Oleh : Triyo Handoko
INDEPENDEN---Akibat berbatasan langsung dengan dua kabupaten yaitu Sleman di sisi barat dan Klaten di utaranya membuat Kalurahan Serut, wilayah Kapanewon Gedangsari terbuka aksesnya secara luas.
Warga Gunungkidul di sana bahkan banyak beraktivitas di kabupaten tetangganya seperti yang dialami Saryanto, warga Padukuhan Kayoman di desa tersebut. Ia adalah pekerja serabutan yang menjadi korban penularan antraks dari Sleman.
Apa itu antraks?
Antraks adalah penyakit bakterial bersifat menular akut pada manusia dan hewan yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis. Antraks bermakna "batubara" dalam bahasa Yunani, dan istilah ini digunakan karena kulit para korban akan berubah hitam.
Antraks paling sering menyerang herbivora-herbivora liar dan yang telah dijinakkan. Penyakit Antraks bersifat zoonosis yang berarti dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya, namun tidak dapat ditularkan antara sesama manusia.
Penularan antraks yang dialami Saryanto itu disebabkan oleh kambing yang dibelinya dari seorang warga lain dari Kalurahan Gayamharjo, Kapanewon Prambanan. Rumah Saryanto dengan rumah orang yang menjual kambing dengan kondisi antraks itu juga tak jauh, letaknya di seberang jalan yang membatasi Gunungkidul dan Sleman.
Kejadian tersebut terjadi pada Maret lalu. Gara-gara antraks itu Saryanto, istri dan satu orang lainnya harus dirawat di rumah sakit
Kejadian itu menghebohkan Dukuh Kayoman, Susilo. Pasalnya tidak hanya Saryanto dan keluarganya saja yang mengkonsumsi kambing yang terdeteksi antraks tersebut. Sebanyak 53 warga Kayoman lain turut mencicipi daging kambing tersebut.
Kepala Dukuh Susilo langsung pusing saat menghadapi kondisi serangan antraks tersebut. Suasana di wilayah berbukit yang bisanya tenang tersebut menjadi ramai.
"Wah saat itu ramai sekali masyarakat kami, semuanya bingung dan takut setelah tahu ternyata itu antraks," kata kepala dukuh Kayoman ini, Jumat (23/8) lalu.
Halaman rumah Susilo jadi saksi kepanikan warga. Tiap sore selama seminggu sejak pertama kali dinyatakan ada antraks itu banyak warga datang ke rumahnya.
"Tidak hanya warga, banyak petugas juga, saya sampai bingung mengkoordinasikannya. Ada dari Dinas Kesehatan (Dinkes), Dinas Peternakan, dan pihak lain yang turut membantu mengatasi kondisi itu seperti kepolisian dan TNI," paparnya.
Kepanikan warga itu karena antraks yang menular tak hanya menyerang warga tapi ternaknya juga. Padahal ternak jadi tabungan utama penopang kesejahteraan masyarakat yang sebagian besar dari kalangan ekonomi bawah.
Kondisi darurat itu segera ditangani sigap oleh Susilo dengan gotong royong bersama warga lain. Lokasi tempat menyembelih dan memotong daging kambing yang jadi biang antraks itu langsung ditabur formalin dan desinfektan lain.
Setelah itu sepetak pekarangan di halaman rumah Saryanto langsung dicor dengan semen.
Pengecoran itu untuk memastikan spora bakteri bacillus anthracis tidak menyebar luas. Spora antraks dapat bertahan hingga 50 tahun sehingga butuh penanganan serius.
"Itu juga arahan dari Pemkab Gunungkidul, semen dan material lain datang dari sana lalu langsung kami cor semuanya," terangnya.
Penanganan antraks dari binatang luar dukuh masih dilakukan Susilo hingga sekarang. Selama Agustus ini Susilo rutin memantau proses vaksinasi sapi milik warga.
“Dari pendataan, sampai sosialisasi agar vaksinasi ini diterima baik sedang kami lakukan terus menerus,” tandasnya.
Lalu Lintas Ternak Mengantar Antraks ke Gunungkidul
Bukan hanya di Serut, Kapanewon Gedangsari, setahun sebelumnya pada 2023 antraks juga terjadi di Kalurahan Candirejo, Kapanewon Semanu. Tepatnya di Padukuhan Jati pada Juni tahun lalu.
Kejadiannya mirip dengan yang terjadi di Serut yaitu dimulai dengan ternak dari luar daerah yang kondisinya sudah terinfeksi antraks.
Serangan ini memakan korban jiwa. Pemilik sapi yang terkena antraks meninggal terlebih dahulu. Korban sempat dirawat intensif di RSUD Wonosari, bahkan kemudian dirujuk ke RSUP dr. Sardjito, Yogyakarta.
Namun nyawanya tidak tertolong.
Selain satu orang meninggal dunia, antraks di tempat itu menyebabkan 145 warga lain dinyatakan suspek, sedangkan yang dinyatakan positif adalah 45 orang.
Dukuh Jati, Yulianus Sugeng Ariyanto masih mengingat dengan jelas peristiwa tersebut.
Lokasi Padukuhan Jati sendiri cukup terpencil, dengan wilayah yang berdekatan dengan pantai selatan Gunungkidul. Sugeng menceritakan awal mula prahara zoonosis dimulai dari pembelian sapi yang dilakukan korban pada akhir April, 2023 silam.
“Sapi yang tak diketahui jika positif antraks itu baru saja dibeli oleh salah satu warga kami. Setelahnya tiba-tiba mati, lalu disembelih warga,” papar Sugeng.
Penyembelihan sapi oleh warga itu tak cuma-cuma. Warga membeli sapi itu dengan harga yang pantas. Kultur seperti itu banyak dijumpai di Gunungkidul untuk meringankan beban pemilik sapi yang mati. Maklum, hewan ternak khususnya sapi dianggap sebagai tabungan.
Di daerah Sugeng, kebiasaan itu disebut brandu.
“Warga tidak keberatan, itu dilakukan sukarela. Bahkan kalau kami diberikan gratis justru tidak mau, ini bukan untuk ajang mencari untung dapat daging murah, ini solidaritas,” papar Sugeng baru-baru ini.
Kebiasaan itu sudah ada sejak nenek moyang di Gunungkidul, termasuk di Padukuhan Jati. Selama brandu dilakukan, kondisi aman-aman saja.
Kejadian antraks yang menyebabkan korban jiwa baru kali itu terjadi.
“Sejak itu kami juga tidak saling menyalahkan, kami ambil ini jadi pembelajaran. Tidak akan kami ulangi lagi,” ujarnya.
Tekad menyudahi kultur brandu bukan isapan jempol belaka. Kejadian antraks setahun lalu itu memang membekas dan bikin trauma di hati warga.
“Tidak hanya tauma karena penyakit, tapi anggapan banyak orang yang tidak tahu dan cenderung menghakimi," lanjut Sugeng.
Saat itu aktivitas warga diisolir, sekalipun alam di Padukuhan Jati yang berada di tengah perhutanan pohon jati. Banyak warga tidak diperkenankan keluar wilayah.
“Yang paling ditakutkan warga, hewan ternaknya itu tidak ada yang mau beli, padahal itu sumber ekonomi utama meskipun setelah diperiksa tidak antraks,” kenang Sugeng.
Hingga akhirnya isolasi rampung dilakukan. Warga sudah beraktivitas seperti sedia kala, termasuk mengonsumsi vitamin dan obat-obatan penanganan antraks. Sementara sapi, kambing, dan ternak lainnya di Jati juga sudah mendapatkan vaksin.
“Lokasi penyembelihan sapi yang terkena antraks, termasuk kandang sapi dan ceceran darah juga diberikan formalin dan desinfektan, sudah dicor semen," terang Sugeng.
Memberantas Brandu Sampai Akar Ekonominya
Kultur Brandu memang sangat lekat di Kabupaten Gunungkidul dan jadi penyebab mengapa kawasan itu lekat dengan antraks.
Sebelumnya, Kalurahan Gombang Kapanewon Ponjong juga pernah mengalami serangan zoonosis antraks. Tidak tanggung-tanggung kawasan ini mengalami dua kali, pada 2019 lalu 2020.
Kejadian pertama terjadi di Padukuhan Ngrejek, dan tak sampai setahun terjadi di Padukuhan Kebonan Kidul.
Lurah Gombang, Supriyanto menjelaskan penyebab infeksi ini juga sama: pembelian sapi di pasar hewan terdekat dengan wilayah tersebut.
“Kronologinya mirip, beli sapi di pasar yang kelihatannya sehat. Setelah sampai rumah selang beberapa hari langsung sakit kemudian kritis. Lalu disembelih bersama, disini namanya brandu,” jelas Supriyanto.
Setelah memakan daging hasil brandu sapi yang terkena antraks, warga banyak yang mengalami keluhan sakit kulit. Setelah dicek ternyata positif antraks.
“Kejadian antraks di wilayah kami tidak ada korban yang sampai meninggal dunia,” ujar Supriyanto.
Kejadian beruntun antraks di Gombang itu, menurut Supriyanto, menandakan sangat berartinya sapi sebagai tulang punggung ekonomi yang dalam masyarakat di Gunungkidul.
Supriyanto mengusulkan adanya tali asih atau bantuan uang dari pemerintah untuk meringankan beban peternak yang sapinya mati. Melalui bantuan itu, Lurah Gombong ini yakin kultur brandu akan berhenti tak hanya di wilayahnya tapi seluruh Gunungkidul.
”Brandu ini kan bentuk kepedulian warga dengan warga lain yang sapinya mati, untuk mencegahnya harus dengan yang setara yaitu bantuan tali asih uang maka saya kira itu berhasil,” katanya.
Usulan Lurah Gombong itu pernah disampaikan ke pihak terkait. “Sudah saya usulkan sejak dulu, tapi yang memutuskan tentu pemerintah yang punya anggaran,” tandas Pak Lurah.
Terbatas Jumlah Dokter Hewan
Seragamnya pola penanganan antraks di Gunungkidul mulai dari 2020 di Ponjong, pada 2023 di Semanu, hingga terbaru Maret lalu di Gedangsari lantaran dinahkodai Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (DPKH) Gunungkidul.
Pola yang sama itu antara lain pengecoran lokasi penyembelihan ternak yang terkena antraks, pemeriksaan kesehatan massal untuk warga terdampak, hingga vaksinasi ternak selama 10 tahun ke depan sejak zoonosis ini merebak.
Kepala DPKH Gunungkidul, Wibawanti Wulandari menjelaskan pihaknya terus mengupayakan pencegahan antraks agar tak terus berulang. Ikhtiar itu punya hambatan yaitu terbatasnya dokter hewan di wilayahnya. Keterbatasan ini menyebabkan deteksi dini antraks kurang maksimal.
Idealnya setiap 2.000 populasi ternak terdapat satu dokter hewan. Sedangkan di Gunungkidul, jelas Wibawanti, terdapat sekitar 180.000 ternak sehingga mestinya ada sekitar 74 dokter hewan yang bertugas. Sayangnya hanya ada 18 dokter hewan.
Artinya satu Puskeswan terdapat rata-rata tiga dokter hewan. Sementara satu Puskeswan membawahi tiga kecamatan yang umumnya jarak luasan cakupannya cukup lebar.
“Kondisi kekurangan dokter ini kami atasi dengan kerjasama dengan kampus-kampus peternakan dan kedokteran hewan, seperti dengan UGM itu rutin menerjunkan mahasiswanya untuk praktik di sini sehingga pengawasan dapat dijalankan dengan mudah,” papar Wibawanti.
Wibawanti menyebut cukup banyak juga dokter hewan swasta di Gunungkidul yang kerap membantunya mendeteksi dini penyakit ternak dan langsung disampaikan olehnya.
Pemerintah kabupaten Gunungkidul sudah setiap tahun mengusulkan penambahan dokter hewan, lanjut Wibawanti, tapi diberikan kuotanya terbatas saat rekrutmen CPNS.
“Meskipun begitu kami tidak kecewa, justru itu tugas kami untuk inovatif mencari solusi,” ujarnya.
Solusi lain pencegahan antraks adalah edukasi seluas-luasnya ke masyarakat. Lewat edukasi ini diharapkan seluruh elemen masyarakat berpartisipasi aktif dalam mencegah antraks melalui pemahaman dan kesadaran yang komprehensif.
Melalui program Gerakan Peduli Penyakit Antraks (Gardu Kita) yang melibatkan seluruh lembaga daerah dari Dinas Pendidikan hingga seluruh PKK Gunungkidul diharapkan tumbuh partisipasi masyarakat. Sasaran edukasi ini paling utama adalah menghentikan kultur brandu.
Wibawanti mencontohkan dinasnya menggandeng tokoh-tokoh agama seperti para pengkhotbah Salat Jumat untuk dapat menyebarkan pemahaman terkait antraks disesuaikan dengan konteks kepercayaan masing-masing agama.
Wibawanti juga mencontohkan menggandeng sekolah-sekolah untuk mengajarkan materi penyakit zoonosis ini agar dipahami siswanya lewat Dinas Pendidikan. “Seperti sekolah yang dekat dengan lokasi penemuan antraks di Kapanewon Karangmojo, agar siswa paham karena spora antraks yang mampu bertahan 50 tahun ini juga diwaspadai hingga anak-anak ini nanti dewasa,” ungkapnya.
Kolaborasi lintas sektor ini, jelas WIbawanti, juga untuk menekan biaya pencegahan antraks. Sebabnya anggarannya terbatas dan tak mungkin mengadakan edukasi ke seluruh penjuru Gunungkidul. “Bikin acara itu setidaknya menyedikan konsumsi dan kalau ke seluruh wilayah dan elemen kelompok masyarakat itu besar anggarannya, makanya kami adakan dengan bonceng program dinas atau instansi lain supaya gratis,” jelasnya.
Belajar dari Kulonprogo
Anggaran terbatas penanganan antraks tak hanya untuk edukasi ke warga Gunungkidul.
Perda No.13/2023 tentang Penyelenggaraan Peternakan Dan Kesehatan Hewan yang baru terbit pada akhir tahun lalu ini juga terbatas implementasinya, terutama soal kompensasi peternak yang hewannya terserang penyakit.
Perda ini juga tak tegas mewajibkan Pemkab Gunungkidul untuk memberikan kompensasi agar kultur brandu dihentikan. Kompensasi dalam aturan itu hanya menyatakan pemerintah dapat memberikan kompensasi.
“Pemerintah daerah dapat memberikan kompensasi bagi hewan sehat yang berdasarkan pedoman pemberantasan wabah penyakit hewan harus dilaksanakan depopulasi sesuai dengan kebijakan dan kemampuan keuangan daerah,” bunyi ayat 1 pasal 70, Perda No.13/2023.
Meskipun tak wajib, kini DPKH Gunungkidul tengah merumuskan peraturan bupati (Perbup) yang mengatur teknis pemberian kompensasi itu.
Kepala dinas Wibawanti Wulandari menyebut Perbup itu wujud komitmennya terhadap pemberantasan antraks. “Sudah masuk Bagian Hukum Setda Gunungkidul, tengah direview bersama targetnya akhir tahun ini rampung dan diimplementasikan,” paparnya.
Wibawanti menjelaskan besaran kompensasi masih dirembugkan yang jelas pemberian dana itu kunci memberantas brandu dan membantu ekonomi kelompok tersebut.
“Soal jumlah belum dapat kami sampaikan karena belum final, yang jelas kami usahakan. Teknisinya juga masih kami rembug, termasuk syarat dan kategorisasi pemberian kompensasinya,” jelasnya.
Terbatasnya anggaran dalam penanganan antraks tidak dialami Pemkab Gunungkidul saja.
Di Kulonprogo yang bertetangga dengannya juga mengalami kendala tersebut. Meskipun begitu Pemkab Kulonprogo bisa dikatakan berhasil memberantas penyakit zoonosis yang mulai mewabah pada 2016 disana.
Bukti keberhasilan penanganan antraks di Kulonprogo itu salah satunya apresiasi yang diberikan USAID dan Kementerian Pertanian kepadanya. Dinas Pertanian dan Pangan (DPP) Kulonprogo juga mencatat sejak 2017 tidak ditemukan antraks lagi di wilayahnya.
Kepala Bidang Kesehatan Hewan DPP Kulonprogo, Sudarmanto menyebut kunci keberhasilan itu adalah gotong royong multisektor. "Kami kerja sama semuanya, kami memang yang mengkoordinasi tapi semua dinas juga turut berpartisipasi. Masyarkat juga berperan banyak," ujarnya.
Konsep One Health yang melibatkan berbagai pihak ini, jelas Sudarmanto, sudah dilakukan sejak awal penanganan termasuk menggandeng kepala pedukuhan di seluruh Kulonprogo. "Kepala pedukuhan sampai RT kami libatkan, terutama untuk berkomunikasi dengan peternak di tiap wilayah dari pendataan, pemahaman antraks, hingga vaksinasi kami libatkan semuanya," ungkapnya.
Pelibatan multi-sektor dan pihak ini, lanjut Sudarmanto, menghemat anggaran. Vaksin yang digunakan pun bersumber dari Kementerian Pertanian. "Anggaran kami sangat terbatas, tapi karena pakai model One Health yang bisa saling berbagi dana jadi tercukupi," katanya.
Dokter hewan yang bertugas di Puskeswan Girimulyo, Yurianti mengkonfirmasi hal tersebut. Wilayah tugasnya yang berada di ujung barat Kulonprogo dan jadi pusat wabah antraks itu kini sudah nol kasus. "Girimulyo ini jadi pusatnya dulu, tapi sekarang sudah tidak ada. Vaksinasi sampai sekarang masih kami lakukan, masyarakat juga sudah paham dan berpartisipasi aktif mencegah antraks muncul lagi," terangnya.
Kultur brandu juga tak begitu kuat dipegang masyarakat Kulonprogo, menurut Yuniarti, sehingga penyebarannya lebih mudah dikendalikan dibanding di Gunungkidul. "Masyarakat juga sudah sadar dan paham jika ada ternak yang sakit maka kami dokter hewan langsung dihubungi," tuturnya.
Saat wabah penyakit kuku dan mulut pada sapi akhir-akhir ini, sambung Yurianti, masyarakat Kulonprogo juga terdampak dan sigap melaporkannya. "Pengalaman antraks 2016 itu sangat mengubah kesadaran dan pemahaman peternak, mereka jadi lebih sigap dan hati-hati termasuk saat penyakit kuku kemarin. Hasilnya juga dapat terkendali dengan baik," tandasnya.
===
Reportase ini adalah hasil fellowship beasiswa liputan dari Independen.id yang didukung oleh USAID, Aliansi Jurnalis Independen, dan Internews.