Linggang Melapeh: Antara Ekowisata dan Sawit

Independen -- Ingatan Atomas, 62 tahun, menerawang ke era 70-an, saat dirinya bekeja di perusahaan Hak Pengelolaan Hutan (HPK) di kampungnya. Kawasaan hutan yang kaya dengan kayu berusia puluhan tahun seperti gaharu, ulin, damar, meranti dan jenis kayu lainnya, dibabat habis. 

Saat itu, kesejahteraan warga meningkat. Tetapi, itu hanya hitungan beberapa tahun. Ketika kayu habis, kawasan hutan hilang, air bersih sulit. Warga pun tidak punya mata pencaharian karena perusahaan penebang kayu hengkang dari kampungnya.

Tidak ingin hal serupa terjadi dan bisa mendapatkan penghasilan yang berkesibambungan, Atomas bersama 564 kepala keluarga, warga Kampung Linggang Melapeh, Kutai Barat, Kalimatan Timur, menolak kehadiran perusahaan sawit di area yang dahulu habis diambil kayunya.

Padahal Pemerintah Daerah Kutai Barat sudah menetapkan kampung itu kawasan produksi sawit. Bahkan, dua tahun lalu, warga pernah diberi bibit sawit, untuk ditaman di area perkembunannya. Tapi mereka berikan bibit itu ke kampung sebelah. Mereka menolak menanam sawit. "Memang sawit menjanjikan secara ekonomi. Tapi kami tidak mau,” kata Kepala Adat Kampung Yovenalis Syahdan, kepada Independen, beberapa waktu lalu.

Yovenalis menjelaskan bagi hasil yang diberikan pada warga yang memiliki lahan hanya 80 berbanding 20 persen. Dengan rincian, 20 persen diberikan pada warga dan 80 persen untuk perusahaan. 20 persen yang diberikan pada warga dipotong untuk biaya operasional dan lainnya.

Sekarang mereka memilih menanami lahannya dengan pohon karet. Warga memilih karet karena bisa menggarap sendiri dan mengenal pasar karet. Mereka juga melakukan tumpang sari padi, setahun sekali. 

Bila menanam sawit, kata Yovenalis, warga tidak punya akses sertifikasi produk dan pasar sawit. Berbeda dengan karet, warga gampang melakukan sertifikasi tanaman secara individual. “Sambil menunggu panen karet, warga punya pendapatan lain dari tanaman tumpang sari. Sawit tidak bisa,” ujarnya.

Warga lebih memilih menjaga 90 hektar Bukit atau Gunung Eno, sebagai lahan konservasi atau hutan lindung warga. Di area tersebut, ada lima mata air yang masih terjaga diantaranya, mata air Map, Sulaw, Atai, Limla, Pahan. Mereka juga menjaga satu situ kecil seluas dua hektar atau lebih dikenal dengan Danau Aco, sebagai kawasan penampung air.

Danau Aco, dimanfaatkan warga untuk ekowisata. Di sana, warga menyewakan perahu kayuh untuk wisatawan yang ingin menikmati matahari tenggelam di jantung kalimantan. Pendapatan yang diraup hampir 12 juta per tahun dari sewa. Pembagian Rp 4 juta kas desa, sisanya untuk penjaga kawasan danau. Sedangkan pendapatan tiket masuk masuk per orang Rp 1.000 rupiah, dibagi untuk kas desa dan pemerintah daerah. “Kalau libur panjang yang datang ribuan orang,” kata Petinggi Kampung Linggang Melapeh Yosua Musiman, Sabtu, 29 Mei 2016.

Warga, kata Yosua, sudah siap menyewakan rumah untuk tempat mengingap wisatawan. Saat ini, selain menjaga kelestarian Bukit Eno, warga berencana membangun jalur tracking ke beberapa air terjun yang ada di sekitar Bukit Eno dan tembus ke Danau Eco.

Di jalur itu ada ladang kebun warga yang ditamani bermacam buah. Saat musim buah durian dukuh, dan buah lainnya, warga bisa langsung menjualnya ke wisatawan. "Ini akan menambah pendapatan warga,” ujar Wakil Ketua Kelompok Warga Sadar Wisata Silvinus Paran.

Silvinus mengatakan, ekowisata yang dibangun warga masih jauh sempurna. Tetapi, keberadaan Bukit Eno, sebagai hutan lindung kampung, untuk memberikan gamparan pada anak cucunya terkait hutan Kalimantan.”Anak sekarang sudah jarang melihat pohon besar. Di Bukit Eno, nanti anak cucu akan melihatnya,” katanya.

Hasil dari ekowisata yang dikelola kampung, nantinya bisa digunakan untuk membangun jalan ke area perkebunan karet atau ladang. Serta jalur tracking wisatawan. “Kami melakukan pendampingan agar warga tetap menjaga hutan, yang  menjadi mata air untuk Sungai Mahakam. Tetapi wargapun harus punya pendapatan, salah satunya dari ekowisata,” ujar Senior Officer Program Landskap Hulu  Mahakam Sri Jimmy Kustini.

Data Dinas Kehutanan Kalimantan Timur, saat ini, area lahan di Kalimantan Timur, yang sudah ditamani sawit mencapai 1,2 juta hektar. Pertumbuhan ekonomi Kalimatan Timur terus menurun karena harga sawit, batubara dan minyak yang menjadi sumber utama pendapatan daerah turun drastis.

Badan Pusat Statistik mencatat kinerja ekonomi Provinsi Kalimantan Timur tahun 2015, minus 0,85 persen. Dari sisi produksi, dipengaruhi oleh penurunan kinerja lapangan usaha pertambangan dan penggalian yang minus 4,69 persen. Kalimantan Timur menggantungkan ekonominya pada sumber daya alam, seperti minyak bumi, batubara dan sawit, dan kayu glodongan. "Harga dan sumber daya alam habis, ekonomi Kalimantan itu hancur,” ujar Ketua Dewan Perubahan Iklim Kalimantan Timur Daddy Ruhiyat.

Tahun lalu Tim Ekspedisi Indonesia Biru-Watchdoc mendokumentasikan kondisi alam Kalimantan yang compang-camping karena eksploitasi sumber daya alam. Mereka juga memotret kondisi masyarakatnya yang kesulitan mendapat akses air bersih dan hidup dengan lingkungan yang tak lagi hijau.  

Alwan Ramdhani I Watcdoc

kali dilihat