Melemang, Sebuah Tradisi dan Pelestarian Lingkungan
oleh: Nova Indriani
INDEPENDEN-- DITENGAH hiruk-pikuk modernisasi, masyarakat Kecamatan Seluma, Provinsi Bengkulu, tetap memegang teguh tradisi leluhur. Salah satunya tradisi adalah mengantarkan lemang atau disebut melemang.
Tradisi ini tidak hanya sekadar melestarikan budaya. Tetapi juga menjadi bukti nyata kepedulian warga terhadap kelestarian lingkungan. Khususnya tanaman bambu yang memiliki peran penting dalam mencegah erosi dan longsor.
Lemang merupakan hidangan khas Bengkulu. Terbuat dari bahan beras ketan dan santan yang membuat kuliner ini terasa gurih. Dimasak dengan cara dibakar menggunakan wadah bambu yang di dalamnya dilapisi daun pisang.

Lemang dan ketan hitam biasa diantar dan disajikan pada saat acara-acara. Seperti dalam acara pernikahan.
“Lemang bukan cuma enak. Tapi dalam pula maknanya. Melambangkan kekuatan dan ketahanan. Seperti orang-orang Seluma yang kuat menghadapi tantangan,” ungkap Sekretaris Desa Sukarami Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma, Sawaludin.
Pria berusia 54 tahun itu menuturkan, lemang menjadi simbol lamaran, sebelum resepsi pernikahan. Lemang diantarkan kepada keluarga perempuan oleh keluarga laki-laki ke rumahnya. Untuk jumlah lemang yang diantar, biasanya berbeda-beda antar satu kecamatan dengan kecamatan yang lain.
Di Kecamatan Talo, rombongan keluarga laki-laki membawa 10 lemang sebelum pinangan. Kelak akan kembali membawa 10 lemang setelah menikah. Berbeda di Kecamatan Seluma. Saat proses lamaran, keluarga lelaki langsung membawa 20 lemang sebelum lamaran.
Menurut Sawaludin, karena lemang merupakan makanan khas dan biasa dibawa sebagai antaran sebelum prosesi pernikahan, maka tanaman bambu sangat bermanfaat bagi masyarakat.
Namun sayangnya saat ini areal lahan bambu sudah berkurang. Padahal tanaman bambu ini bukan hanya untuk melemang. Tapi juga diperlukan untuk menahan tanah dari ancaman longsor dan abrasi.
“Sudah banyak alih fungsi lahan bambu ke sawit dan lahan kopi. Bambu untuk tradisi 'ngantat lemang' itu memakai bulua dabua (bambu dabua). Jadi bukan sembarang bambu. Dan bambu juga masih ada di impit rumah, jadi kami memanfaatkan bambu dari sana juga,” ujar Sawaludin.
Saat ini, lanjut Sawaludin, sudah ada gerakan masyarakat untuk melakukan kegiatan gotong-royong berupa aksi Masyarakat, sebagai bentuk upaya reboisasi. Kegiatan ini melibatkan seluruh lapisan masyarakat dalam melestarikan bambu.
“Kami memiliki lahan kebun yang ditanami bambu dabuak khusus kebutuhan kami salah satunya untuk keperluan tradisi. Disini masih tradisional, jadi walaupun hampir punah, masih ada masyarakat yang memakai bambu untuk membuat rumah, hingga bahan pangan,” tutur Sawaludin.
“Maka dari itu, kami ingin mengajak seluruh warga Seluma untuk ikut serta dalam menjaga kelestarian bambu," tambah Sawaludin.

Di tengah ancaman perubahan iklim, kesadaran masyarakat Seluma terhadap pentingnya kelestarian bambu semakin meningkat. Sawaludin pun berharap bahwasanya kegiatan ini tetap berlanjut, serta adanya dukungan lebih dari pemerintah untuk melakukan aksi bersama dalam reboisasi terutama khususnya daerah rawan banjir dan longsor di Kabupaten Seluma.
Kemudian, keberhasilan aksi ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi daerah lain untuk melakukan hal serupa. Melestarikan bambu bukan hanya tugas pemerintah, tapi juga tanggung jawab seluruh masyarakat.
"Kami ingin memastikan bahwa tradisi mengantarkan lemang dengan wadah bambu tetap lestari. Kami ingin memastikan bahwa bambu tetap menjadi penyangga kehidupan Seluma, baik dari segi budaya, ekonomi, maupun ekologi," ujar Sawaludin.
Aksi masyarakat Seluma ini menjadi bukti nyata bahwa tradisi dan lingkungan dapat berjalan beriringan. Melestarikan bambu bukan hanya menjaga budaya, tetapi juga menjaga kelestarian alam dan masa depan generasi mendatang.
==
Liputan ini merupakan hasil kolaborasi AMAN Bengkulu bersama Aliansi Jurnalis Independen Bengkulu dan Deutsche Welle (DW) Akademie