Independen -- Obesitas adalah pintu pada penyakit-penyakit lain ke dalam tubuh, seperti diabetes, hipertensi, jantung, ginjal. Selain itu obesitas menjadi faktor risiko penyebab kematian ke-5 tertinggi. Demikian disampaikan dokter Esti Widiastuti, dari Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan dalam webinar “Obesitas di Indonesia, Mengapa Kita Harus Waspada”yang diselenggarakan daring pada Februari 2020.
Definisi obesitas adalah penumpukan lemak yang berlebihan akibat ketidakseimbangan antara asupan energi dengan energi yang digunakan. Indikasi dari obesitas secara kasat mata adalah kegemukan. Seseorang dapat disebut obesitas jika lingkar perutnya >90cm (pria) atau >80 cm (wanita).
Di dunia sekitar 13% orang dari populasi mengalami obesitas (data WHO 2016). “Sementara di Indonesia prevalensi obesitas usia di atas 18 tahun, terus meningkat. Pada tahun 2010 sebesar 11,7%, kemudian naik 15,4% pada 2013 dan data tahun 2018 naik lagi menjadi 21,8%, “ kata Esti
Sementara itu David Colozza dari UNICEF Indonesia mengatakan bahwa masalah obesitas ini merata di seluruh wilayah Indonesia. Peningkatan kasus obesitas terjadi pada masayarakat berpenghasilan rendah, daerah perkotaan dan pedesaan, dan beberapa provinsi yang mempunyai kasus masalah gizi.
Salah satu faktor penyebab obesitas adalah konsumsi gula, garam, lemak yang berlebihan. Tubuh manusia membutuhkan gula, garam dan lemak dengan takaran yang pas. Dalam satu hari, manusia membutuhkan gula 50 gram atau 4 sendok makan. Sedangkan kebutuhan garam per hari, manusia hanya butuh 5 gram atau setara 1 sendok teh. Untuk lemak, dianjurkan adalah 20-25% dari total energi (702 kkal) yang dibutuhkan atau rata-rata adalah 67 gram / 5 sendok makan per hari.
Banyak orang mengalami obesitas karena pola makan dan pola hidup. Pola makan adalah karena konsumsi makanan yang mempunyai gula, garam, lemak berlebih. Misalnya minum kopi dalam sehari lebih dari satu kali dan menggunakan gula. Sementara di dalam makanan seperti nasi, juga sudah ada gula, sehingga tubuh menerima gula secara berlebih. Begitu pula dengan garam dan lemak.
Pola makan yang mengonsumsi gula, garam, lemak berlebihan ditambah dengan aktivitas fisik yang kurang. Terutama di masa Pandemi Covid-19, dengan belajar/bekerja di rumah serta pembatasan mobilitas, membuat banyak orang berkurang aktivitas fisiknya. Aktivitas fisik yang kurang (tidak olahraga, duduk lama di depan komputer, dll) maka peluang tubuh manusia kelebihan asupan gula, garam, lemak sangat besar, yang ujungnya adalah obesitas.
Untuk mengatasi masalah obesitas ini, David Colozza maupun Esti sepakat untuk fokus pada memperbaiki pola makan sehat dan aktivitas fisik. Kebutuhan sarana dan prasarana untuk mendukung manusia bergerak aktif diperlukan, seperti memperbanyak taman, mendorong penggunaan transportasi publik (sehingga berjalan kaki), air bersih dan sanitasi sehat, dll.
Kampanye pola makan sehat perlu terus dilakukan, seperti memperbanyak makan sayur dan buah. Menghindari makanan cepat saji, merokok dll. Pada kelompok remaja, mereka perlu dilibatkan dalam kampanye ini. Para remaja ini banyak yang mengalami obesitas, sehingga jika kampanye dilakukan oleh remaja untuk remaja akan lebih efektif komunikasinya.
Untuk mengontrol kelebihan gula, Ayu Ariyanti dari CISDI mengusulkan ada cukai untuk minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) di Indonesia. Karena MBDK ini penyumbang terbesar kelebihan gula dalam keseharian masyarakat di Indonesia. Orang Indonesia mengonsumsi MBDK sebanyak 20,23 liter/orang/tahun, sehingga Indonesia menduduki peringkat 3 tertinggi di Asia Tenggara.
Pada systemic review yang diacu oleh WHO (APHO,2020) menemukan bahwa penerapan cukai sebesar 20% pada MBDK akan membuat penurunan konsumsi sebesar 24%. Untuk mewujudkan cukai MBDK ini perlu ada sinergi kuat antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. (D02)