Oleh Fiona Wiputri
Peringatan Pemicu: Artikel ini mengandung kisah-kisah tentang kekerasan seksual dan perundungan di lingkungan sekolah. Berbagai peristiwa mungkin dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan memicu trauma bagi pembaca.
INDEPENDEN -- Rani, bukan nama sebenarnya, ingat akan sebuah perkelahian antarlelaki di bangku SMA pada 2017. Seorang siswa marah setelah testisnya diremas oleh kawan sebayanya. Perkelahian di tengah kelas ini direspons dengan gelak tawa oleh siswa lain dan olokan dari pelaku.
“Mereka berantem, terus malah diketawain satu kelas. A [pelaku] meremas bola zakarnya B [korban] sambil ketawa-ketawa. Itu menggelikan; menjijikan banget.”
Dengan nada yang menggebu, Rani menjabarkan segala bentuk kekerasan seksual berdalih kenakalan remaja yang dirinya saksikan serta terima kala itu. Mulai dari menyentuh, mencubit, atau meremas genital, mencubit payudara, menarik kaitan bra hingga lepas, memukul bokong, mengangkat rok, sampai meneriaki perempuan yang darah menstruasinya merambat ke rok. Berbagai bentuk kenakalan ini dilakukan kawan sesama jenis atau juga lawan jenis.
Rani mengaku saat di bangku sekolah dirinya juga sempat ikut menjadi pelaku walau sekarang sudah “jijik” dengan perbuatan remaja masa lalunya itu. Ia menganggap bahwa normalisasi perlakuan ini mungkin semata terjadi karena rasa insecure dengan badan dan keinginan untuk diterima. Kenakalan remaja ini memenuhi validasi diri dari laki-laki.
“Dulu, the idea of having a guy mengangkat rok aku, menarik kaitan braku, karena aku masih SD, aku masih sangat naif, aku mikirnya ‘Maybe they think that I am sexy and charming enough for them.’ Mungkin karena SD itu kan semuanya about being accepted by the whole school. Aku pengin terlihat luwes dan gaul,” ungkap Rani.
Selain mendengarkan kisah Rani, saya juga bertemu dengan Aulia (bukan nama sebenarnya), siswa perempuan SMP kelas 2 di Depok, dan Raka (bukan nama sebenarnya), siswa lelaki SMA kelas 2 di Jakarta Barat.
Aulia menyatakan bahwa dirinya sama sekali tidak pernah menyaksikan kenakalan semacam itu selama bersekolah. Ia lantaran membagikan kisah kenakalan berbentuk menarik bangku kawan saat hendak duduk dan menyengkat kawan yang kerap dirundung di tangga sampai ada pelaporan ke guru BK. Apa yang dinilainya masih di batas kenakalan yang “wajar”.
“Nggak ada [kasus kekerasan seksual]. Paling kenakalannya wajar-wajar aja, kayak umpatin tas. Misalkan [juga] ada teman yang mau duduk di bangku, lalu bangkunya diseret sama teman, guru bisa datang kelas ke kelas untuk sosialisasi [bahwa itu salah].”
Sama halnya dengan Rani, Raka merasa tren kenakalan remaja ini lebih banyak dialami semasa SMP. Raka yang kini di bangku SMA kelas 2 salah satu sekolah di Jakarta Barat mulai bercerita.
“SMA sudah lebih jarang. Aku beberapa kali diisengin teman dan membalas. Ada yang sempat marah dan bete ke pelakunya, tapi [pelakunya] nyengir-nyengir aja, sih. Ketawa-tawa, gitu.”
Saking budaya kekerasan seksual ini dinormalisasi, Rani bercerita ia tidak pernah menyaksikan kawannya selama SD-SMP menangis atau sampai melapor ke guru. Sampai kejadian meremas testis siswa laki-laki disaksikannya yang berbuah amarah dari korban.
Perbedaan kawan saat SD-SMP dan SMA memberikan perubahan sudut pandang juga bagi Rani tentang dirinya. Bahkan, mengenali kenakalan ini sebagai kekerasan seksual membentuk sebuah perlawanan jika terjadi pada kawan perempuannya.
“Kalau misalnya ada teman kami yang digituin, kami yang sesama perempuan di sekolah [jawab] ‘Apaan, sih? Geli banget!’ Bisa mulai bersuara gitu,” ungkap Rani.
Sama halnya, Raka mengaku terkadang merasa tidak nyaman dengan tren ini. Apalagi saat melihat lelaki menyentuh perempuan tanpa persetujuan. Lain halnya jika kenakalan ini terjadi antarlelaki. Ia memilih untuk diam dan menjauh dari urusan mereka karena mereka biasanya tidak mendengarkan jika ditegur.
Seorang kawan lelaki Rani yang menjadi pelaku menarik kaitan bra perempuan sempat menceritakan mengapa ia berlaku demikian. Alasannya, ingin menarik perhatian dan berpikir “melakukan itu sama saja memberikan afirmasi seksual” kepada siswa perempuan.
Saya bertanya kepada seorang guru mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) yang juga tergabung dalam Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) sekolahnya di Jakarta Pusat. Ibu Mira, bukan nama sebenarnya, mengaku tidak pernah menyaksikan kekerasan seksual berdalih kenakalan remaja semacam yang dialami Raka dan Rani selama mengajar kurang lebih 20 tahun.
“Saya nggak pernah menyaksikan. Selama ini–saya udah ngajar itu kurang lebih kan 20 tahun, ya–saya belum pernah melihat,” aku Ibu Mira.
Walau begitu, Ibu Mira bercerita bahwa saat di bangku SMP, tepatnya pada 1992, dirinya pernah mengalami hal serupa. Seorang laki-laki sebaya pernah menarik bra yang dikenakannya. Tren kekerasan seksual berdalih kenakalan remaja ini nyatanya pengalaman kolektif yang dirasakan lintasgenerasi.
“Saya menghindar. Saya juga harus tahu diri, saya nggak mungkin diam. Kalau yang saya lakukan dulu, saya lapor kepada guru. Akhirnya saya menghindar, saya nggak mau duduk dekat dia lagi,” kisahnya.
Ketidaktahuan Ibu Mira ini mungkin juga dapat berkaitan erat dengan kisah Raka. Kenakalan antarsiswa yang disaksikannya seringnya terjadi bukan pada jam pelajaran, melainkan saat jam istirahat yang tidak banyak diperhatikan oleh pendidik. Bahkan sekolah Raka yang memiliki pengawasan guru yang cukup ketat, lewat monitor guru yang piket dan penguncian kelas pada jam istirahat, tak ubahnya bukan mitigasi yang solutif.
Selain adanya normalisasi pelecehan seksual dan peran gender yang memaksa laki-laki untuk selalu tangguh, Rani menilai jarangnya pelaporan ke guru pada masa sekolah adalah karena guru Bimbingan dan Konseling (BK)-nya yang tidak dapat menjalankan fungsinya.
Setelah adanya implementasi Kurikulum Nasional Tahun 2013, Prof Mungin Eddy Wibowo menjelaskan bahwa guru BK diharapkan dapat menjadi konselor yang mendidik secara intensif dan pendamping siswa untuk menemukan kemampuan, bakat, serta minatnya. Jika tidak ada layanan psikolog anak di sekolah, guru BK memiliki peran penting dalam mengatasi permasalahan kesehatan mental pelajarnya.
“Guru BK di sekolahku dulu nggak berguna. Yang sepele di mata Guru BK belum tentu sepele di mata individu. Sangat useless dan hopeless kalau misalnya terjadi bully.”
Tidak hanya minim perspektif gender, Rani mendapati Guru BK saat ia SMA kelas 2 berlaku misoginis dan menyalahkan korban. Kawan perempuan Rani, yang melaporkan perselingkuhan pacarnya ke Guru BK, malah mendapat respons yang tidak menyenangkan karena kedekatannya dengan pelaku.
“Gara-gara Guru BK dekat sama ini cowok, dia malah bilang, ‘Ya udahlah, namanya juga cowok. Cowok, tuh, pasti libidonya tinggi. Jadi dia pasti cari cewek lain yang lebih dari kamu.’”
Pelaporan ke Guru BK itu tidak berujung baik. Kawan perempuan Rani kehilangan kepercayaan diri, sampai mempertanyakan nilai dirinya di depan Rani. Mempertanyakan apakah dirinya harus seksi agar lelaki tertarik.
Perihal kasus di atas, Noridha Weningsari, seorang psikolog klinis anak, menyatakan bahwa budaya misoginis dan seksis yang melekat di keseharian kita, yang direproduksi secara terus-menerus, berdampak pada perkembangan anak-remaja. Maka itu, sering kali jadi suatu pembenaran atas perilaku yang salah. Dalam lima tahun terakhir, ia telah menangani berbagai kasus pelecehan seksual yang terjadi di satuan pendidikan, seperti penyentuhan area kelamin, area tubuh privat lainnya, pengintipan, atau ajakan menonton konten pornografi.
“Kita perlu meningkatkan awareness mereka [remaja] soal penerimaan bahwa penerimaan itu artinya tidak harus mengikuti standar-standar di lingkungan yang kemudian membuat mereka tidak nyaman. Penerimaan bisa dilakukan dengan cara yang lebih positif,” ujar Noridha.
Penanganan kekerasan seksual ini menjadi semakin kompleks dengan orang dewasa–yang seharusnya dapat dipercaya oleh anak–malahan menormalisasi dan menggunakan survivor bias dalam menangani kasus anak seperti yang dialami kawan Rani. Noridha pun membagikan kasus siswi perempuan yang pernah ia tangani karena seorang lelaki seusianya menyentuh area payudaranya tanpa persetujuan. Berulang kali ditegur, pelaku selalu merespons bahwa dirinya “hanya bercanda”. Pelaporan ke sekolah tidak berujung sesuai ekspektasi. Sekolah berupaya untuk “mendamaikan” pelaku dan korban sebagai bentuk penanganan kasus kekerasan seksual.
“Beberapa kasus di mana respons yang ditunjukkan sekolah itu tidak sesuai harapan mereka. Jadi misalnya, sekolah menganggap [cukup] ditegur, disuruh tidak mengulangi, disuruh untuk berdamai–salaman gitulah, ya.”
Permendikbud PPKSP: Efektifkah Berjalan?
Pada 2023, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengeluarkan peraturan No. 46/2023 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP) sebagai upaya melakukan pendekatan yang lebih komprehensif. Pasalnya aturan sebelumnya, Permendikbud No. 82/2015 belum mencakup subjek kekerasan selain peserta didik, bentuk kekerasan seksual, rincian tugas satuan pendidikan dan pemerintah, mekanisme pencegahan serta alur koordinasi penanganan secara spesifik.
Bentuk kekerasan yang diatur kini meliputi kekerasan fisik, psikis, perundungan, seksual, diskriminasi dan intoleransi, kebijakan yang mengandung kekerasan, serta bentuk kekerasan lainnya. Penjabaran bentuk-bentuk kekerasan seksual menjadi penting di tengah munculnya hasil Asesmen Nasional Kemendikbudristek pada 2022 yang menunjukkan bahwa satu dari tiga peserta didik di Indonesia berpotensi mengalami kekerasan seksual. Sesuai Pasal 15 ayat (1e), satuan pendidikan perlu membentuk TPPK dalam mencegah dan menangani kekerasan di lingkungan pendidikan.
Apa yang disaksikan Rani serta Raka di sekolah adalah bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 10 ayat (2l), yaitu “perbuatan menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban”. Kekerasan seksual ini sudah lama dibiarkan, bahkan dari generasi ke generasi lain, membuatnya menjadi suatu norma tersendiri di lingkungan remaja. Pelaporan menjadi sulit di tengah adanya olokan bagi korban yang terlihat marah saat orang lain melecehkannya.
Noridha menilai penerbitan Permendikbudristek PPKSP dapat menjadi awal mula yang tepat untuk memberantas normalisasi budaya kekerasan seksual di sekolah. Sebab, aturan ini sudah cukup rinci membahas upaya menciptakan lingkungan dan ekosistem sekolah yang aman serta nyaman, lewat poin pemenuhan hak korban, pemulihan, penanganan kasus, mitigasi risiko keberulangan, juga pembentukan TPPK.
Ia mendorong pentingnya proses pemeriksaan dugaan kekerasan di satuan pendidikan dengan melibatkan tenaga profesional, salah satunya psikolog.
Berada di fase perkembangan, anak sebagai korban perlu didukung dengan pendekatan pemeriksaan psikologis yang berbeda dari orang dewasa pada umumnya. Sebab, identitas mereka sebagai anak menajamkan kompleksitas sesilangan (intersectionality) yang membuat mereka lebih rentan. Segala proses wawancara, tes, observasi, dan mencari informasi kolateral tetap harus memperhatikan kemungkinan reviktimasi dan retraumatisasi kepada korban. Maka, penting menurut Noridha untuk menggunakan pendekatan trauma-informed investigation dalam kerja-kerja penanganan kasus kekerasan terhadap anak.
Ibu Mira menjelaskan bahwa tanpa adanya Permendikbud PPKSP yang terbit 2023 lalu, sekolah tempat ia mengajar sudah punya mekanisme penanganan komplain siswa selama berdekade. Sistem yang selama ini berjalan adalah pelaporan ke wali kelas, guru BK, lalu ke wakil kepala kesiswaan (wakasis). Ia menilai bahwa guru, selain punya peran mengajar, juga sudah sepatutnya dapat membina.
Perbedaan yang Ibu Mira rasakan setelah adanya Permendikbud PPKSP ini adalah pembentukan TPPK, yang terdiri dari struktural, wakil kepala sekolah, guru lintasmata pelajaran, dan perwakilan siswa tiap kelas.
Selain itu, ada juga penambahan materi soal isu kekerasan dalam kurikulum nasional. Misalnya, materi stop perundungan dan kekerasan dalam rumah tangga dimasukkan dalam topik hak asasi manusia mata pelajaran PPKN. Atau, ada juga materi edukasi seks yang menjadi program seminar tahunan guru BK.
Dalam upaya menjadikan program pencegahan kekerasan ini efektif, sekolah tempat Ibu Mira bekerja berkolaborasi dengan Fakultas Kedokteran berbagai universitas dan menerapkan aturan memisahkan siswa laki-laki serta perempuan dalam diskusi soal seksualitas. Mereka juga menyediakan satu guru BK lelaki dan satu perempuan. Setiap bulannya, sekolah kedatangan pengawas dari pihak Pemerintah untuk memonitor proses kegiatan belajar mengajar dan kerja TPPK.
Walau begitu, sekolah Ibu Mira masih luput akan implementasi Pasal 25 ayat (2c), sebagaimana satuan pendidikan memiliki tanggung jawab melaksanakan sosialisasi kebijakan dan program, termasuk apa saja bentuk kekerasan seksual.
“Nah, kita lebih kepada [kekerasan seksual] secara umum ya, gitu. Tapi, kalau secara spesifik harus ke mana, itu saya belum melihat hal itu,” ungkap Ibu Mira.
Dari aspek perkembangan anak, Noridha menekankan ada dua hal tentang anak yang perlu dievaluasi dan didalami, yaitu perilaku seks wajar (normal sexual behavior) dan berbahaya (harmful sexual behavior). Jika salah satu pihak merasa tidak aman atau nyaman, jelasnya, itu sudah termasuk harmful sexual behavior. Ini menjadi penting diketahui TPPK agar ke depannya dapat mengidentifikasi pola perilaku anak.
Sekolah juga perlu memastikan bahwa pendidik, khususnya anggota dalam TPPK, mampu memahami gender dan seksualitas, mengidentifikasi normal vs harmful sexual behavior, serta menantang nilai, pandangan, atau pengalaman yang selama ini diyakini benar juga wajar.
“Di-challenge, sebelum akhirnya kita semacam di-install framework baru, cara pandang baru mengenai apa itu seksualitas, perkembangan, dan perempuan serta laki-laki tanpa berdasarkan stereotipe tertentu,” jelas Noridha.
Sekolah Aulia dan Raka pun sama. Mereka menyatakan belum menerima sosialisasi tentang apa saja bentuk kekerasan seksual dan bagaimana pencegahannya di lingkungan sekolah. Belum juga ada sosialisasi apakah ada atau siapakah pendidik, tenaga pendidikan, dan orang tua yang tergabung dalam TPPK.
Seluruh siswa di sekolah mereka sebatas tahu bahwa pelaporan dapat dilakukan ke wali kelas dan guru BK. Raka dan Aulia mengaku dapat merasa aman dan nyaman karena memiliki guru BK yang terbuka untuk konsultasi apa pun, termasuk kasus dijauhkan teman sekelas, perundungan fisik, atau permasalahan keluarga.
Akibat dari luputnya sekolah melakukan sosialisasi tentang bentuk-bentuk kekerasan seksual, peserta didik belum satu suara apa yang masuk dalam kategorisasi dan apa yang tidak. Saya sempat membuat kuesioner kecil saat melakukan wawancara dengan tiga peserta didik ini. Raka menilai bahwa bersiul saat lawan jenis lewat bukan bentuk kekerasan seksual. Jawabannya tidak selaras dengan apa yang sudah diatur dalam Permendikbudristek PPKSP Pasal 10 ayat (2c).
Walau bentuk kekerasan seksual belum dijabarkan secara komprehensif oleh sekolahnya, Raka bercerita pernah menerima sosialisasi soal penanganan. Pelaporan kekerasan seksual disebutkan dapat dilaporkan ke pihak internal sekolah atau pihak berwajib. (BERSAMBUNG)
*) Tulisan ini merupakan bagian dari program Fellowship Independen yang didukung USAID, Internews dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.
Pada tanggal 26 September 2024 pukul 07:22, REDAKSI mengubah diksi dan kalimat dalam tulisan ini namun tidak mengurangi makna.