pembersihan lahan sangat berpotensi menyebabkan hilangnya kawasan-kawasan yang luas dan dilindungi, sebagaimana di atur dalam peraturan Perundang-undangan. Terkait hal tersebut, pihak menjemen PT. Priven Lestari akan mematuhi Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2011 tentang sungai dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pasal 50 ayat 3 huruf c yang berbunyi setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius dengan jarak, diantaranya (a), 500 mter dari tepi waduk atau danau, (b) 200 meter dari tepi mata air dan kiri-kanan sungai di daerah rawa, (c) 100 meter dari kiri kanan tepi sungai, (d) 50 meter dari kiri kanan tepi anak sungai, (d) 2 kali kedalaman jurang dari tepi jurang.
Namun melihat radius dalam penambangan di atas ternyata bertolak belakang dengan kondisi di lapangan. Sebab di belakang Buli terdapat dua desa yakni, Desa Baburino, dan Desa Tegaulan yang jauh dari bandara. Namun ketika dilakukan penambangan secara massif delapan desa lainnya itu akan mengalami dampak secara langsung.
“Berdasarkan peta dari delapan desa tersebut, dapat memberikan ancaman kesalamatan masyarakat Buli. Keselamatan yang dimaksud seperti, air bersih yang berada di belakang gunung Wato-wato, biasanya dipakai oleh warga sekitarnya untuk kebutuhan sehari-hari,” kata Purnomo.
Termasuk instalasi PDAM yang dibangun Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur di belakang Desa Buli akan terancam tercemar ketika air sungai tercemar.
“Dengan infrastuktur tersebut, direncanakan dari Pemda Halmahera Timur akan membuat Perda serta membentuk satuan kerjanya,” cerita Purnomo.
Menurutnya, lokasi penambangan PT. Priven Lestari sangat dekat dengan rumah warga. Jika dilakukan ploting area, ada beberapa rumah warga dari delapan desa yang lokasinya paling belakang masuk dalam lokasi IUP.
Di bagian depan Desa Buli, pernah ada penambangan seperti yang terjadi di Tanjung Buli, Antam, dan STS. Sementara sisa di belakang desa tersebut warga gunakan untuk berkebun.
“Kalau sungai yang berada di atas gunung Wato-wato adalah hulunya, sedangkan hilirnya semuanya masuk dalam Kota Buli,” ucapnya.
Bila gunung Wato-wato jika dibongkar, lanjut Purnomo, dapat dipastikan semua sungai akan tercemar. Tak hanya itu dengan kondisi topografi sangat curam tentunya mengakibatkan banjir.
“Itupun kalau dibongkar, tetapi tidak dibongkar, sering terjadi banjir. Itulah alasan-alasan dasar sehingga kami torang (kami) membuat penolakan secara besar-besaran,” jelasnya
Purnomo menjelaskan ada dugaan PT. Priven Lestari dapat mengakses gunung Wato-wato melalui jalur “jalan belakang”. Meskipun belum ada bukti yang dapat membenarkan tudingan tersebut, namun menurut keterangan beberapa warga Buli sempat diminta PT. Priven Lestari melakukan penandatangan dengan tujuan mendukung proses penambangan, bahkan warga dirayu dengan iming-iming lahannya akan dibayar.
“Aktivitas Perusahan PT. Priven sementara ini dihentikan dengan rencana mau bangun jalan hauling, tetapi pengeboran tetap terus berjalan,” kata Purnomo.
Berkaitan dengan jalan hauling, lanjut Purnomo, saat ini diketahui sudah masuk di salah satu desa. Mereka memasukan alat pengeboran dengan tujuan mencari titik kadar O. Pada saat dilakukan pengoboran ada tanah merah yang keluar.
“Jadi jarak pengoboran 4 sampai 5 meter dari desa, tetapi yang mengkhawatirkan adalah jalan haulingnya,” katanya.
Selain itu, PT. Priven Lestari berencana menggunakan jalan umum sebagai akses jalan untuk penambang. Mereka ingin bergabung dengan jalan yang digunakan STS (salah satu perusahaan tambang lainnya, red), baru kemudian menuju jalan bandara dan selanjutnya dimuat di pelabuhan STS.
“Untung mereka tidak diijinkan oleh pemerintah daerah. Sekarang yang dorang (mereka) bikin jalan hauling baru sekitar 2 sampai 3 kilo itu, kami tetap protes. Yang jelas progres fisik di lapangan, mereka sudah buka jalan hauling,” tuturnya.
Demontrasi yang digelar pada 6 September 2023 di kantor Kecamatan Kecamatan Maba melibatkan orang-orang di berbagai desa di Halmahera Timur karena penebangan oleh PT.Priven Lestari, kehadiran Pemerintah Halmahera Timur saat itu turut mendukung warga yang melakukan protes.
Penolakan tersebut di awali dengan meminta izin kepada rumah adat dari para tetua kampung di Buli agar dapat dilindungi dari segala ancaman dan intimidasi. Selain dari warga, pelajar SD juga turut berpartisipasi untuk mengambil sikap menolak.
“Untuk di tahun 2022, perusahaan PT. Priven Lestari sudah melakukan penambangan sekitar 4.000 Ha selama 2 (dua) minggu di gunung Wato-wato. Protes ini, direncanakan membawanya sampai di Jakarta. Karena Pemerintah Halmahera Timur beralasan bahwa mereka tidak punya kewenangan untuk mencabut izin dan lain-lain, sebab urusan tentang tambang semuanya sudah kewenangan Pemerintah Pusat,” tegasnya.
PT. Priven Lestari Dianggap Legal
Bupati Halmahera Timur, Drs. Ubaid Yakub MPA saat ditemui dan dikonfirmasi terkait aktivitas PT. Priven Lestari di Buli mengaku belum dapat berkomentar. “Saya belum bisa berkomentar lebih,” ujarnya.
Sebaliknya Ubaid Yakub langsung menanggapi hasil pertemuan Pemda dengan perwakilan Aliansi Masyarakat Peduli Wato-wato.
“Pemerintah daerah dalam posisi ini hanya mendampingi lewat Kaban Hukum dan Dinas Lingkungan Hidup, baik dari tingkat Provinsi hingga Pusat. Saya kira sampai disitu. Soal temuan dan seterusnya, itu di luar konteks kami. Dan sampai hari ini, kehadiran PT. Priven Lestari adalah legal, dan kalau legal, kita harus mempertemukan mereka,” akuinya.
Terkiat dengan legal, apakah Pemerintah daerah sudah mengantongi izin dari PT. Priven Lestari, kata Ubaid Yakub, teman-teman pasti tahu, karena soal perizinan, kewenangannya langsung ke Pemerintah pusat.
Ketika ditanya AMDAL, dia berujar,”saya tidak bicara dalam konteks itu. Akan tetapi ia lanjut menjelaskan”. Terserah teman-teman, saya tidak masuk sampai pada konteks itu,” ucapnya.
Namun terkait beroperasinya PT. Priven Lestari atas dasar dari surat yang mana sehingga mereka sudah membuka lahan, Bupati bilang,” saya membatasi diri dan sementara baru berproses, dan saya mungkin titik sampai disitu,” papar dia.
Dalam rencana tata ruang wilayah, gunung Wato-wato masuk kawasan apa, kata dia, Ubaid “kita masih pada tataran itu dulu,” pungkasnya.
Sementara koordinasi antara PT. Priven Lestari dengan Pemda terkait dengan eksplorasi, Ubaid menjelaskan,” kami membatasi diri, karena ada aspirasi yang berkembang dan masih dalam status quo. Sampai hari ini, kita tidak berkomunikasi lebih lanjut,” tambah Ubaid.
Humas PT. Priven Lestari, Hidayat dan juga mantan Koramil Maba mengungkapkan, masuknya PT. Priven Lestari sudah mempunyai legalitas, karena di sudah mulai dari 2005-2006, ia sudah pernah berkomunikasi dengan Bupati Halmahera Timur yang lama, yakni Helmus.
“Karena waktu itu, izinnya masih di Kabupaten, dan bukan Provinsi. Tetapi sekarang sudah berada di Pemerintah pusat. Dari awal AMDAL PT. Priven Lestari dimulai dari tahun 2006 dan sudah revisi hingga di tahun 2018, dan hingga sekarang belum ada revisi lagi,” papar Hidayat, Rabu (11/10/2023).
Sejak AMDAL di tahun 2018, mestinya di tahun 2021 harus sudah direvisi, namun PT. Priven Lestari waktu itu, belum beroperasi. Saat ini, rekomendasinya kembali ke pemerintah pusat, sedangkan pemerintah Kabupaten tidak punya kewenangan lagi.
Mengacu tata ruang wilayah Kabupaten Halmahera Timur kawasan gunung Wato-wato tidak diperuntuhkan untuk kawasan pertambangan. Karena di lokasi tersebut ada HPH, HPT, hutan lindung, dan sekarang SK dari Kementerian Lingkungan Hidup yang ditetapkan sebagai hutan di 5 desa.
“Waktu itu pernah sosialisasi, ada garis batasnya. Ketika ditanya, wilayah konsesi PT. Priven Lestari masuk dalam kawasan hutan lindung, Hidayat mengakui, bahwa memang betul. PT. Priven Lestari beroperasi atas dasar AMDAL tahun 2018 yang dibahas dari tahun 2006 yang lalu, tetapi saat ini masih terhenti dan kembali membuka jalan holing yang direncanakan 3 kilo,” katanya.
Berdampak dengan budaya masyarakat Buli
Kadis Parawisata dan Kebudayaan Halmahera Timur, Mochtar Haji Muhammad ketika ditanyakan, gunung Wato-wato dieksplorasi oleh PT. Priven Lestari, apakah ada perubahan kepada masyarakat karena mereka menganggap gunung tersebut sebagai ibu yang menjaga anak-anaknya.
“Dari prespektif budaya, sangat mempengaruhi kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Yang jelas kami menolak sesuai dengan tuntutan masyarakat,” tegas Mochtar.
Kepala Bidang (Kabid) Pelayanan Pendaftaran Penduduk, Dukcapil Halmahera Timur, Abdurahim Fabanyo mengatakan, dari data jumlah penduduk di Buli sesuai rilis dari Kementerian di semester ke II tahun 2022 yaitu, dengan jumlah total 13. 195 jiwa.
“Terkait data di tahun di 2023 belum dikeluarkan jumlahnya, karena masih ada semester II lagi yang disiapkan. Sebab di setiap tahun, kami selalu menerbitkan agregat kependudukan, sedangkan skema dalam pengambilan data kependudukan, tentunya langsung melalui sistem,” tuturnya.
Sesuai sistem informasi, birokrasi kependudukan yang berada di Halmahara Timur semua sudah ada di Pusat. Hanya saja, basisnya harus memiliki Kartu Keluarga (KK) yang dihitung per biodata berdasarkan status.
Benteng Terakhir Gunung Wato-wato
Sangadji Maba, Ibrahim Hi. Haruna menjelaskan, masuknya perusahan PT. Priven Lestari di Buli, Kabupaten Halmahera Timur, bahwa ia sudah telah menyurat kepada Sultan Tidore pada tahun 2001.
“Kalau ditanya dampak dari beroperasinya PT. Priven Lestari itu, saya belum memahami,” singkatnya.
Semua dari alam ini mempunyai pengaruh besar terhadap masyarakat yang membawa dampak baik maupun buruk. Sementara jarak kawasan pemukiman warga ke perusahan PT. Priven Lestari dalam pandangannya sekitar 1 kilo.
“Di Desa Buli sudah ditetapkan menjadi hutan desa sesuai SK dari Kementerian Lingkungan Hidup, tatapi saya belum mendapat informasi tentang hal tersebut,” ucap Ibrahim.
Terkait dengan penolakan PT. Priven Lestari dari masyarakat Desa Buli, tentunya ada kekhawatiran terutama berdampak secara negatif kepada air sungai yang menjadi ruang hidup bagi semua orang di bawah gunung Wato-wato.
“Sikap saya, yang jelas menolak. Karena saya sudah bersikap sejak dulu melalui surat yang dikirim ke Sultan Tidore bersama almarhum Sangadji Kasomayoma. Tentunya, respon Sultan Tidore saat itu, bahwa perusahan itu terlalu dekat dengan pemikiman masyarakat,” terangnya.
Dosen Sejarah Universitas Khairun Ternate, Irfan Ahmad mengatakan, masyarakat Buli memandang gunung Wato-wato sebagai satu nilai sejarah, bahwa sebetulnya bicara gunung Wato-wato tidak terlibat dengan orang Halhamera Timur secara keseluruhan.
Konteks sejarah, orang Maba juga pernah mendiami sekitar Gunung Wato-Wato. Bahkan suatu ketika terjadi peperangan antara orang Boeng (Kao) dengan orang Buli, orang Maba bersama orang Buli bersatu untuk melawan orang Boeng. Tetapi dalam kesepakatan pembagian hunian; Buli Asal, Buli Sarani,dan Buli Islam karena pertumbangan orang Maba dan Kesultanan Tidore yang berkultur Islam.
“Hanya saja belakangan ini, Pemerintah Maluku Utara membagi wilayah administrasi dan gunung Wato-wato secara geografis berada di wilayah Buli, maka saat pengusuran lahan atau adanya ekspolasi masyarakat Maba bukan tidak terpanggil, karena pihak tambang dan Pemerintah menetapkan zona pada lingkar tambang yaitu, dengan istilah ring 1, ring 2, dan ring 3,” papar Irfan.
Sehingga istilah ini sengaja telah memisahkan kelompok Buli dengan Maba. Padahal dalam konteks sejarah dan budaya, gunung Wato-wato adalah milik bersama, bahkan bila dikaitkan dengan tanah adat, maka jangan lupa di dalamnya yang berhak adalah Kesultanan Tidore.
Sebagaimana Desa Buli adalah kampung tua, terdapat hubungan antara gunung Wato-wato dalam aspek sejarah dan budaya orang Buli dan Maba, kata Irfan, sebenarnya masyarakat di desa Buli percaya bahwa pada zaman dahulu penduduk asli desa Buli adalah mereka yang berasal dari suku bangsa Tatam, Gagaili, dan Maba yang tinggal di tepi sungai yang berada di sekitar gunung Wato-wato.
“Dari situlah, ada pertimbangan untuk kemajuan wilayah maupun toleransi antara umat beragama, maka tiga suku bangsa tersebut dibagi menjadi Buli Sarani, Buli Asal, dan Buli Islam,” terangnya.
Menurutnya, dinamakan Buli Sarani karena mereka beragama Kristen, karena bagi mereka yang beragama Islam dinamakan Buli Islam, dan Buli Asal. Maka saat itupun, mereka masih menganut kepercayaan lokal. Saat ini, karena pertimbangan wilayah dan toleransi beragama, Buli Islam diganti menjadi Buli Karya, Buli Sarani, dan sekarang menjadi Buli dan Buli Asal yang masih tetap dipakai sebagai identitas bahwa mereka adalah penduduk asli Buli, sekalipun mereka telah menganut agama Islam maupun Kristen.
Sementara dalam kontak awal, orang Maba dan Buli sejak masa pemerintahan Sultan Ciriliyati alias Djamaluddin (1495-1512 M) mungkin saja jauh sebelumnya, hanya saja pembuktian masih butuh dikonfirmasi dari Kesultanan Tidore.
“Jadi ikatan yang kuat antara orang yang mendiami Halmahera Timur dan Tengah (termasuk Buli), hampir dalam semua Sultan, mereka terlibat aktif membela harkat dan harga diri mereka bersama Kesultanan Tidore dan puncaknya yiatu, pada masa Sultan Nuku berkuasa. Hanya saja dalam beberapa peristiwa sejarah orang Buli tercatat sebagai orang Maba karena memiliki kesamaan dalam kultur,” katanya.
Dalam pandangan orang Buli, gunung Wato-wato adalah ibu yang melindungi anaknya yaitu, orang Buli, bahwa sebetulnya hampir semua orang Maluku Utara memandang Tanah dan Air (air laut dan lautan) adalah Ibu karena tanah dan laut menghidupkan mereka. Dahulu, laut juga sangat berarti bagi orang Maluku Utara, karena sebagian besar penghidupan diproses di laut setelah mendapat di hutan.
“Jadi antara tanah, hutan, dan air adalah satu kesatuan yang tidak terlepas dengan orang Maluku Utara,” ujarnya.
Jojau Kesultanan Tidore, M. Amin Faroek mengungkapkan, gunung Wato-wato mempunyai cerita tersendiri dari orang tuanya (aba), ia berjalan kaki dari Kaiyasa sampai di dekat gunung Wato-wato dengan membenarkan gunung tersebut, artinya (telanjang) ketika dipandangan dari lautan.
“Kalau menurut saya punya Aba cerita, di kawasan gunung Wato-wato ada karamat (jere). Perempuan itu, dia memiliki suami 7 orang, jadi ada urutan. Dia terus melakukan ziarah, baik di dalam air dan darat, dan tentunya pengetahuan torang (kami) belum sampai disitu, tetapi ia pernah sampai di Buli, tetapi Gimalaha Lolobata belum pernah sampai tersebut”, cerita Paman dalam sapaan keseharian warga.
Ia bercerita, saat itu kehadiran perusahan PT. Priven Lestari belum sampai 1 tahun, Gimalaha Lolobata pernah menyurat dan memberi denda kepada mereka sebesar Rp50 miliar.
“Suatu ketika, ada perusahan milik mantan Wakil Wali Kota Tidore Kepulauan, Hamid Muhammad melihat surat teguran yang ditulisnya. Ketika melihat surat tersebut, dia bilang,” ini saya punya om, sehingga dia membawa staf perusahan ke rumah ini,” katanya.
Saat tiba di rumah, Amin Faroek bilang kepada staf perusahan itu, untuk bertemu dengan Bupati Halmahera Timur dengan tujuan meminta izin keterangan beroperasi, tetapi radiusnya harus jauh dari gunung Wato-wato karena di gunung tersebut banyak situs sejarah.
“Jadi benda budaya yang bergerak dan tidak bergerak di laut maupun di darat ada aturan-aturan khusus. Cerita ini, banyak tumpang tindi tentang gunung Wato-wato, cuma torang (kami) ambil dari sisi bahasa, kenapa tidak memakai bahasa Buli atau Gamrange, dan harus pakai bahasa Tidore, karena dulu dipandangan dari laut persis dengan seorang perempuan,” cerita Jojau.
Sepanjang daratan Halmahera, ada kejaiban-keajaiban alam dan sudah menjadi sunnatullah. Memang dari dulu, sudah ada tanda-tanda seperti burung, hanya ditakuti adalah Babi. Negeri ini bertuan, tetapi nawaitu torang (kami) tidak pernah merusak habitat. Atau bisa memakai bahasa “Tabea” (permisi) dan bilang, bahwa kami adalah anak cucu, ketika bertemu dengan hal-hal demikian.
“Tetapi saya saran ketika masuk hutan, mestinya harus pakai pakain warna gelap agar bisa menyatu dengan alam, tidak boleh memakai yang terang,” ucapnya.
Padahal berkaiatan dengan burung “taun” ini, dibenarkan Jojau bahwa ia sebagai petunjuk dan penjelmaan. Hal tersebut, pernah terjadi rusu antar agama di tahun 1999. “Waktu pasukan yang pergi berperang di tanjung Bernabas, ada seekor burung “taun” terbang mengikuti pasukan di atas laut.
“Makanya, ada hal-hal yang aneh, burung tersebut akan mengambil sikap sendiri tanpa diketahui orang,” jelasnya.
*) Berita ini pertama kali tayang di Porostimur.com pada Senin, 30 Oktober 2023, dan direpublikasi oleh Independen.id dengan beberapa editing tanpa mengubah isi berita.Liputan ini merupakan program penulisan Jurnalisme Kolaboratif untuk Memonitor Proyek Strategis Nasional kerjasama AJI Indonesia dan Kurawal.