Kisah Mahmudi, 24 Tahun Menjaga Pesisir Kungkai Baru

Oleh: Muhammad Alfath Harahap

Desa Kungkai Baru terletak di pesisir barat Pulau Sumatera. Tepatnya di Kecamatan Air Periukan, Kabupaten Seluma. Di sana ada kawasan yang menjadi destinasi wisata. Cemoro Sewu namanya. Saat ini Cemoro Sewu tengah berada dalam ancaman abrasi. Adalah Mahmudi, menjadi salah satu tokoh masyarakat yang berinisiatif menjaga pesisir Kungkai Baru selama lebih dari dua dekade. Berikut kisahnya. 

INDEPENDEN-- Suasana sore di Desa Kungkai Baru, masih cukup terik. Angin yang kencang berhembus dengan udara yang terasa panas membuat warga setempat gemar duduk-duduk di bawah pohon rindang. Termasuk penulis yang sore itu tengah berkunjung ke sana. 

Hari itu saya bersua dengan Kepala Desa Kungkai Baru, Mahmudi. Dia dikenal sebagai tokoh masyarakat yang peduli terhadap pelestarian pesisir Pantai Desa Kungkai Baru. Berkawan kopi, Mahmudi berkisah tentang riwayat kampung tersebut dan kisahnya merawat pesisir Desa Kungkai Baru.

"Sekarang desa kita ini (Desa Kungkai Baru) sudah punya banyak fasilitas penunjang, Lapangan terbuka dan tertutup ada, fasilitas kesehatan dan pendidikan ada. Bahkan objek wisata kita bagus dan terkenal,” tutur Mahmudi membuka percakapan.

Tahun 1983 menjadi momen awal kehidupan masyarakat di Desa Kungkai Baru. Penduduknya adalah orang-orang yang mengikuti program transmigrasi oleh pemerintah orde baru. Mereka berasal dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Lelaki berkacamata itu pun melanjutkan ceritanya. "Sebelum terbentuknya Desa Kungkai Baru, tahun 1987 namanya masih Desa Sukasari. Barulah pada 2004 ada pemekaran, menjadi Desa Tawang Rejo dan Kungkai Baru,” kata Mahmudi.

Nama Desa kungkai Baru diambil dari bahasa Serawai, ‘Kungkai’ yang artinya adalah perairan dan ‘Baru’ dalam bahasa Indonesia artinya belum pernah ada. Dari wilayahnya, Desa Kungkai Baru berada di wilayah pesisir pantai yang dikelilingi sungai dan laut. Maka berdasarkan kesepakatan para tokoh masyarakat dan tokoh adat maka desa ini diberikan nama Kungkai Baru, yang artinya perairan sungai yang belum pernah ada.

Desa Kungkai Baru merupakan wilayah pesisir yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, menjadikan sebagian wilayahnya adalah bibir pantai dengan karakter pantai yang landai dengan ombak-ombak besar khas dari pantai-pantai Samudera Hindia. 

Dengan alasan ini pula Desa Kungkai Baru memiliki objek wisata pantai yang sangat terkenal dengan nama Cemoro Sewu, diambil dari bahasa Jawa cemoro artinya cemara dan sewu artinya seribu.

"Dulu orang-orang kenalnya Pantai Periukan atau Pantai Gading. Tapi setelah ini kita buka (menjadi objek wisata) kita kasih nama Cemoro Sewu karena pantai ini sangat banyak tumbuh dan ditanami pohon cemara," kenang Mahmudi.

Kades Kungkai Baru, Kecamatan Air Periukan, Mahmudi (Wawan/IST-radarbengkulu)
Kades Kungkai Baru, Kecamatan Air Periukan, Mahmudi (Wawan/IST-radarbengkulu)

Pantai Cemoro Sewu dikenal dengan panorama alamnya yang indah dan masih alami, dipenuhi cemara yang berbagai ukuran yang memberikan pemandangan memukau dan menenangkan, menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan dan sangat cocok untuk berkunjung bersama keluarga.

Ia juga menceritakan tentang bagaimana keadaan pantai saat awal-awal kependudukan masyarakat. "Dulunya cemara-cemara di pantai Cemoro Sewu itu besar-besar batangnya. Kira-kira sampai tahun 80-an, bawahnya itu masih hutan belukar,” cerita Mahmudi. 

Sayangnya pada 1996 pernah terjadi pembukaan lahan besar-besaran oleh masyarakat yang mengakibatkan pohon-pohon besar di sepanjang bibir pantai menjadi hilang. Bahkan ada juga masyarakat yang membuka lahan di sana. Akibatnya hutan pelindung bibir pantai (aling-aling) menjadi hilang.

"Saat terjadi kemarau panjang tahun 1997, kurang lebih kemarau itu delapan bulan. Sementara aling-aling sudah rusak, uap air laut yang dibawa oleh angin dan hawa panas itu mengakibatkan tanaman sayur dan kelapa yang masih kecil milik warga mati. Bahkan beberapa ternak warga yang di pesisir pun terkena dampaknya. Pohon pun enggan untuk menumbuhkan daun hijaunya,” tutur Mahmudi.

Dari peristiwa itulah warga pada akhirnya lebih tumbuh kesadaran untuk tidak merusak aling-aling yang notabene menjadi pelindung mereka dari dampak negatif. Akhirnya tokoh adat dan tokoh masyarakat bersepakat untuk menghijaukan kembali daerah tersebut dengan usaha-usaha yang dilakukan secara gotong-royong.

"Ya meskipun di awal-awal hanya kami beberapa orang saja yang bergerak, tidak dibayar dan kami harus mencari dan mengambil bibit yang tumbuh alami di sepanjang aliran air," ujar Mahmudi.

Penghijauan pesisir (Foto: Muhammad Alfath Harahap)
Penghijauan pesisir (Foto: Muhammad Alfath Harahap)

Selain dirinya, Mahmudi menyebut nama beberapa warga desa lainnya yang berjuang dan selalu konsisten untuk melakukan penghijauan kembali di area pesisir pantai Desa Kungkai Baru. Mereka adalah Rony, Slamet, Hirin, Mukhlis dan Wahyu yang bisa dibilang sebagai generasi muda di desa mereka.  

Salah satu tantangan yang dihadapi oleh Mahmudi dan tiga rekannya untuk melestarikan kawasan pesisir pantai adalah mendapatkan bibit cemara. Jadi mereka berinisiatif mengambil bibit cemara yang baru tumbuh di sepanjang aliran sungai untuk dipindahkan ke polybag. Lalu setelah dirasa cukup baik untuk dipindah ke tanah, kemudian ditanam di aling-aling

Tokoh pemuda Desa Kungkai Baru, Wahyu, yang juga ditemui malam itu menuturkan, bibit cemara yang biasa mereka tanam juga didapat dari Taman Hutan Raya (Tahura) Rajo Lelo Bengkulu Tengah. 

Saat ini sudah ada 2.000 bibit yang ditanam di daerah pantai yang benar-benar gundul dan belum ditanami. Sebagian lagi ditanam sepanjang aliran sungai yang membelah desa untuk menjaga dinding sungai dari abrasi.

Desa sempat mengajukan terkait pengadaan bibit ke Kebun Raya tersebut karena kebutuhan bibit yang dirasa kurang untuk penanaman. Namun setelahnya karena bibit cemara memang sedikit sulit untuk didapat, pemerintah desa akhirnya berinisiatif untuk pengadaan melalui Dana Desa pada 2016 sampai 2018, melakukan pembibitan dan perawatan bibit secara mandiri.

Pemerintah desa bersama karang taruna dalam mengupayakan pembibitan mandiri tersebut ternyata harus berkeliling mencari bibit-bibit cemara yang masih tumbuh kecil secara alami di berbagai aliran air sungai atau muara di sepanjang bibir pantai.

"Malahan kami itu pernah nyari terobosan (cemara yang tumbuh kecil) itu sampai ke utara (Bengkulu Utara) saking niatnya. Karena kebetulan kami tahu di sana ada bibit, jadi kami izin dulu sama pemerintah desa dan warga," cerita Mukhlis sambil tertawa mengenang kisah itu.

Mukhlis dan Wahyu adalah salah satu tokoh penggerak yang biasa mengkoordinir kawan-kawan pemuda untuk merawat bibit dan penanaman cemara secara rutin di Pantai Cemoro Sewu. Kegiatan penanaman cemara ini sudah dilakukan dari tahun 2.000 dengan bertahap dan berkelanjutan.

Kini, bibit yang mereka tanam sejak 24 tahun lalu sudah “dinikmati” hasilnya. Terbukti Pantai Cemoro Sewu menjadi pantai yang sangat banyak dikunjungi oleh wisatawan. Baik wisatawan dari sekitar desa bahkan wisatawan dari luar kabupaten.

Apalagi setelah dibuka secara resmi menjadi objek wisata pada 2018, menjadikannya lebih terkenal dan banyak organisasi atau kelompok yang membuat kegiatan di sini. Baik yang hanya sekadar kemah, maupun ikut bergabung penanaman cemara dan bersih pantai.

Bibit cemara (Foto: Muhammad Alfath Harahap)
Bibit cemara (Foto: Muhammad Alfath Harahap)

Berkat hutan pantai yang dijaga dan dikelola secara baik ini masyarakat sangat jelas mendapatkan hasil positif, dari banyaknya wisatawan dari luar yang berkunjung secara otomatis meningkatkan ekonomi masyarakat. Wisatawan yang membeli dagangan itu menjadikan perputaran uang dan pemasukan bagi masyarakat.

Selain peningkatan ekonomi warga juga mendapatkan dampak baik dari hasil perikanan yang masih stabil. "Muara kita itu hasilnya luar biasa. Udang, ikan, kepiting dan masih banyak lagi. Apalagi kalau patah muara. Wah sudah kayak pasar itu muara sama pantai kita," tutur Mukhlis.  

Pada tahun 2018, desa sempat membuat kegiatan yang besar. Banyak pihak yang ikut serta. Ada dari Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA), dinas, pemerintah daerah. 

“Sampai ada juga itu organisasi lingkungan, Greenpeace. Sampai akhirnya mereka juga kalau ada kegiatan penanaman kadang minta bibit sama kita," jelas Mukhlis.

Seiring dengan giatnya gerakan penanaman Mahmudi dan rekan-rekan di desanya, kini kesadaran masyarakat lainnya pun muncul. “Kalau dulu orang-orang itu menebang pohon di sana (di pinggir pantai) itu biasa saja. Tapi jangan kalau sekarang, warga yang lihat sudah pasti marah itu," tambah Mukhlis.

Mukhlis juga menceritakan pernah ada masyarakat luar yang berkebun di tepi aling-aling pantai. Ternyata sambil membersihkan kebun, kayu-kayu kering juga diambil. Warga Desa Kungkai Baru yang mengetahui pun menegurnya. Akhirnya kayu kering itu dibakar, agar memberi pesan ke warga yang lain untuk tidak mengambil kayu di sepanjang bibir pantai. Sekalipun itu kayu yang sudah kering.(**)

==

Liputan ini merupakan hasil kolaborasi AMAN Bengkulu bersama Aliansi Jurnalis Independen Bengkulu dan Deutsche Welle (DW) Akademie

 

kali dilihat