Oleh: Rima Kurniati
Independen- “Dengan sistem matrilineal atau garis keturunan berdasarkan ibu, perempuan di Sumbar mewariskan garis keturunan, memiliki jaringan kekerabatan yang luas dan banyak saudara. Akhirnya memungkinnya jika mau berpartisipasi politik,” kata Wirdanengsih mengawali percakapan hari itu, Jumat (26/01/2024) saat disambangi Independen.id.
Ketua Pusat Kajian Kearifan Lokal Universitas Negeri Padang (UNP) tersebut mengakui, secara kultural perempuan di Sumatra Barat (Sumbar) mempunyai modal sosial yang kuat untuk ikut berpartisipasi politik. Perempuan dikenal juga dengan Bundo Kanduang, memiliki modal jaringan yang kuat, ekonomi kuat dan kedudukan yang tinggi.
Tak hanya itu, perempuan Minangkabau juga mewariskan harta dari pusako tinggi, seperti rumah, sawah dan ladang. Harta warisan tersebut merupakan modal ekonomi yang juga kuat jika terjun ke ranah politik.
Widianingsih menambahkan, perempuan Minangkabau juga memiliki kedudukan yang terhormat dalam proses pengambilan keputusan keluarga. Di dalam adat Minangkabau perempuan yang dituakan, keputusannya sangat dihormati. Jika perempuan itu tidak setuju, maka kesepakatan bisa batal.
“Dengan modal sosial tersebut, sebenarnya perempuan memiliki peluang besar untuk meraih suara yang banyak dan duduk di ranah politik,” imbuh Widianingsih, yang juga Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNP.
Hal tersebut kontras dengan keterwakilan perempuan Minangkabau di legislatif. Berdasarkan data yang dihimpun Independen.id, kurun tiga periode pemilihan anggota legislatif, periode 2009-2014, 2014-2019 dan 2019- 2024 jumlah perempuan Sumbar yang duduk di DPR baik tingkat nasional hingga kabupaten masih belum mencapai angka kritis 30 persen seperti yang diharapkan.
Ditingkat DPR RI, dua periode pemilihan tahun 2009-2014 dan 2014-2019 dari total 14 kursi DPR RI yang tersedia, hanya satu perempuan yang berhasil meraih kursi di DPR RI. Bila dipersentasekan hanya mencapai 7,1 persen. Jumlahnya naik menjadi 21,4 persen pada periode 2019-2024, ada 3 perempuan yang berhasil duduk di DPR RI.
Sama halnya yang terjadi di tingkat DPRD Provinsi. Alih-alih meningkat mencapai 30 persen, tiga periode terakhir jumlah perempuan yang duduk di DPRD Provinsi Sumbar terus tergerus. Dari total 55 kursi di dua dapil tahun 2009-2014 hanya 7 kursi yang diraih atau setara dengan 12,7 persen. Sementara di Pemilu berikutnya, 2014-2019 menjadi 9,2 persen atau 6 kursi. Terakhir menyisakan 4 kursi dari 65 kursi yang diperebutkan atau hanya 6,2 persen.
Jauh panggang dari api. Mencapai angka kritis 30 persen keterwakilan perempuan di Sumbar sepertinya masih membutuhkan jalan panjang.
Lebih menyedihkan lagi ditingkat kabupaten, data KPU Provinsi Sumbar menunjukan ada tiga kabupaten yang sama sekali tidak mempunyai wakil perempuan. Seperti di Kepulauan Mentawai, daerah 3T ini (Tertinggal, Terdepan dan Terluar) sama sekali tidak punya wakil perempuan yang duduk di DPRD kabupaten selama tiga periode tersebut. Padahal ada 20 kursi yang diperebutkan, namun semuanya diraih laki-laki.
Selain Mentawai, periode pemilihan 2009-2014, di Kabupaten Pesisir Selatan keterwakilan perempuan juga nol persen dari 40 kursi. Kabupaten Solok Selatan juga tidak lebih baik. Menyisakan dua periode pemilihan terakhir 2014-2019 dan 2019- 2024 juga nol persen perempuan dari 25 kursi.
Berkurangnya jumlah keterwakilan perempuan juga terjadi di DPRD Padang Pariaman. Tahun 2009 terdapat tiga perempuan, tahun 2014 hanya dua orang perempuan dan tahun 2019 tidak ada satupun perempuan.
Keterwakilan perempuan dalam politik sudah digaungkan dengan adanya kebijakan afirmasi (affirmative action). Dimulai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Semakin populer dengan terbentuknya Undang-undang No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Pada pasal 8 ayat 1 poin d berbunyi menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen (tiga puluh per seratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat. Kebijakan ini semakin diperkuat dengan UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dalam pasal 3 ayat 5 dinyatakan Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30 persen (tiga puluh per seratus) keterwakilan perempuan.
Sejak ditetapkannya kebijakan afirmatif, secara jumlah, perempuan yang ikut nyaleg di Sumbar memang mengalami peningkatan. Namun belum berbanding lurus dengan jumlah keterpilihan. Keterwakilan perempuan di DPRD Sumbar misalnya mengalami penurunan tiga periode tersebut.
Pada 2019 terdapat, 7 perempuan dari 55 anggota dewan. Penambahan anggota dewan menjadi 65 persen pada tahun 2014-2019, tidak berdampak pada penambahan keterwakilan perempuan, nyatanya hanya 6 perempuan yang terpilih. Lalu lima tahun setelahnya pada pemilu 2019-2024, hanya ada empat caleg perempuan yang terpilih. Keterwakilan perempuan di DPRD Provinsi Sumbar kemudian bertambah dengan adanya pengantar antar waktu (PAW).
Mengutip Iva Ariani, dalam jurnal berjudul Nilai Filosofis Budaya Matrilineal di Minangkabau (Relevansinya Bagi Pengembangan Hak-hak Perempuan di Indonesia) menyampaikan dalam adat Minangkabau, yang berkuasa dan bertanggung jawab dalam sebuah rumah tangga adalah ibu yang didampingi oleh mamak (saudara laki-laki ibu), sedangkan ayah hanya sebagai tamu. Dalam pembagian harta warisan kaum/suku jatuh pada kepada perempuan, sementara kaum laki-laki tidak mendapatkan bagian apa-apa.
Antara budaya matrilineal dan konstruksi sosial
Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Sumbar Tanti Hariadi mengatakan Sumbar memang menganut sistem matrilineal atau garis keturunan ibu, namun power-nya perempuan dalam ranah publik masih terbatas. Dimana masih ada stigma yang terkonstruksi seolah-olah peran perempuan hanya berfungsi sebagai objek seksualitas dan pengelola dapur.
Akibatnya ketika perempuan memilih berkiprah dalam politik akan muncul pertanyaan lain seperti latar belakang keluarga, lingkungan, dan kehidupan sosialnya. Hal yang berbeda terjadi pada laki-laki ketika nyaleg. Masyarakat tidak pernah mempertanyakan ataupun mempersoalkan latar belakang dan hal-hal sosial lainnya.
“Perempuan dipertanyakan dia anak siapa, keponakan siapa. Kalau laki-laki tidak pernah ada yang mempertanyakan. Kalau perempuan maju juga dipertanyakan kemampuannya, apakah calon laki-laki pernah juga dipertanyakan kemampuannya. Cobalah lihat berapa banyak caleg saat ini, sama saja kemampuannya antara perempuan dan laki-laki,” papar Tanti Hariadi.
Serupa disampaikan Wirdanengsih, meskipun memiliki modal sosial kultural yang kuat, perempuan di Sumbar masih dibatasi dengan konstruksi sosial yang terbentuk di tengah masyarakat.
Kondisi hari ini katanya, tidak lepas dari konstruksi yang dibangun sejak orde baru. Dimana pada masa itu nilai-nilai yang berlaku perempuan hanya menjadi pendamping laki-laki. Perempuan mensupport, menunjang suami dan lainnya. Ketika menjadi legislatif tentu perempuan tetap harus mendampingi suaminya. Konstruksi ini ditanamkan sejak kecil hingga remaja, sehingga memerlukan upaya besar mengubah konstruksi yang telah tertanam di tengah masyarakat.
“Pada zaman reformasi, perempuan yang tampil politik perpanjangan suami, atau laki-laki. Pada akhir-akhir ini perempuan yang muncul, tidak lepas juga dari jabatan laki-laki,” ujarnya.
Kondisi ini terlihat jelas dari keterwakilan perempuan DPR RI dapil Sumbar yang terpilih pada pemilu 2019. Dari 14 anggota DPR RI dapil Sumbar, ada tiga orang perempuan yang berhasil duduk. Nevi Zuairina dari PKS, Lisda Hendrajoni dari Nasdem, dan Athari Gauthi Ardi dari PAN. Ketiganya memiliki latar belakang keluarga atau suami yang terlebih dahulu berkiprah di ranah politik.
Nevi Zuairina diketahui merupakan istri dari Irwan Prayitno, Gubernur Sumatra Barat dua periode, tahun 2010-2021. Sedangkan Lisda adalah istri dari Hendrajoni, Bupati Pesisir Selatan, Sumbar periode 2016–2021. Lalu Athari merupakan putri sulung dari Epyardi Asda, anggota DPR RI tiga periode sejak 2004- 2018, sekarang Bupati Kabupaten Solok periode 2021-2024. Kemudian satu orang Pengantar Antar Waktu (PAW) Rezka Oktoberia dari Partai Demokrat. Ia menggantikan Mulyadi yang mengundurkan diri karena maju sebagai calon Gubernur Sumbar tahun 2020.
Belum lagi lanjut Tanti Hariadi, besar biaya pemilu hari ini sangat tidak memungkinkan perempuan bertarung seperti laki-laki. Dimana laki-laki bisa jor-joran sedangkan perempuan harus mempertimbangkan banyak hal, seperti jika dilakukan akan membuat berantakan rumah tangganya dan bagaimana dengan safety keluarganya.
“Banyak pikiran-pikiran perempuan sebelum mengeluarkan cost politik,” kata Tanti.
Anggota DPRD Provinsi Sumbar 2019-2024 Leli Arni membenarkan hal tersebut. Ia mengakui perempuan harus berdaya saat memutuskan terjun ke ranah politik praktis, termasuk dalam hal ekonomi. Ketika perempuan berdaya secara ekonomi maka perempuan bisa dengan leluasa berjuang meraup suara sebanyak mungkin.
“Caleg perempuan harus mandiri. Saya lihat banyak caleg perempuan yang tidak mandiri secara ekonomi. Mereka juga tidak berjuang pasca jadi daftar calon tetap (DCT),” ungkap politikus PDI Perjuangan ini.
Leli sebelum terjun ke dunia politik, merupakan mantan PNS Kabupaten Dharmasraya. Ia pernah menjabat beberapa kali sebagai kepala dinas dan terakhir menjadi Pj Sekda Kabupaten Dharmasraya pada 2016-2018. Saat pemilu 2019, ia memperoleh 56.612 suara dari daerah pemilihan Sumbar VI Kabupaten Sijunjung, Dharmasraya, Tanah Datar, Kota Sawahlunto dan Padang Panjang.
Untuk meraup suara, Caleg DPR RI dapil I Sumbar ini mengaku perempuan harus berjuang, masa kampanye ini layaknya medan perang. Seperti yang ia lakukan konsisten door to door menemui konstituen, serta menyasar suara dari majelis taklim dan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
“Saya dirayu untuk duduk, karena mungkin orang melihat saya bisa menjadi keterwakilan perempuan. Setelah saya duduk, saya melihat harus ada perempuan di DPR pusat, provinsi, kabupaten karena memang kebijakan itu di legislatif dan dinas. Kalau perempuan tidak terpilih, bagaimana kebijakan yang pro perempuan terwujud,” kata Leli Arni.
Pentingnya mendorong keterwakilan perempuan
Tanti Hariadi mengatakan keterwakilan 30 persen perempuan Sumbar harus terus didorong untuk mewujudkan kebijakan-kebijakan pro perempuan dan kaum marginal. Pasalnya tanpa keterwakilan perempuan, maka kebijakan yang pro perempuan dan kaum marjinal susah untuk dihasilkan.
Hal ini lanjut Tanti sudah dirasakan dampaknya, dengan banyaknya masalah sosial di Sumbar seperti tingginya angka perkawinan anak, tingginya angka kematian ibu melahirkan dan anak dan stunting tinggi.
Berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), angka stunting Sumbar tahun 2022 berada pada angka 25,2 persen atau di atas rata-rata nasional yang tercatat 21,6 persen. Hasil Susenas Maret 2022 Badan Pusat Statistik (BPS) Sumbar, angka perkawinan perempuan di bawah 19 tahun mencapai 23,13 persen. Artinya dari 100 anak perempuan di bawah usia 19 tahun, 23 orang diantaranya menikah dini atau perkawinan anak.
Sementara itu hasil long form sensus penduduk 2020 Sumbar, menunjukkan angka kematian ibu di Sumbar sebesar 178 yang artinya terdapat 178 kematian perempuan pada saat hamil, saat melahirkan atau masa nifas per 100.000 kelahiran hidup.
Sedangkan Angka kematian bayi (kurang dari 1 tahun) di angka 16,35 per 1000 kelahiran. Child Mortality Rate (Angka Kematian Anak 1-4 tahun) sebesar 2,84 artinya terdapat sekitar 3 kematian anak umur 1-4 tahun selama satu tahun di antara 1000 kelahiran hidup. Under 5 Mortality Rate (Angka Kematian Balita) sebesar 19,19 artinya setiap 1000 balita Sumatera Barat, 19-20 diantaranya tidak berhasil mencapai umur tepat lima tahun.
“Angka kekerasan juga naik, seperti gunung es. Belum lagi kesehatan mental perempuan, yang dulu tidak pernah dengar bunuh diri, sekarang ada perempuan bunuh diri, ini masalah sosial. Untuk itu, harus ada perempuan-perempuan yang duduk di legislatif serta membuat kebijakan yang pro terhadap perempuan dan kaum termarjinalkan,” katanya.
Hal senada diungkapkan Widianingsih. Untuk persoalan perempuan tetap perempuan lebih sensitif dalam memperjuangkan, karena ada soal logika karena perempuan lebih memahami dinamika perempuan.
“Bahwa caleg perempuan yang bisa membuat regulasi, program, hal-hal peraturan problematik dalam keluarga, anak. Mereka lebih sensitif dan lebih mengerti memperjuangkannya,” katanya.
Perempuan “enggan” memilih perempuan
Masih rendahnya keterpilihan perempuan Sumbar di legislatif sebenarnya berbanding terbalik dengan jumlah pemilih perempuan. Selama tiga periode, daftar pemilih tetap (DPT) yang ditetapkan KPU Sumbar menunjukan pemilih perempuan lebihnya daripada pemilih laki-laki. Pada pemilu 2019 misalnya terdapat 3.718.237 pemilih, 51 persen diantaranya perempuan.
Tanti mengatakan meskipun sudah disuarakan perempuan pilih perempuan, kalau pemilihnya masih bersifat pragmatis.
“Walaupun kita kampanyekan perempuan pilih perempuan, kalau mindset- nya masih saya dapat apa, ya terjadilah kemunduran Sumbar, karena pemilih mempertaruhkan pembangunan lima tahun ke depan,” kata Tanti.
Pengamat Politik Unand Tengku Rika Valentina mengatakan dari aspek psikologis, perempuan belum tentu mau memilih perempuan. Pemilih perempuan tidak merasa percaya diri memilih caleg perempuan karena melihat kapasitas atau track record caleg perempuan belum terlihat di tengah masyarakat.
“Kita memilih rasional saja, melihat track recordnya dan isinya. Berbeda dengan pemilih tradisional, ia memilih apa yang didapatkan dengan memilih dia,” kata Rika.
Menurut Tengku Rika Valentina, rendahnya keterpilihan caleg perempuan juga karena caleg perempuan tidak menangkap isu-isu krusial, seperti pelecehan atau kekerasan seksual, isu rumah tangga. Mereka (caleg perempuan, red) masih memilih isu umum seperti kemiskinan yang calon laki-laki juga sudah biasa mengenalkan itu.
“Caleg perempuan itu harus punya kapasitas, kapabilitas, karena siapapun yang dicalonkan, orang akan melihat performa dia seperti apa. Mungkin jadi khususnya kabupaten/kota di Sumbar yang keterwakilan perempuan nol persen, karena masyarakat tidak percaya, atau partai tidak percaya diri mengajukan perempuan atau perempuannya yang tidak mau,” kata Rika.
Menunggu komitmen parpol
Partai politik (parpol) berperan besar dalam menyiapkan caleg perempuan yang memiliki kapasitas. Sayangnya, sejauh ini sejumlah parpol masih sekadar memenuhi kuota perempuan 30 persen dalam penentapan DCT.
Rika menjelaskan ada dua sistem yang berlaku di parpol, yakni partai tertutup atau partai kader dan partai terbuka atau kader masak. Partai kader misalnya PKS yang proses rekrutmen jelas, melalui liqo dan beberapa tahapan lainnya.
Ada juga partai yang proses rekrutmennya tidak jelas atau partai masak. Asal memenuhi kuota affirmative action. Sekedar numpang tanya, sudah memenuhi atau tidaknya
“Walaupun mereka menyampaikan partai kader tapi kita sebagai orang awam melihat semuanya partai masak. Yang penting kuota calegnya terpenuhi, terpilih atau tidak itu masalah nanti,” kata Rika.
Selain itu, menurut Rika, dominannya pemilih perempuan di Sumbar hendaknya bisa dimanfaatkan parpol. Parpol bisa melihat isu-isu yang krusial di dapil masing-masing dan menyiapkan caleg perempuannya.
Serupa ditambahkan Tanti, proses kaderisasi yang dilakukan parpol untuk kader perempuan selama ini juga tidak terlihat. Partai politik hanya tahu jadinya saja. Parpol hanya melihat perempuan yang potensial saja, tanpa maksimal kaderisasi. Jika maksimal pastinya banyak kader perempuan parpol yang terpilih
“Coba perhatikan 18 parpol, siapa yang melakukan kaderisasi pada kadernya. Walaupun ada, PKS yang menyatakan dirinya partai kader, harusnya balance dong dengan kader PKS perempuan yang terpilih. Namun keterpilihan kader perempuan PKS di Sumbar juga tidak ada di legislatif. Kader perempuan hanya ujung tombak untuk meraup suara,” katanya.
Tanti menilai, minimnya keterwakilan perempuan Sumbar di legislatif sebenarnya, sama saja dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Seharusnya dengan adanya ikon sistem matrilineal, pemerintah menyiapkan wadah khusus untuk perempuan dalam melatih maupun menyalurkan kemampuan berpolitik
“Laki-laki lebih dahulu mendapatkan pendidikan politik, dengan ngopi di lapau-lapau, mereka biasanya bisa berdebat, menyampaikan argumentasinya, sementara perempuan wadahnya tidak ada,” katanya.
*) Liputan ini merupakan kolaborasi Independen.id, AJI dengan media penerima beasiswa liputan Pemilu 2024 didukung USAID MEDIA - Internews