INDEPENDEN, Jakarta – Plang salon kecantikan “Aldama” di tembok luar rumah Pandan Wangi atau Mama Atta (51) tampak kusam. Tapi sepintas tulisannya masih terbaca: rias pengantin, rias wisuda, catok blow, cuci blow, gunting, smoothing, rebonding, keriting, toning, creambath.
“Jadi salon ini sudah tidak buka hampir 3 bulan lah. Habis gimana ya? Aku pikir tanggung ya. Habis ini mentok. Ini mentok juga,” kata Pandan Wangi sambil menunjukkan ruang salonnya yang berukuran 3 x 3 meter.
Ruangan salon ini juga digunakan sebagai tempat tinggal. Di dalam ruangan terdapat etalase yang dipadati baju pengantin. Pakaian-pakaian harian bergelantungan menjadi hiasan dinding kayu yang dicat berwarna biru. Sementara, dua bingkai cermin salon dibiarkan kokoh menempel.
Walau pun berada di dalam gang sempit, ruangan ini tak sepi-sepi amat. Suara-suara langkah kaki yang berasal dari atap rumah bisa menggangu tidur siangmu, karena tiap kali seseorang melangkah, kayu-kayu akan berdernyit “Krek. Krek. Krek.” membuat telinga ngilu.
Sementara di luar, bocah-bocah berteriak-teriak bermain di bawah pakaian yang dijemur. Seekor lalat yang hinggap di hidung, tak akan mengganggu canda tawa mereka. Belum lagi keriuhan para pejalan kaki yang hilir mudik melewati gang.
“Jadi aku sama keluargaku, tinggal di atas. Itu suara anakku lagi di atas. Terus, di ruangan ini Kakak pertamaku tidur di sini. Terus di samping ini aku bikinin kamar untuk ponakanku. Ya keadaan rumah aku seperti inilah,” kata Pandan menjelaskan peta rumahnya.
Pandan sudah membuka usaha salon kecantikan sejak 2004. Letaknya di antara himpitan rumah padat penduduk di kawasan Tambora, Jakarta Barat. Sebuah kawasan yang tercatat paling padat se-Asia Tenggara karena setiap berjalan 2 meter akan menemui 1 orang. Ragam suku, ras, agama kaya dan miskin tinggal di kawasan ini.
“Aku bersyukur lingkungan sini menerima aku (sebagai transgender-red). Jadi dari aku lahir, lingkungan sini nerima aku. Aku bukan orang yang aneh-aneh gitu. Aku make-up wajah hanya kalau ada pertemuan atau pernikahan saja,” kata Pandan.
Sejak 1960an keluarga besar Pandan Wangi sudah bermukim di kawasan padat ini. Dulunya kawasan ini lebih padat dengan pepohonan besar dibandingkan manusia. Ayahnya seorang veteran perang dan ibunya seorang ibu rumah tangga. Kedua orangtuanya berasal dari Banten dan Jawa Barat. Ia memiliki 4 bersaudara yang saat ini sudah beranak pinak dan tinggal sekitar kawasan ini.
Pandan mengaku sudah mulai merasakan diri sebagai seorang perempuan yang terjebak dalam tubuh laki-laki saat duduk di Sekolah Dasar. Saat itu, ia sering diam-diam bersolek dan menggunakan pakaian kakak perempuannya. “Pas aku kelas 5 SD. Jadi waktu itu aku juga sempat suka dengan teman laki-laki sekolah. Teman SD. Cuma gimana ya,” katanya.
Untuk menyatakan diri sebagai seorang transgender kepada keluarganya juga butuh waktu puluhan tahun. Tantangan terbesar dari keluarga menjadi transgender sempat datang dari ibunya. Selepas SMA, Pandan kerap dipergoki ibunya berbicang-bincang dengan teman transgender lain di lingkungannya. “Awalnya kalau aku ngobrol sama waria, emak aku marah besar. Pintu dibanting. Gabruk-gabruk,” kenangnya.
Tiap kali ada acara ulang tahun atau pertemuan formal, Pandan selalu bersolek diam-diam. Tapi satu per satu anggota keluarga pun tahu karena Pandan kerap meminjam pakaian dari anggota keluarga perempuan lainnya.
“Tadinya aku ngumpet-ngumpet. Acara ulang tahun temanku. BH ini, punya ponakan aku nih, sering aku pakai. Sering dicariin. Mak, pakai BH itu ya. Kebiasaan nih. BH-nya dulu sering aku pakai,” kata Pandan sambil terkekeh geli mengenang masa itu.
Sampai ketika usianya sudah memasuki kepala 3, Pandan baru berani untuk menggunakan pakaian perempuan dan bersolek di depan keluarga besarnya. Ia menggunakan pakaian kebaya dan menunjukkan diri di hadapan ayah, ibu, saudara dan ponakan-ponakannya.
“Nah, akhirnya aku terbuka kan, aku datang ke ruangan ini. Terus pada kaget kan. ‘Atta cantik banget, gitu kata kakakku. Terus mama dan bapakku ngeliatin, mereka juga bilang, ‘Wuih cantik’. Ya sudah dari situ tahu awal-awalnya. Ya, aku semakin terbuka gitu,” kata Pandan sambil tersenyum.
Untuk menjadi transgender, berkelahi dengan diri sendiri pun sudah dilewatinya. Pandan punya pandangan tersendiri tentang Tuhan dan segala ciptaanNya. “Allah itu seniman yang benar-benar Maha. Maha semuanya. Allah menciptakan laki-laki, Allah menciptakan perempuan. Itu Allah berpikir ingin menciptakan apa sih yang beda. Nah, diciptakanlah aku,” katanya.
Rokiyah (63) sebagai saudara tertua mengatakan keluarga besar menerima Pandan Wangi sebagaimana adanya. Eksistensi Pandan lebih dinilai dari tindakannya bukan karena orientasi seksual dan jenis kelaminnya.
Menurut Rokiyah, adiknya yang satu ini suka berbagi, pandai bergaul dengan lingkungan dan tegas ketika ada orang yang mencemooh atau mendiskriminasi. “Dia orangnya gampang ke sana sini. Kalau beli makanan, walau pun lagi tidur, dibangunin. Pasti sodara-sodaranya dikasih-kasih. Baik orangnya. Jadi biar makan semua,” katanya.
Hal yang sama juga diakui saudara perempuan Pandan Wangi, Maryati (52). Menurutnya, Pandan Wangi bukan transgender yang suka bersolek setiap saat dan “mangkal” di malam hari. Hidup dan kehidupan sehari-harinya lebih banyak dihabiskan dengan keluarga. “Kita namanya punya sodara kayak gini, habis kita mau diapain. Orang kan bisanya cuma pandanganya jeleknya aja. Yang penting kita dukung aja. Biar jangan sampai jalannya salah. Kita ambil baiknya aja,” katanya.
Ketika Rokiyah dan Maryati ditanya apakah Pandan Wangi sering berkelahi saat masih kecil? Rokiyah dan Maryati malah saling menatap heran dengan dahi mengkerut. “Dia mah nggak pernah berantem. Hahaha,” keduanya tertawa bareng.
Keluarga Kecil Pandan Wangi
Selain bekerja sebagai perias wajah dan pengelola acara pernikahan, Pandan Wangi adalah seniman tari dan teater. Lebih dari 20 tahun ia berkecimpung di dunia pentas seni dan memperoleh sederet penghargaan sebagai aktor hingga sutradara terbaik.
Sayangnya, jejak-jejak penghargaan dalam bentuk piagam, plakat dan piala itu ludes saat kebakaran besar melanda kawasan padat penduduk di Kecamatan Tambora tersebut 2007 silam.
Saat ini yang tersisa di atas meja rumahnya hanya piala penghargaan “Sutradara Tebaik” di Festival Teater Jakarta tahun 2012, “Kelompok Teater Terbaik III” di Festival Teater Jakarta tahun 2015, dan “Juara III Busana Casual Pemilihan Top Model Indonesia” tahun 2017.
“Itu pernah kejadian kebakaran di sini. Itu piala aku habis. Pernah dapat aktor terbaik dua bulan berturut-turut. Aktor DKI Jakarta. Untuk sekarang sutradara terbaik. Pernah juga menyutradarai lenong. Dan kami dapat juara Harapan I, aku yang sutradari lenong di Festival Lenong Jakarta,” kata Pandan.
Pandan Wangi pun menunjukkan salah satu video aktivitas pentas seni bersama koleganya di Sanggar Seroja (kelompok seni transgender). Dalam video itu, Pandan Wangi melakukan tarian jaipong di hadapan penonton dengan gerak-gerakan yang memesona.
Di tengah acara tiba-tiba seorang remaja perempuan belasan tahun muncul di atas pentas dan menyampaikan testimoni:
“Aku sudah diurus oleh Mama Pandan dari bayi hingga sekarang. Mama Pandan sangat menyayangi aku seperti anak kandungnya sendiri. Susah senang kita selalu bersama. Tiada hari yang terlewatkan bersama Mama. Apa pun sosok Mama, aku akan selalu menyayanginya. “
Testimoni yang disampaikan Seruni (bukan nama asli) membuat suasana penonton hening. Terkesima. Ya, Seruni adalah anak adopsi Pandan Wangi yang telah diasuh sejak usia 3 tahun. Seluruh haknya sebagai anak dipenuhi, mulai dari hak mendapatkan perlindungan, kesehatan hingga pendidikan.
“Ini pengakuan anakku tentang diurus seorang waria. Orang-orang sini lihat pementasanku yang ini pada nangis,” kata Pandan.
Seruni diasuh dan dibesarkan Pandan Wangi sejak usia 3 tahun. Saat itu, ibu kandungnya meninggal. Kehadiran Seruni adalah karunia bagi Pandan.
“Anak ini diamanatkan oleh Tuhan untuk aku. Dan Alhamdulillah karena ada anak ini, bisa nge-rem emosiku. Terus ada kesenangan tersendiri. Apalagi waktu dia kecil, aduh bahagia banget. Hilang rasa capek kalau sudah ketemu dia. Sekarang pun kayak gitu,” kata Pandan.
Pandan pun tak menampik pernah mengalami masa-masa sulit saat merawat Seruni. Apalagi saat kondisi ekonominya menghadapi masa krisis. “Ya meskipun ada dukanya. Karena juga usahaku waktu itu belum mapan. Belum tahu apa-apa. Sampai dia sakit, aku nangis, aku bingung,” tambahnya.
Sobari (47), Ayah kandung Seruni tinggal bersama dengan Pandan Wangi. Mereka bersama-sama membesarkan Seruni dan saling berbagi peran sebagai orangtua. Sejak kecil, Seruni lebih banyak waktu bersama Pandan Wangi.
“Bunda itu ngayom. Dia bisa double casting itu sebagai ibu sebagai bapak bagi anak saya. Saya juga terima kasih banyak karena kan yang prosentasenya banyak lebih ngurusin kan dia. Kalau saya lebih banyak di luar,” kata Sobari yang sehari-hari bekerja di dunia kesenian ini.
Ia tak pernah mempersoalkan jika suatu saat ada orang yang menanggapi negatif keluarga kecilnya ini. “Ya, biasa-biasa aja. No problem. Sudah cuek saja. Itu urusan kami dengan Tuhan, yang mengatur itu kan bukan mereka. Selama kita punya bentukan hal yang positif kenapa nggak?” jelasnya.
Hal yang selalu Sobari pesankan kepada Seruni adalah tak menilai orang dari latar belakang orientasi seksual dan jenis kelaminnya. Tapi tindakan dan hal yang sudah diberikan kepada orang lain.
“Melihat pribadi individu bukan dari latar belakang bukan dari jenis kelamin. Tapi mereka manusia. Persoalan jenis kelamin itu, hal yang X, faktor X. Siapa pun tak bisa menerjemahkan. Nggak bisa sok tahu, nggak bisa ini-ini. Ada rahasia yang Tuhan lebih tahu. Itu bagi saya, kita nggak bisa jadi hakim,” katanya.
Sama seperti orangtua pada umumnya, harapan Sobari tak muluk-muluk untuk anak semata wayangnya itu. “Ya, pengen dia sekolah setinggi mungkin. Apa pun itu diperjuangin untuk itu,” tambahnya.
Gayung bersambut, Seruni (14) pun merasa beruntung mendapatkan orangtua seperti Pandan Wangi. Selalu ada sebagai teman, kakak, sekaligus orangtua. “Bahagia banget pastinya. Mama itu lebih dari seorang ayah dan ibu,” katanya.
Seruni menjalani kehidupan sosialnya tanpa persoalan. Menurut Seruni, semua teman-temannya tak pernah mempertanyakan status transgender ibunya. Tapi ia selalu menyerukan bahwa Pandan Wangi telah merawat, mendidik dan mengayominya seperti anak sendiri.
“Kita jelasin, nggak semuanya transgender itu nggak baik. Mungkin beda orang juga beda sifat. Jadi kita nggak boleh menuduh yang macam-macam. Kita harus bisa mengenal orang itu lebih dekat lagi. Kita nggak boleh suuzon-lah,” katanya.
Beberapa teman sekolah Seruni juga berhubungan baik dengan Pandan Wangi. Pandan kerap datang ke sekolah untuk mengambil rapot, dan bergaul dengan orangtua-orangtua murid lainnya. Bahkan teman-teman sekolah Seruni saling terhubung di media sosial, dan bermain bersama saat acara Car Free Day (CFD) di kawasan Jakarta Pusat.
“Bahkan ada temen aku yang bilang, elo kok temenan sama anak elo di sosmed? Nanti elo di-bully loh. Tapi nggak kok. Malah kita CFD-an ikut semua. Mama Seruni mau CFD? Aku ikut ya. Kita bareng-bareng deh jalan ke CFD,” kata Pandan.
Irham