LBH Pers: 2016, Tahun Kelam Jurnalis

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mengeluarkan catatan akhir tahun tentang kebebasan pers dan berekspresi sepanjang 2016. Catatan evaluasi terhadap dunia pers yang dikeluarkan lembaga advokasi terhadap jurnalis ini bisa membuat dahi mengkerut. Pasalnya, tak sedikit jurnalis telah menjadi sasaran kekerasan dan korban kekerasan selama menjalankan aktivitas peliputannya.

Sepanjang 2016, LBH Pers mencatat sedikitnya terjadi 83 kasus kekerasan dan korban kekerasan terhadap jurnalis saat bertugas di lapangan. Kasus kekerasan terhadap jurnalis lebih banyak terjadi di Jakarta (15 kasus), Jawa Barat (14 kasus), dan Jawa Timur (8 kasus). Pelakunya paling banyak dilakukan oleh polisi (16 kasus), Pegawai Negeri Sipil dan massa tak dikenal (12 kasus).

Dari jumlah kasus tersebut, kasus kekerasan yang paling banyak dialami jurnalis baik kekerasan fisik dan nonfisik adalah penganiayaan, pelarangan liputan dan pengusiran serta ancaman atau teror.

Kekerasan terhadap jurnalis yang paling mendapat perhatian masyarakat adalah kasus yang menimpa AS saat meliput penggusuran yang dilakukan TNI AU di Sarirejo, Medan, 15 Agustus 2016. Saat itu AS mendapat pelecehan seksual dari salah satu anggota TNI AU disertai ancaman ketika melakukan peliputan.

Kasus lainnya adalah kekerasan yang menimpa jurnalis Zuhdy di Riau. Pelakunya diduga anggota kepolisian. Setelah itu, kasus kekerasan terhadap 4 jurnalis juga terjadi di Wamena dan Jayapura, Papua. Sampai saat ini seluruh kasus kekerasan terhadap jurnalis tersebut belum juga tuntas.

LBH Pers juga mencatat sejak 1996, setidaknya 9 kasus pembunuhan jurnalis belum bisa diselesaikan Pemerintah Indonesia. Mereka adalah Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin 1996, journalis Bernas Yogyakarta 1997, Naimullah journalis Sinar Pagi 1999, Agus Mulyawan journalis Asia Press 1999, Muhammad Jamaluddin Kameramen TVRI 2003, Ersa Siregar journalis RCTI 2003, Herliyanto freelance journalist 2006, Adriansyah Matra'i Wibisono Jurnalis lokal TV di Merauke Papua 2010, Ridwan Salamun journalis Sun TV and Alfred Mirulewan dari tabloid Pelangi 2010.

“Hal ini sangat ironis apabila saat Indonesia menjadi tuan rumah acara World Press Freedom Day pada tahun 2017 belum terselesaikan,” kata Direktur LBH Pers, Nawawi Bahrudin dalam keterangan persnya, 28 Desember 2016.

Kesejahteraan Jurnalis yang Diabaikan

Nawawi Bahrudin menambahkan, sepanjang 2016 jurnalis sebagai pekerja tak memiliki hak minimal sesuai standar undang-undang ketenagakerjaan di Indonesia. Salah satunya pemecatan sepihak dan ditinggalkan pemilik perusahaan media. Salah satu kasus yang saat ini ditangani adalah sengketa ketenagakerjaan jurnalis Indonesia Finance Today.

Persoalan lainya di lingkup jurnalis adalah status ketenagakerjaanya, Penerapan sistem koresponden yang mendasarkan pada hubungan kemitraan dalam bekerja bukanlah hal yang baru, sistem ini sudah lama ada dan diterapkan oleh mayoritas perusahaan media. Dari sekilas sistem kerja yang dilakukan oleh para koresponden, jelas terlihat tidak adanya keseimbangan kerjasama antara jurnalis dan perusahaan media.

“Selain persoalan kesetaraan yang harus ada dalam hubungan mitra, hubungan mitra yang dilakukan oleh perusahaan dan koresponden sangat merugikan salah satu pihak, yaitu koresponden (jurnalis),” tambah Nawawi.

Sebelumnya Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia juga mengeluarkan catatan akhir tahun terkait dengan kasus kekerasan terhadap jurnalis. Selama Januari-Desember 2016, AJI Indonesia mencatat setidaknya 78 kasus kekerasan dan satu kasus pembunuhan terjadi terhadap jurnalis.

Berdasarkan, kategori pelaku kekerasan tertinggi dilakukan oleh warga dengan 26 kasus, diikuti oleh polisi 13 kasus, pejabat pemerintah (eksekutif) 7 kasus, dan TNI, orang tidak dikenal, aparat pemerintah daerah (Satpol PP) masing-masing 6 Kasus.

Sementara itu, untuk kategori jenis kekerasan, kekerasan fisik masih berada dalam posisi tertinggi, atau 35 kasus. Disusul oleh pengusiran atau pelarangan liputan 17 kasus, Ancaman kekerasan atau teror 9 kasus, dan perusakan alat atau data hasil liputan ada 7 kasus. Untuk kategorisasi wilayah, Jakarta Pusat dan Medan menempati posisi tertinggi, dengan 7 Kasus. Sementara Makassar 4 Kasus, dan  Bandung dan Bandar Lampung, 3 Kasus.

Kondisi ini membawa kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia sudah sampai pada taraf mengkhawatirkan, dalam 10 tahun terakhir. Indonesia dalam kebebasan pers dan berekpresi terbaru menurut data World Press Freedom Index 2016  yang dirilis Reporters Sans Frontiers (Prancis) menyebutkan berada di posisi merah.

“Dalam ranking 130 dari 180 negara. Posisi ini bahkan berada di bawah Timor Leste, Taiwan dan India. Ini sangat ironis mengingat tahun 2017, Indonesia akan menjadi tuan rumah World Press Freedom Day (WPFD),” kata Ketua AJI Indonesia, Suwarjono, 23 Desember 2016. (Ham)

kali dilihat