Oleh: Rian Hidayat
INDEPENDEN- Said Jauhar, memandangi belantara hutan di belakang perkampungan Desa Sagea, Kecamatan Weda Utara, Halmahera Tengah, Maluku Utara, Minggu, 21 April 2024.
Satu dekade belakang, di rimbun hutan itu burung-burung indah masih beterbangan, lalu sesekali mengepak sayapnya di ranting pohon yang menjulang. Kicauan mereka masih nyaring melantun dari kejauhan.
Siang itu, Said tampak bersila di lokasi wisata Bukit Kawinet yang jaraknya tak begitu jauh dari Desa Sagea dan Kiya–dua desa lingkar tambang di Halmahera Tengah. Wisata ini tempat favorit kebanyakan buruh tambang.
Ia bertutur, kala itu jejak spesies paruh bengkok seperti kakatua putih (cacatua alba), nuri bayan (eclectus roratus), hingga perkici dagu merah (charmosyna placentis) sering dijumpai di antara ranting-ranting pohon berdiameter besar dan pada hening hutan lebat.
Tetapi di belahan hutan lain, menurut ia, pemandangannya sangat berbeda. Bukit-bukit hijau sudah luluh lantak, asap pabrik mengepul bagai membentuk awan, suara buldoser melengking. Rasa risau pun terbesit di dadanya.
“Burung-burung itu mungkin sudah pindah tempat. Sekarang so (sudah) jarang dilihat. Kalau dulu sekitar sini saja so ada,” ucap Said, pria paruh baya berusia 60 tahun, membuka percakapan.
Setidaknya 10 tahun terakhir suara paruh bengkok tak lagi terdengar di sekitar hutan perkampungan mereka. Kondisinya lebih parah ketika tambang mulai beroperasi. Bukaan hutan yang meluas dan ugal-ugalan oleh perusahaan hingga mobilitas penduduk meningkat membuat satwa burung enggan menampakkan diri.
“Dulu warga paling banyak menangkap burung kakatua dan nuri. Biasanya pakai cara tradisional. Ada yang dijual, adapula yang dipelihara,” ujar Said.
Warga umumnya menggunakan getah perekat atau pulut yang diambil dari batangan pohon sukun (artocarpus communis). Getah itu kemudian dibalut pada ranting dan dahan pohon yang lazim dihinggapi burung.
“Biasanya si pemburu membawa satu atau dua burung untuk dijadikan pancingan. Dan pancingan itu biasanya memanggil teman-teman mereka untuk hinggap ke ranting pohon yang dipasang getah itu,” tutur Said berkisah.
Cara tangkap tradisional macam ini masih sering dilakukan warga, hanya saja, jumlah pemburu tradisional cukup terbatas.
“Tangkapannya bisa sampai belasan ekor. Paling banyak burung nuri, ada juga kakatua. Kalau ada yang pesan, dijual 250 ribu untuk burung nuri, sedangkan kakatua 400 ribu,” ungkap Said.
Belakangan geliat perburuan liar paruh bengkok di Weda Utara memang tak lagi masif. Kehadiran industri tambang memutus banyak aspek termasuk aktivitas warga memburu burung demi kepentingan komersial.
“Sekarang tambang so ada. Banyak orang kerja di sana, jadi so jarang, hampir tidak ada lagi yang menangkap burung,” katanya.
Namun di sisi lain, Said meyakini tutupan hutan desa mereka bakal hilang karena gerusan tambang makin tak terelakkan di masa mendatang. Itu sebabnya hunian satwa burung pun terancam.
Desa-desa di Kecamatan Weda Utara mulai ditetapkan sebagai wilayah ring tambang setelah beroperasinya PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) pada 2018.
Tak lebih dari 9 kilometer perkampungan di Weda Utara mendekati wilayah konsesi pertambangan. Wilayah ini juga dikepung 6 izin tambang nikel dan batu gamping berdasarkan data One Map ESDM.
Enam izin tambang itu yakni PT Harun Sukses Mineral, PT Weda Bay Nickel , PT Dharma Rosadi Internasional, PT First Pacific Mining, PT Gamping Mineral Indonesia dan PT Karunia Sagea Mineral (sumber: Forest Watch Indonesia).
Salah satu konsesi tambang skala besar di Halmahera Tengah adalah PT IWIP yang diresmikan Presiden Jokowi sebagai proyek strategis nasional (PSN) melalui Pepres nomor 109 tahun 2020. Dilansir Mongabay Indonesia, perusahaan nikel ini dipatung oleh tiga investor China, yakni Tsingshan, Huayou dan Zhenshi Group.
Data lain dari Geoportal ESDM tahun 2023 memperlihatkan kawasan Teluk Weda saat ini dikepung 19 izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas konsesi berkisar 46.129,1 hektar.
Halmahera Tengah memang diproyeksikan oleh pemerintah sebagai salah satu daerah pemasok nikel terbesar di Indonesia. Menurut data Kementerian ESDM, wilayah ini masih menyimpan 30 persen nikel cadangan nasional dengan jumlah mencapai 1,4 miliar ton.
Lalu, seiring maraknya aktivitas tambang yang menggembar-gembor hutan, keanekaragaman hayati Halmahera Tengah pun dinilai berada dalam kondisi memperihatinkan dan tentu saja tak baik-baik saja.
“Torang (kami) yakin ke depan kondisi hutan di sini pasti bertambah parah hingga tidak menutup kemungkinan habitat burung-burung itu bisa musnah,” ujar Said.
Halmahera dan Garis Wallacea
Sebagai negara yang memiliki ratusan ribu pulau, populasi burung endemik Indonesia sangat tinggi. Pulau-pulau saling terpisah dan mempertemukan banyak lempeng membuat fauna seperti burung berevolusi sesuai kondisi wilayahnya masing-masing.
Tak ada yang menduga kekayaan fauna Indonesia ini membuat seorang naturalis asal Inggris Alfred Russel Wallace di masa lampau mendatangi sejumlah tempat di Indonesia untuk mempertajam penelitiannya tentang flora dan fauna, termasuk di Pulau Halmahera, Maluku Utara.
Keanekaragaman hayati Pulau Halmahera cukup melimpah. Pulau yang masuk zona Wallacea ini memiliki luas sekitar 3.891,62 kilometer persegi. Ia dibaluti hutan hujan tropis sehingga menjadi habitat penting bagi banyak spesies, termasuk menjadi surga untuk satwa burung.
Luas hutan Maluku Utara saat ini adalah 2,486.616,91 hektar menurut data Dinas Kehutanan Provinsi Malut tahun 2023.
Pulau Halmahera dan pulau lain di Maluku Utara memang diidentifikasi masuk dalam kawasan burung endemik (Endemic Bird Area). Oleh BirdLife International, Halmahera merupakan daerah penting untuk konservasi burung berbasis habitat.
Menurut riset terbaru perkumpulan Burung Indonesia, terdapat 1.826 spesies burung di Indonesia yang tercatat pada tahun 2023. Dari jumlah itu, 558 di antaranya merupakan spesies dilindungi, 541 jenis endemis dan 468 adalah spesies yang memiliki sebaran terbatas. Sebagian dari satwa indah ini juga berada pada status konservasi, bahkan mendekati ancaman kepunahan.
“Ada 32 spesies yang kritis, 49 genting, 91 rentan, dan sekitar 239 mendekati terancam punah,” papar Benny Aladin, Koordinator Kepulauan Maluku Burung Indonesia, Senin (22/04/2024).
Benny menyebut Pulau Halmahera sendiri mempunyai 40 jenis endemis dari 350 jenis burung di Maluku Utara. Selain Halmahera, kawasan burung endemik juga tersebar di daerah lain seperti Pulau Morotai, Bacan, Obi dan beberapa pulau di sebelah barat Halmahera, termasuk Kota Ternate.
Benny menuturkan perburuan liar satwa burung masih menjadi ancaman utama di Pulau Halmahera di mana satwa ini kerap diperdagangkan. Sementara ancaman lain yang tak dapat dibendung adalah kerusakan habitat mereka.
“Kerusakan itu seperti deforestasi yang diakibatkan oleh aktivitas pertanian, infrastruktur, bahkan industri keruk bumi berupa pertambangan,” ujarnya.
Semua aktivitas manusia yang mengarah pada bukaan lahan skala besar dan masif, menurut Benny, merupakan ancaman nyata yang sama bagi setiap spesimen burung yang menggantung hidupnya di hutan.
“Hutan Halmahera sebenarnya masih memiliki hamparan luas, tetapi ada sebagian titik yang degradasinya cukup parah. Dampaknya pun secara lokal cukup dirasakan. Misalnya warga tidak lagi merasakan kehadiran burung-burung seperti sebelumnya,” ucap Benny sembari menyebut belum ada temuan terbaru kerusakan habitat burung tahun ini.
Penangkapan paruh bengkok di Indonesia termasuk di Maluku Utara memang sudah lama terjadi. Hasil penelitian oleh Lambert mengemukakan bahwa pada dekade 1991 sekitar 17.570 ekor tertangkap di alam liar.
Periode penangkapan paruh bengkok ini berlanjut pada 2001 di mana Profauna merilis setidaknya 15.000 ekor ditangkap. Lalu pada 2009, menurut studi Burung Indonesia, sekitar 8.677 ekor paruh bengkok ditangkap setiap tahun.
Selanjutnya di tahun 2018 Burung Indonesia juga menemukan 9.630 ekor paruh bengkok ditangkap hanya di wilayah Pulau Obi, Maluku Utara. Itu berarti dari periode 1991-2018 atau selama 24 tahun jumlah tangkapan paruh bengkok mencapai 50.870 ekor.
“Memang ada perbedaan. Tahun 90-an tangkapannya belasan ribu sedangkan 2010 ke atas tidak sampai sepuluh ribu. Ini bukan berarti perburuannya menurun, namun karena populasinya di alam telah berkurang. Tetapi dari sisi biologis jumlah betina dan jantan masih dalam kondisi aman.”
Benny menyebut hingga kini penangkapan burung di Maluku Utara terus dilakukan dengan angka yang cukup tinggi. Selain perburuan liar, industri tambang punya dampak secara langsung terhadap vegetasi yang merupakan hunian satwa liar seperti burung. Belakangan ancaman tersebut makin dirasakan.
“Aktivitas manusia termasuk pertambangan ini menyebabkan habitat vegetasi mengalami perubahan. Padahal burung membutuhkan vegetasi untuk berkembang biak dan berinteraksi. Jika semua itu musnah, tentu keberlangsungan hidup burung ikut terancam,” ujarnya.
Bagi Benny, siasat pemerintah melakukan upaya pelestarian satwa burung sebaiknya tidak dibarengi dengan maraknya operasi tambang yang jelas memiliki daya rusak terhadap hutan alam.
“Fungsi satwa burung di alam sangat penting dan bernilai, burung selalu menjaga agar ekologi manusia tetap lestari. Jadi kehadirannya sangat penting dan kita semua perlu tahu akan hal itu,” cetusnya.
Hutan Hilang, Habitat Terancam
“Torang so tara (kami tidak lagi) dengar suara kasturi. So lama skali. Terakhir saya lihat itu sekitar tujuh tahun lalu, 2017 kalo (kalau) tara salah. Dia tera (hinggap) di pohon,” ucap Alex (samaran), warga Desa Gemaf, Kecamatan Weda Tengah, Halmahera Tengah.
Hanya berjarak sekitar 4 kilometer dengan kawasan tambang, Gemaf merupakan desa yang masuk wilayah ring satu lingkar tambang PT IWIP. Tak mengherankan jika pemandangan hutan belakang desa ini tidak lagi asri.
“Hutan so rusak, jadi wajar kalau burung-burung so tarada (tidak ada). Dong mo (mereka mau) bikin sarang di mana?.”
Alex mengaku nyaris tidak ada lagi aktivitas penangkapan burung di desa mereka. “Yang tersisa cuma cerita. Memang dulu sering dorang (mereka) tangkap,” ujarnya.
Pada periode 2001-2020, Auriga Nusantara pernah meneliti hilangnya tutupan hutan di Weda Tengah. Laporan itu memperlihatkan bahwa Weda Tengah memiliki deforestasi tertinggi yakni mencapai 7.827,60 hektar. Kemudian disusul Weda Utara 2.402,40 hektar, Weda Timur 914,93 hektar dan Weda Selatan 436,20 hektar. Jika ditotalkan maka luas hutan hilang di Halmahera Tengah akibat pertambangan mencapai 14.876,43 hektar. Tak tanggung-tanggung jumlah ini bahkan disebut hampir setara dengan 27.800 lapangan sepak bola.
Sementara data lain terkait deforestasi Halmahera Tengah pada tahun 2017-2023 oleh Forest Watch Indonesia (FWI) adalah sebanyak 8.904 hektar.
“Satwa burung ini memiliki sensivitas terhadap suara, perubahan air atau misalnya pada perubahan udara. Dan kita tahu bahwa aktivitas pertambangan termasuk di Halmahera Tengah ini merupakan tambang terbuka. Dari tambang terbuka ini, ada hilir mudik kendaraan, ekskavator, dan tidak menutup kemungkinan akan mempengaruhi kehidupan mereka. Bahkan, dampak paling ekstremnya adalah satwa ini bisa mati atau punah,” kata Juru Kampanye Energi Trend Asia, Novita Indri, kepada Cermat, pada Mei 2024.
Menurut Novita, di Indonesia sebenarnya belum ada praktik tambang yang baik. “Kalau ada yang bilang, oh ini menerapkan green mining, itu omong kosong. Prinsipnya cara kerja tambang, di mana perut bumi dikeruk, dan dampaknya tentu meluas ke banyak aspek. Di sisi lain, kita juga lemah dalam pengawasan,” ujarnya.
Terkait hal ini, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Halmahera Tengah justru mengklaim belum ada dampak pertambangan yang signifikan terhadap kerusakan ekologi di wilayah lingkar tambang daerah tersebut.
Kepala DLH Halteng Rivani Abdurrajak mengatakan sejauh ini pihaknya belum menemukan pelanggaran lingkungan atas operasi pertambangan, termasuk dugaan pencemaran Sungai Sagea. Ia juga mengaku pemerintah daerah memiliki kewenangan terbatas dalam hal memberikan sanksi kepada perusahaan yang melanggar aturan lingkungan.
“Jadi memang belum ada temuan soal kerusakan akibat tambang ini. Kami juga punya kewenangan terbatas pada sektor kebijakan, kewenangan itu ada di DLH Provinsi Maluku Utara,” ucap Rivani, singkat. Saat diwawancarai di ruang kerjanya, Rivani tampak tak ingin menggubris persoalan tersebut secara detail.
Cermat juga berupaya menghubungi Kepala Dinas Provinsi Maluku Utara Fahrudin Tukuboya pada Kamis, 6 Juni 2024 lalu, untuk menanyakan perihal kerusakan tambang yang berdampak pada satwa burung di Halmahera Tengah. Namun hingga laporan ini ditayangkan Fahrudin tak menggubris dua kali konfirmasi tersebut.
“Cermat ingin mengonfirmasi apakah ada temuan DLH terkait kerusakan lingkungan yang berdampak pada habitat satwa burung di Halmahera?,” demikian kutipan pesan kepada Fahrudin yang sempat dibaca, hanya saja tak dibalas.
Upaya Pemulihan dan Pentingnya Kampanye Perlindungan Burung
Fungsi satwa burung di alam memang sangat penting dan bernilai. Burung selalu menjaga agar ekologi manusia tetap lestari. Dalam sebuah penelitian berjudul Pemanfaatan Keanekaragaman Jenis Burung Berkicau dan Upaya Konservasi Pada Konteks Burung Berkicau oleh Universitas Kuningan, 2020, mengemukakan bahwa burung memiliki fungsi penting bagi ekologi, sosial ekonomi dan budaya masyarakat.
Fungsi ekologi burung misalnya berperan penting dalam membantu pengendalian hama pertanian, membantu penyerbukan tanaman atau tumbuhan, menyebarkan biji buah-buahan, sebagai indikator perubahan lingkungan dan perubahan musim.
“Tujuan melestarikan burung itu agar menjaga kehidupan manusia. Yang namanya keanekaragaman hayati itu punya hubungan erat dengan manusia meskipun tidak dilihat secara langsung. Kemudian ini juga berhubungan dengan kesehatan lingkungan, layanan alam, seperti misalnya burung-burung ini berfungsi untuk mengendalikan hama yang menyerang tanaman, yang ujung-ujungnya adalah untuk kebutuhan manusia,” kata Benny.
Benny menyebut ada pun imbauan dari pemerintah melalui surat presiden nomor 1 tahun 2023 yang berisi perintah untuk mengarusutamakan keanekaragaman hayati terhadap pembangunan daerah.
Presiden Joko Widodo memang telah menetapkan Instruksi Presiden nomor 1 Tahun 2023 tentang Pengarusutamaan Pelestarian Keanekaragaman Hayati dalam Pembangunan Berkelanjutan. Sebagaimana dikutip Cermat pada Mei 2024, instruksi umum Presiden Republik Indonesia tersebut antara lain:
1. Menetapkan kebijakan sektor untuk mengarusutamakan pelestarian keanekaragaman hayati dalam pembangunan berkelanjutan;
2. Memastikan adanya keseimbangan penggunaan ruang untuk tujuan pembangunan ekonomi dan konservasi keanekaragaman hayati dalam setiap kebijakan sektor;
3. Mengambil langkah-langkah sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing kementerian/lembaga dan pemerintah daerah secara terkoordinasi dan terintegrasi untuk mendukung peran keanekaragaman hayati dalam pembangunan berkelanjutan;
4. Menyusun strategi dan perencanaan pembangunan sektor dan daerah dengan mempertimbangkan potensi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan yang menjamin keseimbangan antara konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, untuk menghasilkan berbagai produk bernilai ekonomi tinggi, strategis, dan memberikan keunggulan kompetitif;
5. Melakukan eksplorasi dan pemanfaatan secara lestari dalam rangka bioprospeksi;
6. Menerapkan prinsip adanya pembagian keuntungan yang adil dan merata atas pemanfaatan keanekaragaman hayati;
7. Menerapkan pembangunan rendah karbon dalam sektor kehutanan, kelautan, pertanian, industri, dan energi;
8. Melakukan fungsi pengawasan dan pengendalian sesuai dengan tugas dan fungsi kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dalam pengarusutamaan pelestarian keanekaragaman hayati;
9. Serta melakukan fungsi penegakan hukum dalam rangka perlindungan keanekaragaman hayati.
Benny meyakini inpres tersebut dapat mengembalikan upaya konservasi di daerah burung endemik melalui kebijakan pemerintah daerah. Di sisi lain, Benny menilai perlu ada upaya konservasi di tingkat desa atau tapak. Di mana masyarakat didorong untuk melakukan aksi konservasi tersebut.
“Untuk mewujudkan keanekaragaman hayati tidak harus ada kawasan konservasi. Salah satu gerakan sederhana adalah mendorong kehadiran Taman Kehati yang dikelola oleh pemerintah daerah atau dalam bentuk geopark,” ujarnya.
*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal Cermat.id pada 20 Juni 2024. Liputan ini merupakan bagian dari program Fellowship “Mengawasi Proyek Strategis Nasional” yang didukung Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.