Gunung Wato-wato, Benteng Terakhir Orang Buli yang Kini Terancam Tambang

Oleh : Nurkholis Lamaau 

Halmahera Timur - Pengerjaan jalan hauling PT. Priven Lestari di Desa Geltoli, Kecamatan Maba, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara mengakibatkan pepohonan dibabat habis. Jalan yang baru dibuat sepanjang 1 kilometer dengan lebar 40 meter itu kian mendekati kawasan Pegunungan Wato-wato, sebuah kawasan konsesi tambang nikel dari PT. Priven Lestari.

Sekitar 700 meter dari lokasi awal camp, jalan hauling menerobos badan Sungai Watileo Kecil. Pepohonan yang selama ini menjadi penyangga daerah aliran sungai (DAS) lenyap. Padahal, sungai itu menjadi sumber air bersih bagi warga yang bermukim di Kompleks Jalan 40 di Desa Geltoli.

Perusahaan saat ini berencana melanjutkan pembangunan jalan sepanjang 3 kilometer ke dermaga jetty di Desa Gamesan. Namun, Pemerintah Desa Gamesan menyebut pihak perusahaan tidak pernah melakukan koordinasi terkait pembangunan jalan tersebut.

"Saya memang kurang terlalu tahu soal jalan perusahaan itu, tapi tiba-tiba dorang (mereka) so (sudah) gusur, so buka (jalan), tarada (tidak ada penyampaian ke Pemdes)," ujar Kepala Desa Gamesan Eddy Niki Yulluw saat berbincang dengan detikcom, Senin (9/10/2023) lalu.

Eddy mengaku tidak bisa membayangkan jika perusahaan juga melakukan penimbunan di laut sepanjang 200 meter dari bibir pantai. Dia menegaskan aktivitas itu jelas mengancam dua aliran sungai yang selama ini menjadi sumber air bersih warga setempat. Tak cuma itu, perairan sekitar selama ini juga menjadi lokasi nelayan berburu udang laut berukuran kecil.

"Jadi pasti kalau penimbunan sekitar 200 meter ke laut itu kan habis itu (udangnya). (mayoritas warga Desa Gamesan bekerja sebagai) nelayan dan petani, ada juga sebagian yang sudah (bekerja) di perusahaan," ujarnya.

Namun Eddy tidak bisa berbuat banyak sebab posisinya sebagai kepala desa tidak luput dari tekanan ketika warganya sempat menolak pembangunan jalan hauling ke dermaga jetty pada tahun 2022. Saat itu, orang yang tidak dikenal menghubunginya dan mempertanyakan alasan warga menghalang-halangi pekerjaan jalan.

"Saya secara pribadi menolak, tapi secara regulasi kita juga ya (dilema). Karena sebelumnya (saya) banyak dapat telepon dari aparatur. Hanya ditanya saja, kenapa warga bapak menghalang-halangi itu mau bikin jalan, kayak begitu," ujarnya.

Selain itu, Eddy juga didesak menandatangani surat persetujuan pembangunan jalan hauling ke areal dermaga jetty di desanya. Eddy yang tidak punya pilihan terpaksa menandatangani surat itu dan disaksikan pihak perusahaan.

"Tanda tangan untuk izin pembangunan jetty. Saya tanda tangan pihak perusahaan datang, tapi sebelum tanda tangan (saya) sempat dapat telepon dari entah itu karena gertak atau apa, saya tidak tahu. Kalau soal itu (jetty) yang saya tahu 70 meter dari pemukiman warga," ujarnya.

Masyarakat Desa Gamesan yang umumnya bekerja sebagai nelayan hanya memiliki lahan pertanian di sekitar desa di kawasan pesisir. Tapi Eddy mengaku Desa Gamesan juga memiliki hutan desa seluas 10 hektare. Eddy kini dilanda perasaan dilema antara menerima atau ikut menolak.

"Iya, (hutan desa) Gamesan ada, sedikit, kurang lebih sekitar 10 hektare kalau tidak salah itu. Kami tentu dilema, jadi tuntutan untuk menerima kemudian menolak juga kita ngambang begitu. Kalau pribadi itu sebenarnya jangan (ada tambang), tapi saya juga tidak berdaya," tuturnya.

Warga Desa Gamesan, Andreas Markus (70) mengatakan Jalan Hauling ke lokasi dermaga jetty dibangun di lahan perkebunan warga yang sudah dibayar perusahaan. Bahkan, lahan perkebunan milik Andreas di Desa Baburino sudah dibayar oleh PT Sambaki Tambang Sentosa untuk areal jetty.

Andreas sendiri mengaku tidak punya sikap menolak kehadiran Priven. Namun dia meminta aktivitas perusahaan tidak berdampak terhadap kepentingan masyarakat. Namun dia lagi-lagi tak dapat berbuat banyak, sebab perusahaan telah mengantongi izin dari pemerintah.

"Karena kalau pemerintah izinkan, torang (kami) mau bikin bagaimana, ini kan semua pemerintah punya (kewenangan) toh. Walaupun (lahan) sudah sertifikat tapi kalau pemerintah mau ambil ya," ujar Andreas pasrah.

Andreas sudah lama menggeluti profesi sebagai nelayan. Andreas sehari-hari menjaring ikan tidak jauh dari perkampungan. Hasil tangkapannya dijual dan sisanya untuk dikonsumsi. Andreas sendiri tidak punya gambaran ketika nantinya kapal-kapal pengangkut ore nikel lalu-lalang di depan desanya.

"Pokoknya kalau tidak mengganggu aktivitas masyarakat biar saja supaya orang bisa kerja, yang penting jangan ada dia punya dampak lingkungan, itu saja," harap Andreas.

Sementara itu, Kepala Desa Geltoli, Herasmus Tatengkeng (64) mengatakan pembangunan jalan hauling yang menerobos lahan pertanian karena masyarakat sendiri yang menjual lahannya ke perusahaan. Herasmus menilai warga terpaksa menjual lahan karena butuh uang.

"Masyarakat kan butuh uang toh. Orang punya anak sekolah, kebutuhan sehari-hari, katong (kami) mau bilang apa. Tapi jalan itu belum masuk di areal IUP, itu baru di lahan milik warga. Kalau tidak salah kurang lebih 10 orang warga, jadi itu masih di areal kebun," ujarnya.

Herasmus juga mengaku tidak tahu berapa harga lahan yang dibayar perusahaan. Menurutnya, itu urusan pemilik lahan dan perusahaan. Selain itu, pembangunan jalan hauling belum masuk di kawasan hutan Desa Geltoli yang luasnya sekitar 759 hektare.

"(Titik jalan hauling) belum sampai hutan desa, masih jauh (dari jalan hauling), itu di lahan (perkebunan) masyarakat. Kita punya hutan desa juga ada di belakang sini, paling besar itu, sekitar 759 hektare. Itu Desa Geltoli punya, jadi paling besar," tuturnya.

Di Kecamatan Maba, terdapat 5 hutan desa yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berdasarkan surat keputusan tahun 2021. Di antaranya, Desa Geltoli dengan luas hutan desa 759 hektare, hutan Desa Sailal seluas 321 hektare, hutan Desa Buli Asal 116 hektare, hutan Desa Buli 159 hektare, dan hutan Desa Fayafli 506 hektare.

Bagi Herasmus, pemdes adalah struktur pemerintahan paling bawah yang tidak punya kewenangan untuk berbuat banyak. Dia juga menyinggung kewenangan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang kini telah diambil alih pemerintah pusat.

"Jadi penentuannya dari atas (pemerintah pusat). Hutan desa ini kan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tapi kalau dorang (mereka) kasih lepas (diperuntukkan untuk konsesi pertambangan) kitorang mau bilang apa, jadi torang serba salah," ujarnya.

Herasmus tak menampik jika Gunung Wato-wato ditambang akan berdampak pada lingkungan. Tapi bagi Herasmus, meski pemerintah terbuka pada investasi, tapi jika ditolak oleh masyarakat dalam skala yang luas, maka sikap Pemdes adalah harus berpihak pada masyarakat.

"Torang (kami) dari pemerintah tetap mendukung investasi, tapi kalau masyarakat tolak terpaksa torang harus ikut masyarakat. Mungkin dampak positifnya serapan tenaga kerja, tapi kalau dampak negatifnya kan banyak dan yang mereka tolak itu kan soal dampak negatifnya," ujarnya.

Sebab lanjut Herasmus, dari Gunung Wato-wato mengalir sungai-sungai yang saat ini menjadi sumber air bersih bagi warga. Keberadaan sungai tersebut pun dimanfaatkan oleh Pemprov Malut untuk membangun PDAM, dengan menempatkan jaringan pipa di Sungai Watileo Besar.

"Ya dari aspek lingkungan (krisis) air bersih, yang paling utama itu air bersih. (Keberadaan gedung PDAM di belakang Desa Geltoli) oh itu sudah lama (dibangun) sekitar 2015, 2016 atau 2017 itu, (lokasi) di Desa Geltoli sini sudah, itu (jaringan pipa PDAM dihubungkan ke) Sungai Watileo Besar. Kalau jalan (hauling) Priven itu di Watileo Kecil sana itu," ujarnya.

Bayang-bayang Ketakutan Warga Jika Wato-wato Ditambang

Rencana Priven melakukan kegiatan penambangan di Kecamatan Maba belum mendapat titik terang. Mayoritas masyarakat masih tetap bersikukuh menolak. Tapi beberapa di antaranya setuju dengan menjual lahan perkebunan ke perusahaan. Ini menguji sikap warga yang sampai saat ini masih konsisten mempertahankan lahannya.

"Kalau saya pribadi yang penting semua masyarakat sepakat, semua komitmen. Jangan ada yang bersikap (menolak), ada yang tarada (tidak)," ujar warga Desa Fayafli, Ernes Bawang (63) saat ditemui detikcom di kediamannya, Minggu (8/10/2023).

Dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) tahun 2018, perusahaan telah memperoleh IUP seluas 4.953 hektare di Kecamatan Maba. Kegiatan pertambangannya mencakup wilayah Desa Fayafli, Desa Buli Asal, Desa Buli Karya, Desa Sailal, Desa Buli, Desa Gamesan, Desa Baburino, Desa Pekaulang, Desa Teluk Buli, dan Desa Geltoli.

Kehadiran Priven di Maba tidak lepas dari peran Welhelmus Tahalele yang menjabat sebagai Bupati Halmahera Timur periode 2005-2010. Lewat tangannya, perusahaan mengantongi izin berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Nomor 188.45/540-89/2010 tentang Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Nikel.

Ernes yang sehari-hari menghabiskan waktu di lahan perkebunannya seluas 2 hektare menilai jika perusahaan beroperasi, maka semua aktivitas masyarakat akan terganggu, terutama petani. Ernes sendiri mulai berkebun sejak tahun 1980, sedangkan perusahaan baru mengambil ancang-ancang masuk sejak tahun 2006 lalu.

"Kalau Priven ini beroperasi semua aktivitas masyarakat itu akan berpengaruh. Saya orang pertama di lokasi (konsesi) Priven ini yang punya kebun. Sedangkan yang lain ini belakangan semua. Saya punya sekitar 2 hektar. Saya berkebun itu dari tahun 1980, sedangkan Priven masuk 2006," ujarnya.

Di atas lahan kebun milik Ernes terdapat ratusan pohon cengkeh, nenas, dan pisang. Namun lahan perkebunan yang digarap sejak tahun 80-an itu kini masuk kawasan konsesi Priven, berbatasan dengan PT. Aneka Tambang (Antam). Meski begitu, Ernes memilih tetap mempertahankan lahan perkebunannya.

"Saya pernah bilang ke masyarakat ini, kalau saya mau cari doi (uang) kan gampang saja, tinggal lepas (jual ke perusahaan). Tapi saya tara (tidak) cari doi. Jangan sampai (lahan) rusak toh. Prinsip saya selama hidup ini saya tara (tidak) pernah berharap mau kaplingan dan segala macam," tuturnya.

Kehadiran Priven seakan menjadi momok bagi Ernes. Menurutnya, jika perusahaan nekat menambang Gunung Wato-wato, maka masyarakat di Kecamatan Maba akan mengalami dampaknya. Meskipun pemerintah selalu menggaungkan terbukanya lapangan kerja, tapi Ernes lebih melihat dari aspek lingkungan.

"Memang kitorang (kami) tidak bisa larang investasi masuk, tapi (investasi) yang bagaimana, yang tidak mengorbankan masyarakat toh. Hari ini kalau masyarakat korban, ya sama saja. Lebih baik kita begini saja daripada perusahaan masuk kasih hancur kita punya tanah. Jadi saya sudah ada bayangan ke sana, saya tidak mau," tuturnya.

Bagi Ernes, keberadaan Gunung Wato-wato sebagai pelindung bagi masyarakat di Kecamatan Maba. Gunung Wato-wato dianggap sebagai benteng terakhir yang melindungi masyarakat di 10 desa. Jika Gunung Wato-wato ditambang, maka masyarakat yang akan menanggung akibatnya.

"Wato-Wato itu sebagai pelindung untuk kitorang masyarakat Buli, sebagai benteng. Kalau Wato-wato ini dibongkar orang Buli mati, karena sumber air dengan segala macam itu kan ada di sini semua. Kalau Wato-wato ditambang, orang Buli tara (tidak) mati bagaimana?," cetusnya.

"Kitorang ini tinggal tunggu mati saja, tapi generasi ke depan bagaimana? Jangan hari ini cuma pikir doi. Hari ini kalau cuma pikir doi, saya punya lahan tinggal lego (jual) saja. Kebun saya di atas gunung di hutan desa sana itu. Saya punya cengkeh besar-besar, saya tanam masih nyong-nyong (usia muda)," tuturnya.

Dia pun menyinggung bahwa jauh sebelum ini masyarakat sudah merasakan dampak dari kehadiran beberapa perusahaan tambang lainnya. Dilansir dari MODI ESDM Dirjen Minerba, Hamahera Timur mengoleksi 24 IUP di antaranya PT Alam Raya Abadi dengan luas konsesi 924 hektare, PT Alngit Raya 137,10 hektare, PT Aneka Tambang 39,040 hektare, PT Halmahera Sukses Mineral 7.726 hektare, PT Haltim Mining 123 hektare, PT Indo Bumi Nickel 2.117 hektare.

Lalu, PT Sambaki Tambang Sentosa 4.480 hektare, PT Wana Halmahera Barat Permai 3.986 hektare, PT Wana Kencana Mineral 24.700 hektare, PT Jaya Abadi Semesta 1.826 hektare, PT Karya Cipta Sukses Lestari 9.458 hektare, PT Kurun Cerah CIpta 4.733 hektare, PT Makmur Jaya Lestari 394 hektare, PT Mega Haltim Mineral 13.510 hektare, PT Position 4.017 hektare.

Kemudian PT Weda Bay Nikel 45,065,00 hektar, PT Anugrah Bukit Besar 2.111.06 hektar, PT Arumba Jaya Perkasa 1.818,47 hektare, 19. PT Cakrawala Agro Besar 8.198,27 hektare, PT Forward Matrix Indonesia 1.417,00 hektare-1.721,70 hektare, PT Adhita Jaya Indonesia 2.000,00 hektare, PT Sumberdaya Arindo 14.421.00 hektare, PT Nusa Karya Arindo 20.763,00 hektare.

Luas konsesi beberapa perusahaan tersebut juga mencakup wilayah administrasi Halmahera Tengah. Jika ditambah kehadiran Priven dengan luas konsesi 4.953 hektare yang menerabas kawasan Gunung Wato-wato, maka nasib masyarakat dengan jumlah penduduk 13.195 jiwa dari 10 desa akan terancam. Apalagi luas wilayah Kecamatan Maba hanya 385,55 kilometer persegi.

"Memang (beberapa perusahaan pertambangan) yang ada ini dampak pertama itu pesisir Tanjung Buli, Pulau Gee, Pulau Pakal, itu sudah terjadi. Kalau di daratan ya sekitar (kawasan pesisir) Maronopo, itu kan so hancur samua (semua)," tutur Ernes.

Senada dengan Ernes, warga Desa Sailal, Kalep Susu (74) mengaku sempat mengingatkan masyarakat saat aksi demonstrasi menolak kehadiran Priven di Kantor Camat Maba pada September 2023. Menurut Kalep, jika perusahaan beroperasi maka dalam kurun waktu 10 tahun mendatang desa-desa di Kecamatan Maba akan hancur.

"Saya kasih pengertian ke masyarakat, jangan sampai torang (kami) susah di kemudian hari. Satu ketika paling tinggi 10 tahun torang ancor (kami hancur). Tara ancor (tidak hancur) bagaimana, air minum di bawah (tanah) ini, masyarakat ini hidup dengan air itu," ujarnya.

Kalep seakan tak habis pikir dengan kebijakan pemerintah yang terkesan tidak memperhitungkan nasib warganya. Kalep yang tercatat sebagai Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama di Kecamatan Maba ini, menilai jika pemerintah salah mengambil langkah maka masyarakat akan menjadi korban.

"Yang jelas kitorang punya pemukiman ini akan lenyap di muka bumi. Kadang saya pikir pemerintah ini so terlalu kurang ajar bukan main terhadap kitorang. Ini secara langsung ngoni (kalian) bunuh pe kitorang, saya ini orang tua, pemerintah provinsi ngoni bikin apa? Kalau pemerintah salah langkah, kitorang masyarakat mati sudah," ujarnya.

Kalep tak menampik jika perusahaan hadir akan menyerap tenaga kerja sekaligus meningkatkan roda perekonomian masyarakat. Tapi yang dikuatirkan Kalep adalah dampak lingkungan. Sebab, Gunung Wato-wato adalah benteng terakhir yang melindungi masyarakat dari ancaman ekologis.

"Betul (dampak positif), tapi yang saya takut dampak lingkungan ke depan. Gunung Wato-wato ini dia lindungi pe kitorang, benteng terakhir. Artinya dorang (mereka - pemerintah) kasih izin (perusahaan) tu dorang (mereka) tara (tidak) lihat dulu ka?," cetus Kalep.

Kalep mengaku sulit membayangkan jika kawasan Gunung Wato-wato dibongkar. Selain ancaman bencana alam berupa banjir, masyarakat akan kesulitan memperoleh air bersih hingga memenuhi kebutuhan pangan dari hasil perkebunan.

"Susah, kitorang masyarakat so tara (sudah tidak) minum air bersih. Kedua, kitorang so tara makan. Me kalau makan kan kitorang kadara (daratan) bikin kebun. Kalau dorang (mereka) so bongkar bikin jalan kong (lalu) banjir tola (dorong) ke bawah (permukiman), biki apa?," ujarnya.

"Saya sebagai pegawai negeri cukup jengkel. Kalau bongkar itu (gunung Wato-wato) kitorang habis sudah, kalau hujan deras turun selesai ini kampung. Coba lihat sungai Sagea, sudah berapa kali berganti warna. Ngoni tara (kalian tidak) sayang kitorang anak cucu e. Saya ini ikut rapat 7 kali di kantor camat, tidak ada kesimpulan apa-apa," tambah Kalep.

Alasan yang sama disampaikan warga Desa Wayafli, Lukas Feplun (51). Menurut Lukas, sumber air yang mereka konsumsi sehari-hari berasal dari hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Gunung Wato-wato. Menurut Lukas, masyarakat tidak akan protes jika kawasan konsesi perusahaan jauh dari pemukiman.

"Sumber air yang kitorang miliki sekarang ini berasal dari Gunung Wato-wato. Kalau (perusahaan beroperasi) jauh dari kampung ini mungkin mereka (masyarakat) tara (tidak) demo," ujar Lukas yang bekerja sebagai petani.

Lukas pun teringat saat PT Antam pertama kali masuk ke Halmahera Timur. Kala itu, kata dia, perusahaan masih dalam tahap eksplorasi hingga ke kawasan Gunung Wato-wato. Namun saat memulai kegiatan penambangan, PT Antam ogah menyentuh gunung tersebut.

"Saya tahu, karena waktu belum kawin itu kitorang (kami) eksplorasi di situ, itu PT Antam. Tapi setelah PT Antam buka, daerah itu (Wato-wato) dorang (mereka) tidak ambil. Karena mungkin satu kali kelak akan menimbulkan hal-hal yang masyarakat tidak inginkan," ungkapnya.

"Jadi kitorang di sini sisa itu (Gunung Wato-wato), kalau sampai perusahaan Priven ini operasi bagaimana? Kitorang di sini kan rendah, di dara (dataran pegunungan Wato-wato) tinggi. Kalau sampai jadi (menambang), menurut orang tua-tua di sini, kampung ini tenggelam kalau hujan deras," tambahnya.

Lukas mengaku khawatir karena memikirkan nasib anak-cucunya kelak yang akan mengalami dampak tersebut. Oleh karena itu, masyarakat kukuh menolak lewat aspirasi yang telah disampaikan, baik ke pemerintah kabupaten, provinsi, hingga DPRD, kabupaten/provinsi. Tapi, kata Lukas, semua kembali ke para pengambil kebijakan.

"Kitorang ini so susah baru datang barang (perusahaan) itu lagi. Pemerintah harus pikirkan ini, masyarakat usul jangan diam. Dari awal saya sudah katakan, hari ini saya tarada (tidak ada), tapi anak cucu saya bagaimana? Sebagai kunci dari bahasa itu, pada prinsipnya saya menolak," imbuh Lukas.

Koordinator Daerah Pengurus Gereja Wilayah Halmahera Timur, Adewe Min Radja (41) turut mengamini bahwa dalam keputusan sidang Pengurus Gereja Indonesia (PGI), isu lingkungan menjadi salah satu perhatian. Menurutnya dari sisi kelembagaan, gereja tidak menolak investasi. Tapi dengan catatan semua harus terukur.

"Gereja bukan menolak orang luar atau investasi masuk, tidak sama sekali, bukan dalam pengertian itu. Tapi harus bertanggung jawab dalam pengertian harus terukur, itu prinsipnya. Kalau tidak terukur, dampaknya so pasti," ujar Adewe yang bermukim di Desa Fayafli.

Adewe mengaku sempat bertandang ke Desa Lelilef di Kecamatan Weda Tengah, Halmahera Tengah dan melihat langsung situasi sekitar. Menurutnya, banyak perubahan pada aspek lingkungan. Bahkan setelah berlibur di kawasan wisata alam Gua Bokimoruru, beberapa bulan kemudian beredar kabar gua tercemar.

"Itu yang ditakutkan, karena saya lihat langsung. Saya sempat ke Gua Bokimoruru itu masih bagus. Tapi beberapa bulan kemudian saya lihat di berita (tercemar), jadi memang torang (kami) dari dulu sebelum Priven, torang tara (kami tidak) mau (perusahaan tambang hadir)," ujarnya.

Adewe menyebut di belakang desa terdapat sungai. Saat ini masyarakat telah merasakan dampak setelah beberapa kawasan perbukitan di sekitar desa ditambang. Jika Gunung Wato-wato ikut ditambang, maka kehidupan masyarakat akan terancam.

"Di belakang (perkampungan) ada sungai, ini kiri-kanan dorang (mereka) so bongkar (kegiatan penambangan) saja kitorang so dapat rasa (dampak), kalau bongkar ini (Gunung Wato-wato) kitorang mati. Jadi kalau mau bilang dia punya dampak segala hal, pasti (terjadi)," ucapnya.

"Prinsip saya, lebih baik torang (kami) bicara sebelum terjadi, jangan sudah terjadi baru bicara. Kaya gelas, kalau sudah pecah kan tara (tidak) mungkin mau pulih lagi toh. Jadi sebelum pecah harus antisipasi," tambah Adewe.

Halmahera Timur kaya dengan hasil alam. Adewe mengenang, dulu warga mencari ikan tidak jauh dari pantai. Salah satu ikan jenis pelagis yang oleh warga disebut ikan kombong banyak ditemui. Pepohonan mangrove tumbuh berjejer di sepanjang pesisir pantai desa-desa sekitar. Kini, semua berubah setelah perusahaan datang satu-persatu.

"Dulu orang mangael (mancing) ikan dekat-dekat saja. Di sini (pesisir) soki-soki (mangrove) semua ini, tapi itu dulu. Ikan kombong (jenis pelagis) dekat-dekat. Sekarang (ikan) hilang, itu (mangrove) habis. Bagaimana kalau ini (Priven) hadir, tarada (tidak ada) yang hidup," ujarnya.

Lanjut Adewe, saat ini masyarakat telah berjuang mempertahankan Gunung Wato-wato. Jika pada akhirnya perusahaan tetap beroperasi, maka bagi yang setuju harus bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup masyarakat yang menolak. Sebab, dampak banjir tidak mengenal siapa yang tidak menerima uang.

"Saya ada lahan, karena saya penduduk asli di sini. Jadi kalau saya mau terima doi kan enak-enak toh, tinggal lepas. Saya punya kebun hampir 2 hektare itu masuk wilayah konsesi, saya pe papa punya. Saya pribadi sampai bilang kalau dorang (mereka) paksa ya sudah, dorang giling (lindas) dengan torang (kami) di situ sudah," ujarnya.

Adewe menegaskan, masyarakat di Kecamatan Maba dibesarkan dengan air sungai yang mengalir dari Pegunungan Wato-wato. Pelayanan gratis dari alam itu membuat masyarakat terbiasa memanfaatkannya dengan jumlah yang banyak. Bahkan, sungai-sungai tersebut seakan menjadi tempat hiburan bagi Adewe di masa kecil.

"Torang (kami) ini dibesarkan dengan air-air ini, kitorang tara (kami tidak) terbiasa dengan air-air parigi (sumur). Torang (kami) mandi juga tara (tidak) pernah dengan air yang sedikit, karena kitorang sudah dimanjakan. Dulu itu sungai jadi torang (kami) punya tempat hiburan," imbuhnya.

Polemik Nama Suku hingga Tanda Tangan Warga

Kepala Desa Fayafli, Yehuda Guslaw tidak menampik kalau dirinya cukup getol menolak kehadiran Priven. Ia pun teringat saat konsultan perusahaan menggelar sosialisasi Amdal di kantor Camat Maba. Saat itu banyak warga menolak penambangan di Gunung Wato-wato.

"Saya tolak keras waktu itu, sampai hari ini pun kita tidak kasih (sikap menerima), tidak bisa. Karena mengingat terlalu dekat dengan pemukiman. Kedua, kalau banjir bagaimana? Dan memang pertemuan tidak bisa dilanjutkan karena ditolak terus," ujar Yehuda.

Namun saat itu warga tidak punya berita acara penolakan di setiap forum-forum pertemuan, sehingga perusahaan diduga memanfaatkan daftar hadir yang ditandatangani oleh warga sebagai dasar hukum untuk disisipkan dalam dokumen Amdal sebagai isyarat pengesahan.

"Padahal kalau tolak kan harus ada berita acara penolakan. Akhirnya torang (kami) punya daftar hadir yang rapat tadi itu dorang (mereka) pakai sebagai acuan untuk pembentukan Amdal itu," ungkap Yehuda yang tercatat sebagai Ketua Asosiasi Kepala Desa di Kecamatan Maba ini.

Bahkan pertemuan lanjutan di Hotel Muara di Kota Ternate pada 2014 lanjut Yehuda, muncul nama suku Sawai di Halmahera Tengah dan Suku Kao di Halmahera Utara dalam dokumen Amdal, bukan suku Maba dan Buli yang mendiami Halmahera Timur. Ini membuat warga curiga.

"Mungkin copy paste, jadi ada sempat (suku) Kao, (nama suku) Sawai muncul. Jadi torang punya (tokoh adat) almarhum, sudah meninggal, Kapita Buli, Kasomayoma itu, dia marah. Dia bilang masak torang (kami) Suku Buli kok dibilang Suku Sawai," ucap Yehuda mengenang.

Dari situ, belum ada keputusan yang final dan perusahaan pun berjanji memperbaiki. Namun seiring waktu, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu (DPMPTSP) Maluku Utara mengeluarkan izin lingkungan pada 2 Juli 2018. Tapi Yehuda mengaku sejauh ini belum ada sidang Amdal yang melibatkan warga secara langsung.

"Jadi belum sidang Amdal, masih tahapan sosialisasi dari konsultan. Tapi itu (tandatangan daftar hadir warga) dijadikan acuan," ungkap Yehuda.

Yehuda juga menyebut dari Pegunungan Wato-wato mengalir 9 sungai besar seperti Sungai Fayafli yang terbagi dua cabang, lalu Sungai Tongli, Sungai Kainof, Sungai Gamesan kecil dan besar, Sungai Watileo kecil dan besar, serta tiga sungai lainnya. Sungai-sungai itu bahkan mengalir hingga ke wilayah Subaim, Kecamatan Wasile.

"Jadi semua 9 sungai, tapi 3 sungai lagi itu saya kurang hapal namanya. Tapi itu keluar (mengalir) sampai Subaim sana itu. Karena di sini Sungai Gamesan ada dua, kalau tercemar ya sudah. Jadi ada tiga hal yang torang (kami) kuatirkan itu. Pertama banjir, kedua pasti debu, dan ketiga pasti pencemaran lingkungan, itu pasti," katanya.

"Karena belum bongkar saja banjir model begitu, naik (meluap) sampai di jalan di Desa Geltoli setiap hujan. Kalau banjir itu oto (mobil) tidak bisa menyeberang. Kalau di Desa Buli Karya itu sungai Jodoh dan itu belum operasi, kalau operasi habis kita," tambah Yehuda.

Yehuda juga tak menampik jika dalam jangka panjang warga di Kecamatan Maba harus direlokasi. Persoalannya, warga harus dipindahkan ke mana. Sebab, saat ini sudah tidak ada kawasan yang luput dari aktivitas penambangan kecuali Gunung Wato-wato.

"Oeee... (jika direlokasi) mau tinggal di mana? Makanya anak-anak tara (tidak) mau (Priven hadir). Iya, karena memang di daerah kita ini sudah tidak ada hutan yang kosong, sudah tidak ada lagi kecuali Wato-wato," ujarnya.

Yehuda memaparkan, di sebelah utara ada PT Sambaki Tambang Sentosa. Sementara, di kawasan sekitar Kecamatan Maba sudah dicaplok PT Aneka Tambang. Berlanjut ke Subaim di Kecamatan Wasile terdapat PT Alam Raya Abadi. Kini tersisa Gunung Wato-wato yang belum ditambang.

Saat ini, lanjut Yehuda, banyak upaya yang telah dan sedang ditempuh masyarakat. Mulai dari menemui Pemda, Pemprov, hingga DPRD kabupaten dan provinsi. Rencananya akan ditindaklanjuti ke Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Komisi VII DPR RI.

"Sekarang (upaya permohonan pencabutan izin di pemerintah daerah) sudah kita penuhi, provinsi sudah, DPRD (kabupaten/provinsi) sudah. Sekarang diupayakan ke Jakarta, ke Kementerian BUMN sama DPR RI komisi VII," imbuh Yehuda.

HPL untuk Cadangan Pemukiman

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan Daerah (BP4D) Halmahera Timur, Abdul Halim Djen Kipu mengatakan dalam rencana pola ruang di Kecamatan Maba, terdapat arahan untuk pengimbangan kawasan pertambangan. Sehingga, luas konsesi Priven hanya 1.078,4 hektare dari total luasan IUP 4.099 hektare.

Sebab, luasan IUP Priven terjadi overlay dengan kawasan hutan lindung seluas 2,067,2 hektare yang fungsinya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup; mencakup sumber daya alam dan areal penggunaan lain (HPL) seluas 547,6 hektare yang saat ini merupakan kawasan pengembangan perhutanan Buli atau kawasan cadangan pemukiman.

"Yang putih ini HPH (Hak Pengusahaan Hutan), ini HPT (Hutan Produksi Terbatas) dan ini HPK (Hutan Produksi Konversi). Kalau yang ini HPL (Hak Penggunaan Lain) hukumnya haram (kegiatan pertambangan), HPL kan," ujar Abdul saat memperlihatkan peta hutan kepada detikcom.

Karena berstatus HPL, lanjut Abdul, BP4D menetapkan kawasan HPL seluas 547,6 hektare tersebut untuk pengembangan perkotaan Buli. Itu berarti, kawasan HPL harus steril dari konsesi pertambangan. Tapi menurut Abdul, semua tergantung lobi-lobi perusahaan ke KLHK.

"Jadi dorang (mereka - Priven) ini tergantung, kalau mendapat izin dari pemerintah pusat dalam hal ini kementerian kehutanan (KLHK) ya torang (kami) mau bikin bagaimana?," imbuh Abdul.

BP4D juga belum memperoleh SK hutan desa dari KLHK. Menurut Abdul, jika pihaknya memperoleh SK tersebut, maka akan dilakukan penyesuaian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Halmahera Timur tahun 2010-2029. Karena saat revisi RT RW, Pemprov tidak menyampaikan ke BP4D bahwa ada hutan desa.

"Kemarin saat kita revisi RT RW dengan pemerintah provinsi, ini (SK) juga tidak disampaikan ke Bappeda Haltim bahwa ada blok hutan desa, bisa jadi hutan desa itu masuk di HPL atau areal penggunaan lain," kata Abdul saat detikcom memperlihatkan SK hutan desa dari KLHK.

Namun Abdul menegaskan bahwa rekomendasi tata ruang yang dikeluarkan BP4D bukan sebagai syarat untuk keluarnya izin kegiatan penambangan, tapi untuk melakukan Amdal. Kalau pun perusahaan masuk lewat HPL, maka hal itu kembali ke warga yang lahannya masuk HPL.

"Bappeda mengeluarkan rekomendasi tata ruang itu bukan syarat izin keluar, tapi syarat untuk melakukan Amdal, bukan syarat untuk perusahaan eksploitasi, bukan. Kalau dia (perusahaan) menggunakan HPL, itu kembali ke pemilik lahan. Bisa jadi dorang (mereka-perusahaan) hauling jalan, dorang (mereka) so bayar di pemilik lahan, kemungkinan ya," tuturnya.

Abdul menolak menjelaskan lebih jauh soal akibat jika Gunung Wato-wato ditambang. Sebab, persoalan tersebut perlu kajian teknis dan semuanya tercantum di dalam dokumen Amdal. Hanya saja, status HPL yang terletak di kawasan Pegunungan Wato-wato menurut Abdul, untuk pengembangan perkotaan Buli, bukan pertambangan.

Sekretaris Dinas Kehutanan Maluku Utara, Achmad Zakih memaparkan HPK adalah kawasan hutan yang dicadangkan untuk kegiatan non-kehutanan seperti transmigrasi, perkebunan, permukiman dan sebagainya. Prosesnya melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan di KLHK.

"Kalau di HPK ada potensi nikel dan masuk dalam IUP maka pada HPK tersebut bisa dilakukan penambangan atau eksploitasi. Itu setelah melalui mekanisme persetujuan pinjam pakai kawasan hutan," ujar Achmad.

Menurutnya, proses pelepasan kawasan hutan harus mengumpulkan data terkait, seperti RT RW yang termaktub dalam perda kabupaten. Sedangkan proses pelepasan harus didahului dengan proses verifikasi administrasi dan teknis di lapangan oleh tim yang dibentuk KLHK dengan melibatkan pemerintah provinsi dan kabupaten.

Achmad menyebut pelepasan kawasan hutan dan persetujuan penggunaan kawasan hutan merupakan proses lanjutan dari perizinan yang sudah ada sebelumnya, seperti pelepasan kawasan hutan untuk transmigrasi yang harus dipastikan bahwa perizinan transmigrasinya sudah ada.

"Atau persetujuan penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan, harus bisa dipastikan izin usaha pertambangannya sudah ada," tambah Achmad kepada detikcom.

Dalam Amdal 2018, Priven diminta mematuhi Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, khususnya di Pasal 50 Ayat 3 Huruf c. Tapi fakta di lapangan, Jalan Hauling perusahaan menerobos Sungai Watileo kecil.

Menanggapi itu, Achmad menegaskan hal tersebut menjadi kewajiban pemegang persetujuan penggunaan kawasan hutan untuk melindungi hutan di areal konsesinya. Sedangkan tugas dinas kehutanan adalah melakukan monitoring terhadap pemenuhan kewajiban tersebut.

"Nanti saya coba konfirmasi ke bidang teknis terkait," ucap Achmad saat diperlihatkan foto kondisi Sungai Watileo Kecil yang tertutup lumpur akibat aktivitas pembuatan Jalan Hauling Priven.

Tugas Pemda Jembatani Aspirasi Warga, RT RW di Luar Konteks

Bupati Halmahera Timur Ubaid Yakub belum bersedia menanggapi kegiatan Priven membangun Jalan Hauling yang saat ini diprotes warga. Ubaid mengaku saat ini masih fokus mendorong aspirasi warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Buli Peduli Wato-wato.

"Pemerintah dalam posisi ini adalah mendampingi dan saya telah tugaskan kabag hukum dan Dinas Lingkungan Hidup untuk mendampingi Aliansi Masyarakat Buli Peduli Wato-wato menyampaikan aspirasi itu di seluruh instansi yang berwenang, baik di tingkat provinsi maupun pusat," ujarnya.

"Soal kemudian nanti berdasarkan temuan dan seterusnya, itu di luar konteks kami. Karena biar bagaimana pun sampai hari ini Priven mungkin juga merasa kehadiran mereka itu legal, iya kan. Nah karena legal kita harus mempertemukan itu sesuai koridornya," tambah Ubaid.

Ubaid enggan mengomentari soal legalitas perusahaan dalam beroperasi. Karena menurutnya, izin kegiatan pertambangan menjadi kewenangan pemerintah pusat. Sedangkan tugas pemda hanya menjembatani. Ubaid juga tidak mau berandai-andai soal ketakutan atas dampak jika perusahaan melakukan kegiatan penambangan di Gunung Wato-wato.

"Saya tidak mau berandai-andai. Hari ini kan teman-teman tahu, soal perizinan di mana kewenangannya? (Pemerintah pusat?) ya iyalah. Oleh karena itu tugas kita hanya menjembatani. Kan tadi sudah saya sampaikan, saya sudah tugaskan kabag hukum untuk mendampingi aliansi ini untuk sesuai hierarki yang berlaku," ujarnya.

Ia juga menolak berbicara soal Amdal, termasuk sejak kapan status kawasan Gunung Wato-wato dalam RT RW tahun 2010-2029 telah diperuntukkan untuk tambang. Bahkan soal keberpihakan pada masyarakat ditegaskan Ubaid semua harus patuh pada norma.

"(RTRW) di luar konteks, kita pada tataran itu (mendampingi warga) dulu. Kita hadir seperti apa, apakah kita ini pemerintahan sendiri. Pemerintahan itu dari desa sampai pusat, itu satu kesatuan pemerintahan, saya kira teman-teman bisa pahami itu. Jadi saya tegak lurus pada aturan," tuturnya.

Sementara itu, Wakil Bupati Halmahera Timur Anjas Taher meminta persoalan penambangan Gunung Wato-wato ditanyakan ke BP4D. Bahkan, Anjas sedikit kesal ketika tahu detikcom sebelumnya telah menemui BP4D. Karena menurut Anjas, perizinan tambang sudah menjadi kewenangan pemerintah pusat.

"Oh, (persoalan itu tanyakan) ke Bappeda saja. Hah! itu ngana (kamu) sudah dari Bappeda kong (lalu) kenapa tanyakan ke saya lagi. Apalagi ngana (kamu) tanyai itu, saya tidak tahu itu. Pemerintah mana? Kewenangan tambang itu sudah di pusat," cetus Anjas mengakhiri.

Kemudian, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Maluku Utara Nirwan M.T Ali mengatakan soal izin lingkungan adalah kewenangan Dinas Lingkungan Hidup (DLH). Karena dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 138 Tahun 2017, fungsi DPMPTSP hanya sebatas administratif.

"Jadi nanti seluruh izin-izin secara teknis yang sudah diberikan pertimbangan teknis keluar baru Kepala DPMPTSP boleh tandatangan. Kalau tidak boleh, maka tidak boleh. Kalau secara teknis ke dinas lingkungan (DLH)," singkat Nirwan.

Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Halmahera Timur, Harjon Gafur menyebut yang dimaksud Kepala DPMPTSP Maluku Utara adalah DLH provinsi, bukan kabupaten. Tapi Harjon menyarankan agar persoalan tata ruang kawasan pertambangan ditanyakan langsung ke BP4D Halmahera Timur.

"Yang dimaksud (Kepala DPMPTSP Malut) itu DLH Provinsi Malut, tapi baiknya persoalan itu konfirmasi ke Bappeda Haltim," singkat Harjon.

Selanjutnya, Kepala Sekretaris Komisi Penilai Amdal Daerah Maluku Utara, Wajihuddin Fabanyo justru meminta detikcom menanyakan langsung ke Dinas PUPR Halmahera Timur. Karena menurutnya, semua kecamatan di Halmahera Timur zonasi wilayahnya diperuntukkan untuk pertambangan nikel.

Khusus Priven, kata Wajihuddin, Amdalnya belum direvisi sejak disahkan di tahun 2018. Bahkan Priven juga tidak melaporkan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RKL-RPL) setiap triwulan ke Komisi Penilai Amdal Daerah.

"Iya (belum), harus direvisi, dia kan tara (tidak) melakukan perubahan, eh apa, pelaporan RKL-RPL. Sebab dalam ketentuan, dia (Priven) harus melakukan perubahan izin lingkungan dan itu yang dia belum lakukan," ujarnya.

"Biasanya dia harus melakukan kegiatan kan, dan pelaporan RKL-RPL pe torang (pada kami) per-triwulan, nah, selama 3 tahun kan dia belum pernah (melaporkan RKL-RPL)," tambah Wajihuddin.

Wajihuddin kemudian meluruskan soal masa berlaku Amdal yang disebut harus direvisi dalam tiga tahun sekali. Menurut Wajihuddin, jika selama dalam 3 tahun Priven tidak melakukan kegiatan penambangan hingga tidak melaporkan RKL-RPL ke Komisi Amdal, maka Priven harus membuat Amdal baru.

"Tapi itu (regulasi izin tambang) sudah kewenangan kementerian, pas di tahun ketiga di 2021 sudah kewenangan kementerian. (Tapi dalam ketentuan, perusahaan harus membuat Amdal baru?) Iyo, baru. Tapi pas tahun ketiga torang (kami) punya kewenangan sudah tarada (tidak ada)," ujarnya.

Kantongi Izin Bupati

Humas PT Priven Lestari, Hidayat mengaku perusahaan sudah mengantongi izin di masa Bupati Halmahera Timur Welhelmus Tahalele pada tahun 2006, baik dari aspek lingkungan maupun operasional. Kemudian terjadi perubahan regulasi yang awalnya menjadi kewenangan Pemda dialihkan ke provinsi hingga pusat.

"Dulu kan izinnya masih di kabupaten kan, habis itu di provinsi, sekarang pusat. Jadi dari dulu kan (izin) sudah ada sebetulnya sampai 2018 sudah direvisi itu. Kan (langkah awal penyusunan Amdal) dari dulu itu, dari 2006, mulai dari izinnya bupati," ujar Hidayat kepada detikcom.

Alasan tidak melakukan revisi Amdal karena sampai saat ini perusahaan belum melakukan kegiatan penambangan secara besar-besaran di lapangan, tapi hanya pembangunan Jalan Hauling dan pengeboran. Di samping itu, proses perizinan telah dialihkan ke pemerintah pusat.

"(Amdal 2018 belum direvisi karena) kita kan belum operasi, sementara masih pengeboran itu. Jadi ini (kewenangan izin) dari pusat, daerah kan tidak ada wewenang lagi, provinsi pun tidak ada, sekarang langsung dari pusat," tutur mantan Danramil 1505-03/Maba ini.

Hidayat tidak membantah jika dalam RT RW 2010-2029 Gunung Wato-wato tidak diperuntukkan untuk penambangan. Tapi menurutnya, penyusunan Amdal yang melibatkan unsur Pemda hanya berlaku saat kewenangan izin tambang belum dialihkan ke pemerintah pusat.

"Ya itu (penyusunan Amdal melibatkan Pemda) dulu. Kan izinnya dari dulu (masa bupati Welhelmus). Sementara ini kan HPL itu yang mau dimasuki (Priven), itu kan HPL. Kawasan hutan lindung kan belum, itu kan ada batasnya," ujar Hidayat.

Hidayat tidak menampik jika luasan kawasan konsesi Priven yang diberikan pemerintah juga mencakup kawasan hutan lindung. Meski begitu, ia berdalih bahwa sejauh ini perusahaan belum menyentuh kawasan yang dilindungi itu.

"Iya, memang betul (konsesi Priven masuk kawasan hutan lindung), di IUP-nya ini kan (tertera peta luas kawasan konsesi). Tapi kan di situ (hutan lindung) belum (dicaplok sepenuhnya oleh perusahaan), kita kan belum beroperasi," ujar Hidayat yang merangkap sebagai kepala keamanan Priven.

Saat ini perusahaan masih fokus membuat jalan hauling sepanjang 3 kilometer yang dimulai dari lokasi jetty di Desa Gamesan. Saat ini baru 1 kilometer yang terbangun. Sedangkan pembangunan jalan tambang tersebut langsung di areal perkebunan warga yang telah dibayar oleh perusahaan.

"Oh, (areal perkebunan warga yang dibangun jalan hauling) sudah dibebaskan itu. Kemarin kan terakhir tu (pembebasan lahan), kalau enggak salah punya lahannya Pak Alen, saya enggak tahu (harga yang dibayar perusahaan)," tuturnya.

Pembangunan Jalan Hauling yang memotong jalan Nasional dikatakan Hidayat, perusahaan sudah mengantongi izin pinjam pakai jalan untuk menyeberang menuju lokasi Dermaga Jetty. Izin tersebut diperoleh langsung dari Dinas Perhubungan Halmahera Timur.

"Sudah (dapat izin pinjam pakai jalan Nasional), yang menyeberang ke jetty itu, sudah. Makanya kami kan dulunya lewat Dinas Perhubungan Haltim itu, makanya berani buat itu (jalur ke Jetty) karena sudah ada izin," katanya.

Pantauan detikcom, kegiatan pembangunan Jalan Hauling ke Dermaga Jetty di Desa Gamesan terhenti. Tidak ada alat berat di lokasi. Menurut Hidayat, pekerjaan terhenti karena masih ada gerakan penolakan dari warga. Tapi Hidayat membantah bahwa kondisinya masih tarik ulur atau dikomplain masyarakat.

"(Aktivitas pembangunan Jalan Hauling terhenti?) makanya ini (warga masih menolak), tapi bukan tarik ulur juga sih, tapi karena masih ada (aksi penolakan dari warga), tapi bukan komplain, tidak juga," ucap Hidayat.

Menurutnya, sikap masyarakat menolak kehadiran perusahaan membongkar kawasan Pegunungan Wato-wato sebagai sumber air bersih hanya sebagai respons kekhawatiran. Meski begitu, perusahaan sudah ada langkah-langkah untuk mengantisipasi.

"Kemarin dalam aksi demonstrasi itu kan hanya kekuatiran, tapi kan kita sudah ada langkah-langkah itu. Rencana nanti buat sumur bor, ada beberapa titik nanti. Termasuk nanti mau dibuat bak (air), mungkin sekitar 3 titik. Saya juga belum begitu (tahu) ini," imbuh Hidayat.

Namun, Kepala Dinas Perhubungan Halmahera Timur Dwi Cahyono mengatakan pihaknya tidak pernah mengeluarkan izin saat Priven mengajukan surat pinjam pakai jalan untuk aktivitas pengangkutan material ore ke lokasi Dermaga Jetty milik PT Sambaki Tambang Sentosa di Desa Baburino.

"Pemerintah daerah tidak mengizinkan perusahaan yang membawa material ore itu menggunakan jalan umum, karena mengganggu lalu lintas. Maka secara resmi pemerintah tidak mengizinkan, setelah itu mereka sudah tidak ada komunikasi dengan kita," tuturnya.

Dwi menjelaskan kegiatan pembangunan jalan hauling tidak berkaitan dengan dinas perhubungan, kecuali penyusunan dokumen Analisis Dampak Lalu Lintas (Andalalin). Karena Andalalin berkaitan dengan skema crossing atau izin melintasi jalan umum.

"Karena crossing yang ada ini adalah jalan nasional, maka kewenangan untuk mengeluarkan dokumen analisis dampak lalu lintas itu adalah Kementerian Perhubungan. Untuk apa yang sudah terjadi memang tidak ada konfirmasi di kita dan itu bukan kewenangan kita," ujar Dwi.

"Iya (pembangunan Jalan Hauling di) Desa Gamesan. Saya lihat itu ada yang digusur itu di Desa Gamesan, tapi memang itu tidak pernah kita tahu dan tidak pernah lagi (perusahaan) konfirmasi ke kita, karena memang tidak ada kaitan (dengan dinas perhubungan)," tambah Dwi.

*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal detikSulsel pada 12 November 2023. Liputan ini merupakan program penulisan Jurnalisme Kolaboratif untuk Memonitor Proyek Strategis Nasional kerjasama AJI Indonesia dan Kurawal.

kali dilihat