Politik Uang Menargetkan Warga Miskin selama Pilkada Surabaya

Oleh : Rangga Prasetya Aji Widodo 

INDEPENDEN- Cahaya matahari menyinari wajah Agus Budiman (40), bukan nama sebenarnya, ketika duduk di balkon Rusunawa Benowo Pakal. Saat itu, jam menunjukkan pukul 10.00 pagi. Ia menyesap kopi perlahan sebelum mulai bercerita mengenai peristiwa yang dilalui Kampung 1001 Malam, Dupak, Surabaya.

Agus, pada Rabu (7/8/2024) itu, sedang menceritakan bagaimana ia dan warga miskin Kampung 1001 Malam, merasa dieksploitasi suaranya dalam setiap Pilkada. Hingga warga direlokasi, ujarnya, ada janji-janji Walikota Surabaya, Eri Cahyadi yang belum ditepati kepada mereka. Padahal janji-janji itu yang membuat mereka memilih dia.

“Contohnya mengenai legalitas kependudukan. Dulu kami berharap Kampung 1001 Malam punya RT sendiri, agar Kartu Keluarga (KK) tidak ikut RT lain atau kampung sebelah,” kata Agus, kepada tim kolaborasi liputan Conflict-Sensitive Reporting yang dihela Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) bekerja sama dengan UNESCO, Badan Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Padahal, menurut Agus, mengenai Kartu Tanda Penduduk (KTP) ini berakar jauh ke belakang, muncul dan tenggelam bersama keberadaan kampung itu. Ceritanya, kata dia, bermula tahun 1983. Ia bahkan baru akan dilahirkan pada saat itu. Ketika proyek pembangunan jalan tol memaksa sebagian besar penduduk direlokasi meninggalkan kampung tersebut. Namun, pada 1999, kampung yang terletak di pinggir Sungai Morokrembangan itu kembali dihuni warga kurang mampu yang tidak punya tempat tinggal.

Saat itu, warga yang menetap di sana memiliki pekerjaan non-formal, seperti pemulung dan pengemis. Seiring waktu, daerah itu dijuluki Kampung Bajing Loncat karena sering terjadi penjarahan muatan truk di jalan tol Dupak-Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.

Selama 20 tahun tinggal di sana, Agus ikut berupaya memperbaiki kesan negatif kampung tersebut. Pada 2019, ia mendirikan LSM Kampung 1001 Malam untuk memperjuangkan hak-hak dasar 180 kepala keluarga yang belum dipenuhi oleh pemerintah.

Upaya Agus menjaga keamanan jalan tol membuatnya mendapatkan kepercayaan dari PT. Jasa Marga. Sayangnya, pada 2023, warga Kampung 1001 Malam direlokasi ke berbagai tempat, salah satunya di Rusunawa Benowo Pakal, Surabaya.

Walikota Surabaya, Eri Cahyadi menyatakan relokasi ini merupakan program utama dalam pengentasan kemiskinan. Warga diberi janji-janji mengenai hunian layak, pekerjaan di pemerintahan, legalitas kependudukan, dan bantuan pendidikan untuk anak-anak.

Ini seperti dejavu bagi warga Kampung 1001 Malam. Sebelumnya, saat Pilkada 2020, Eri juga menjadikan pengentasan kemiskinan sebagai program utama dalam kampanye. Sasarannya warga dalam data tunggal atau single data Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), termasuk warga Kampung 1001 Malam. Eri mengklaim memiliki rencana matang untuk mengerjakan program tersebut.

Banyak Pola Politik Uang, Ujungnya Suara

Pada 9 Desember 2020, Pilwali Surabaya diadakan untuk menentukan Walikota dan Wakil Walikota periode 2021-2024. Dalam pemilihan ini, terdapat dua pasang calon, yaitu Eri Cahyadi dan Armuji, yang didukung oleh PDIP dan PSI, serta Machfud Arifin dan Mujiaman Sukirno, yang didukung oleh PKB, Gerindra, dan beberapa partai lainnya.

Eri Cahyadi dan Armuji berhasil meraih 56,94% suara, setara dengan 597.540 suara, sementara Machfud Arifin dan Mujiaman Sukirno memperoleh 43,06%, atau 451.794 suara. Pasangan terpilih menggantikan Tri Rismaharini yang telah menjabat selama dua periode.

Sebelumnya, pada 2019, warga Surabaya juga ikut meramaikan Pemilu. Menurut Agus, menjelang Pemilu, ia pernah diiming-imingi uang oleh kontestan Pemilu. Besarnya antara Rp35.000 hingga Rp50.000. Sedangkan pada Pilkada tahun 2020, timses Eri Cahyadi-Armuji meminta dukungan suara kepada warga Kampung 1001 Malam dengan memberi janji-janji kesejahteraan.

“Di sini yang menang Eri Cahyadi-Armuji, karena dulu timsesnya minta bantuan ke warga Kampung 1001 Malam,” tuturnya.

Timses Eri Cahyadi-Armuji pada Pilkada 2020, Aryo Seno Bagaskoro menyampaikan bahwa janji kampanye yang menjadi prioritas ialah penataan ruang kota hijau, pendidikan yang berkualitas dan dapat diakses semua orang, penguatan layanan publik dan permudah izin UMKM, revitalisasi pasar tradisional dan sentra wisata, serta menurunkan angka kemiskinan ekstrem.

“Terkait dengan Kampung 1001 Malam, tentu saja, upaya kesejahteraan. Dalam janji kampanye memang tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi dalam pelaksanaannya berupaya memperbaiki hidup sekitar 400 orang yang tinggal di sana,” katanya pada Kamis (5/9/2024).

Selama bertahun-tahun, menurut Seno, Kampung 1001 Malam menjadi pusat kegiatan charity, namun Pemerintah Kota Surabaya mengambil langkah terobosan dengan melakukan relokasi warga ke tempat tinggal yang lebih layak.

“Langkah-langkah yang diambil termasuk menyediakan Rusunawa dan melakukan pemindahan semi-permanen untuk memperbaiki kualitas hidup warga. Selain itu, Pemkot juga memaksimalkan program kerja untuk meningkatkan penghasilan warga. Bantuan tidak hanya diberikan dalam bentuk sembako, tetapi juga mencakup bantuan permodalan, pelatihan, dan relokasi ke tempat tinggal yang lebih layak,” tuturnya.

Sebagai informasi, pada 4-8 September 2024, Walikota Surabaya, Eri Cahyadi telah dimintai konfirmasi melalui Surat Permohonan Wawancara berisi pertanyaan terkait Pilkada tahun 2020 di Surabaya yang dikirim ke Balai Kota Surabaya, namun belum memberikan jawaban hingga berita ini dipublikasi.

Sebaran Suara Hasil Pilkada tahun 2020. Sumber: Peta Interaktif
Sebaran Suara Hasil Pilkada tahun 2020. Sumber: Peta Interaktif

Berdasarkan Berita Acara Hasil Perhitungan Suara selama Pilkada tahun 2020, di Kelurahan Dupak, Kecamatan Krembangan, Surabaya, di mana Kampung 1001 Malam berada, Pilwali dimenangi Eri Cahyadi-Armuji dengan perolehan 22.329 suara dari jumlah suara sah 43.224. Menurut Agus, ada sumbangan kemenangan dari warga Kampung 1001 Malam pada kemenangan itu.

Pada Pemilu 2024, kata Agus, nominal uang yang dibagikan kepada warga meningkat, antara Rp50.000 hingga Rp100.000. Bahkan, ada warga yang mendapatkan dari empat sampai lima caleg.

Namun, Agus menyatakan, ia dan warga eks-Kampung 1001 Malam telah kehilangan kepercayaan terhadap calon kepala daerah maupun anggota dewan. Ia merasa tidak ada perubahan signifikan yang terjadi dalam hidup warga miskin, terlepas dari siapa yang memimpin.

"Warga sekarang berpikir, siapapun walikotanya, siapapun presidennya, dan siapapun wakil rakyatnya, kami tetap begini saja (tidak ada perubahan)," tuturnya.

Rini Handayani (38), bukan nama sebenarnya, merupakan istri Agus Budiman, yang mengaku ikut diiming-iming uang antara Rp50.000 hingga Rp100.000, menceritakan fenomena menarik.

Menurutnya, bentuk permainan politik uang semakin berkembang pesat. Salah satu pola-pola politik uang yang pernah ditemui Rini ialah pemberian tour, ziarah Walisongo, sembako, dan seragam pengajian.

Cerita politik uang juga disampaikan Tutik Sulastri (58), bukan nama sebenarnya, merupakan warga Dupak Magersari, Surabaya yang hidup berdampingan dengan rel kereta api. Keluarganya sudah tinggal di kampung tersebut selama empat generasi. Ia guru mengaji dan sering membantu warga mengurus kesehatan anak-anak serta kebersihan kampung.

Menjelang Pilkada tahun 2020, kata Tutik, ia dan warga seringkali didatangi calon kepala daerah atau anggota dewan yang meminta dukungan suara. Kampung Tutik memiliki 116 kepala keluarga, jumlah yang tak bisa diabaikan untuk menambah pundi-pundi suara.

Mereka, kata Tutik, mengiming-imingi warga dengan materi agar mendapat suara. “Pilkada lalu, uang tunai yang diberikan antara Rp50.000 sampai Rp100.000. Pernah juga sembako, tapi isinya tidak lebih dari Rp50.000. Intinya, mereka meminta suara dari warga,” katanya pada Minggu (18/8/2024).

Tutik mengaku menerima pemberian itu, tapi justru karena merasa kecewa dengan calon kepala daerah atau anggota dewan. “Mereka sering memberi janji-janji, namun saat menjadi pejabat, warga dilupakan,” ujarnya. “Dulu ada caleg yang menjanjikan guru mengaji diberi gaji Rp1 juta per bulan, tapi sampai sekarang tidak ada kabar lagi,” tuturnya.

Ada pula Bambang Supriyanto (60), bukan nama sebenarnya, merupakan warga Tambak Bayan, lahir dan besar di Kampung Pecinan yang didominasi oleh Tionghoa. Kampung Tambak Bayan memiliki sejarah panjang, termasuk menjadi korban sengketa tanah yang melibatkan salah satu hotel di Surabaya.

Ia mengaku pernah mendapatkan janji-janji dari calon kepala daerah dan anggota dewan pada Pilkada tahun 2020. Salah satu politisi yang mendatangi Tambak Bayan itu mengatakan akan memperbaiki paving jalan serta selokan di kampung.

“Waktu itu, kami diberi anggaran Rp50 juta. Tapi sama mereka, kami disuruh meminta izin ke pihak hotel. Jelas warga tidak mau. Akhirnya, kami perbaiki jalan kampung dan selokan pakai anggaran sendiri,” katanya pada Selasa (13/8/2024).

Uang Memengaruhi Pilihan, Meski Bukan Faktor Utama

Dikutip dari buku Sejarah Pengawasan Pemilu di Jawa Timur Periode 1999-2019 yang diterbitkan Bawaslu Jawa Timur, Ketua Panwaslu Jawa Timur, Sri Sugeng Pujiatmiko, mengungkapkan berdasarkan pengawasan Pemilu sebelumnya, pelanggaran yang paling banyak terjadi adalah politik uang. Sugeng menjelaskan politik uang tidak hanya berupa pemberian uang, tetapi juga barang-barang.

Poin-poin pemaparan Bawaslu RI, Lolly Suhenty mengenai pola-pola politik uang selama Pilkada atau Pemilu di Indonesia. Sumber: Bawaslu RI
Poin-poin pemaparan Bawaslu RI, Lolly Suhenty mengenai pola-pola politik uang selama Pilkada atau Pemilu di Indonesia. Sumber: Bawaslu RI

Tapi masih ada bentuk politik uang yang lainnya. Anggota Bawaslu RI, Lolly Suhenty, menjelaskan politik uang yang terjadi selama Pilkada atau Pemilu di Indonesia meliputi pemberian voucher atau uang tunai antara Rp20.000 sampai Rp200.000, pemberian alat ibadah, pemberian bahan bangunan, pembagian kompor gas, hadiah-hadiah lomba, pembagian pot bunga, serta beras bergambar peserta Pilkada atau Pemilu.

 “Selain itu, pemberian bibit tanaman, pembagian kartu BLT, pembagian alat mesin rumput, pemberian janji, imbalan uang, atau barang saat masa tenang, menjanjikan pembangunan di wilayah tertentu, dan menjanjikan jasa atau keuntungan lain agar pemilih memberikan dukungan,” katanya melalui pesan teks pada Senin (12/8/2024).

Jadi, mengacu pada pernyataan Lolly, pemberian janji juga termasuk bentuk politik uang.

Visualisasi Data Sikap dan Perilaku Terhadap Politik Uang, Bahan Rilis Indikator pada Desember 2013 Menjelang Pemilu tahun 2014. Sumber: Indikator Politik Indonesia
Visualisasi Data Sikap dan Perilaku Terhadap Politik Uang, Bahan Rilis Indikator pada Desember 2013 Menjelang Pemilu tahun 2014. Sumber: Indikator Politik Indonesia

 

Dalam temuan survei Indikator Politik Indonesia tentang Sikap dan Perilaku Terhadap Politik Uang menjelang Pemilu tahun 2014, ternyata pemilih bersikap terbuka dan permisif terhadap politik uang.

Sebanyak 41,5% pemilih menilai politik uang sebagai kewajaran, dan 57,9% yang menilai politik uang tidak bisa diterima. Di antara pemilih yang menilai politik uang sebagai sesuatu yang wajar, sebanyak 28,7% responden menyatakan memilih calon yang memberi uang, dan 10,3% pemilih akan memilih calon yang memberi uang paling banyak.

Lebih dari separuh responden menyatakan akan menerima pemberian uang, tetapi tetap memilih sesuai hati nurani sebanyak 55,7%. Sedangkan hanya ada sebagian kecil yang akan menolak uang, meski menilai itu sebagai sesuatu yang lumrah, yakni sebanyak 4,3%.

Hasil riset Pusat Studi Antikorupsi dan Demokrasi (PUSAD) Universitas Muhammadiyah Surabaya lebih mengejutkan. Terungkap bahwa 98,2% masyarakat di Jawa Timur masih mengharapkan pemberian uang dari politisi yang maju di Pilkada atau Pemilu. Data tersebut diambil dari 1.067 responden di 4-5 kecamatan di setiap 38 kabupaten/kota di Jawa Timur pada 5 Maret 2019 hingga 20 Maret 2019.

Dari data-data itu, Direktur Eksekutif PUSAD Universitas Muhammadiyah Surabaya, Satria Unggul menegaskan bahwa suara penduduk kampung atau warga miskin di Surabaya memiliki pengaruh terhadap keterpilihan calon kepala daerah atau anggota dewan.

"Upaya untuk mengentaskan kemiskinan bukan lagi menjadi perhatian dari calon, karena mereka memberi (politik uang) bukan untuk mengentaskan kemiskinan, tetapi upaya semacam pork barrel," katanya pada Rabu (7/8/2024).

Menurut hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Surabaya pada tahun 2019 sebanyak 130,55 ribu jiwa, tahun 2020 sebanyak 145,67 ribu jiwa, tahun 2021 sebanyak 152,49 ribu jiwa, tahun 2022 sebanyak 138,21 ribu jiwa, tahun 2023 sebanyak 136,37 ribu jiwa, dan tahun 2024 sebanyak 116,62 ribu jiwa.

Adapun jumlah Daftar Pemilih Sementara (DPS) Pilkada tahun 2024 di Surabaya, menurut KPU Surabaya, sebanyak 2.237.452 orang. Rinciannya, 1.085.431 orang berjenis kelamin laki-laki dan 1.152.021 orang berjenis kelamin perempuan.

Ini naik sedikit dibanding jumlah pemilih pada Pemilu tahun 2024 lalu. Waktu itu, KPU Surabaya mencatat Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Surabaya sebanyak 2.218.586 orang. Rinciannya adalah laki-laki sebanyak 1.078.001 orang dan perempuan sebanyak 1.140.585 orang. Selain itu, terdapat 31 kecamatan, 153 kelurahan, dan 8.167 Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Satria menyampaikan, terdapat empat pola yang seringkali dipakai dalam politik uang, yaitu menggunakan uang tunai, sembako atau bantuan sosial, dagang pengaruh atau trading of influence, pembangunan infrastruktur di kampung, sedekah politik, dan sejenisnya.

Lebih jauh, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jawa Timur, Deda Rainditya menjelaskan bahwa terdapat dua faktor utama yang mendorong praktik politik uang, yaitu kemiskinan serta kesenjangan antara konstituen dan caleg tersebut.

"Kesenjangan itu memicu pragmatisme, caleg diharapkan membawa sesuatu yang konkret bagi konstituen, selain menyampaikan aspirasi. Politik uang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses politik, khususnya di wilayah urban dan sub-urban, yaitu Surabaya Barat dan Surabaya Utara," katanya pada Minggu (4/8/2024).

Pemaparan Evaluasi Temuan Pemantauan Pemilu tahun 2019. Sumber: Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jawa Timur
Pemaparan Evaluasi Temuan Pemantauan Pemilu tahun 2019. Sumber: Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jawa Timur

Hasil survei KIPP Jawa Timur pada Pemilu tahun 2019, menunjukkan bahwa sebesar 56,8% responden mengakui adanya praktik politik uang dengan rata-rata setiap politisi memberikan uang Rp150.000 per orang. Deda juga memaparkan mengenai adanya pergeseran modus politik uang.

"Sebelumnya, diberikan secara langsung dari caleg ke konstituen, kini politik uang menggunakan peran tokoh masyarakat seperti RT, RW, tokoh agama, atau tokoh komunitas. Hal itu, membuat pengawasan dan pembuktian sulit, sebab informasi hanya diperoleh dari cerita warga," pungkasnya.

Pelaku Politik Uang Sulit Ditangkap

Bawaslu RI, Lolly Suhenty menjelaskan pihaknya telah meluncurkan pemetaan kerawanan politik uang dalam Pilkada dan Pemilu. Politik uang menjadi salah satu dari lima kasus besar dalam isu kerawanan Pilkada dan Pemilu, setelah putusan sanksi DKPP, Gugatan Hasil Pilkada atau Pemilu, PSU, Netralitas ASN, TNI, atau Polri.

Hasil pemetaan kerawanan tinggi dalam isu-isu politik uang terjadi di Maluku Utara (100), Lampung (55,56), Jawa Barat (50), Banten (44,44), dan Sulawesi Utara (38,89). Modus politik uang terdiri dari memberi langsung berupa tunai atau voucher, barang, memberi janji-janji, melibatkan kandidat, tim sukses atau tim kampanye, ASN, penyelenggara adhoc, dan simpatisan.

“Langkah pencegahan politik uang yang dilakukan Bawaslu RI adalah penguatan partisipasi masyarakat serta komitmen pemangku kepentingan dalam mencegah dan mensosialisasikan bahaya politik uang, menyampaikan aduan/laporan politik uang, dan menindak politik uang,” katanya.

Aturan politik uang dalam Pilkada lebih progresif karena menjerat pemberi dan penerima. Hal ini tertuang dalam Pasal 187A ayat (1) dan ayat (2) UU No. 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota, dengan ketentuan sebagai berikut.

“Politik uang yang menjadi perhatian khusus Bawaslu adalah modus terselubung politik uang, baik melalui pemberian langsung, pemberian barang, dan pemberian janji,” tuturnya.

Ketua Bawaslu Jawa Timur, Ahmad Warits menyampaikan bahwa penyebab politik uang ialah kemiskinan. Itu mirip seperti yang disampaikan pengamat lainnya. Kemiskinan menjadi pendorong utama, kata Warits, sebab masyarakat yang terdesak secara ekonomi rentan tergoda dengan iming-iming uang.

"Selain itu, faktor politik instan. Politisi yang tidak memiliki basis gerakan sosial yang kuat cenderung mengambil jalan pintas dengan memanfaatkan pemilih melalui politik uang. Lalu, edukasi politik yang belum maksimal," katanya pada Jumat (9/8/2024).

Dalam konteks Jawa Timur, Warits mengakui bahwa mengatasi politik uang dalam jangka pendek terbilang sulit. Ia pun menyinggung terkait susahnya menemukan bukti langsung dalam politik uang yang terjadi.

Penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya mengenai politik uang pada Pemilu tahun 2019 di Jawa Timur menemukan penyebabnya. Ketika tim peneliti mewawancarai Kepala Unit Pemilu Subdit 1 Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Timur, Aipda Tri Heri Purwanto menjelaskan alasan pelanggaran politik uang sulit sampai ke Gakkumdu Jawa Timur, salah satunya karena syarat dalam memenuhi gugatan belum lengkap.

"Banyak syarat formil dan syarat materiil dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang tidak bisa dipenuhi, sehingga menjadi penyebab banyak pelanggaran politik uang tidak sampai diadili di pengadilan," katanya pada Rabu (8/11/2023).

Dalam penelitian yang sama, Jaksa Fungsional Kejati Jawa Timur, Yulistiono menegaskan banyaknya modus yang dipakai terduga pelaku politik uang. Seperti, menggunakan transaksi berbasis digital, menyamarkan politik uang dengan bantuan sosial, atau terduga pelaku politik uang dibekali pengetahuan agar mereka tidak terjerat pelanggaran politik uang.

"Pelanggaran politik uang sulit sampai ke Gakkumdu Jawa Timur dengan alasan barang bukti yang kurang, sulit mengidentifikasi pelaku politik uang, adanya kelemahan regulasi maupun undang-undang yang berlaku, hingga pengawasan yang kurang melibatkan partisipasi masyarakat dalam melaporkan kasus-kasus politik uang," tuturnya pada Jumat (1/12/2023).

Maksimalkan Pengawasan Pelanggaran Politik Uang

Akademisi Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menjelaskan bahwa terdapat tiga langkah untuk mengatasi politik uang. Pertama, penegakan hukum yang konsisten. Sebab, aturan main yang sudah ada, seringkali tidak dijalankan dengan konsisten oleh pengawas Pemilu atau Pilkada.

"Kedua, komitmen peserta Pemilu atau Pilkada untuk tidak terlibat dalam praktik politik uang dan fokus pada penawaran program. Ketiga, warga harus tegas menolak politik uang, meskipun dalam praktiknya sulit," katanya pada Selasa (6/8/2024).

Ia mengakui bahwa efektivitas mengatasi politik uang mungkin tidak akan langsung terasa. Namun, ia menekankan bahwa fokus pada aktor-aktor yang terlibat dan terus menyasar mereka ialah kunci untuk mengurangi politik uang.

Sementara itu Kepala Divisi Riset, Pengembangan, dan Kerjasama LBH Surabaya, Moh. Soleh mengatakan perlunya melakukan sosialisasi secara masif, kanal pengaduan yang dipermudah, dan semua elemen masyarakat diajak untuk berperan aktif dalam pengawasan. Ia juga menekankan soal pentingnya penindakan tegas terhadap pelaku politik uang.

"Penyelenggara Pemilu atau Pilkada memaksimalkan pengawasan, menindak tegas pelaku politik uang, memberikan sanksi diskualifikasi terhadap calon yang terlibat, dan memasifkan sosialisasi larangan politik uang melalui berbagai media," katanya pada Rabu (7/8/2024).

Serta, partai politik bersikap tegas dengan mencabut surat rekomendasi pencalonan jika calon yang diusung melakukan politik uang. Perlu juga memberikan sanksi tegas, termasuk pembubaran partai, jika partai politik terlibat dalam praktik politik uang.

"Masyarakat perlu meningkatkan kesadaran akan kerugian menerima politik uang, karena calon yang melakukan politik uang berpotensi korupsi. Berperan aktif dalam pengawasan politik uang dengan berani melapor dan menjadi saksi," tuturnya.

Agus Budiman memahami bahwa masyarakat memang perlu kesadaran mengenai politik. Sebab, politik uang bukan hanya merugikan diri sendiri, namun juga orang lain.

Akan tetapi, Agus Budiman dan Rini Handayani menegaskan mereka lebih memilih menerima uang daripada hanya mempercayai janji-janji politik, karena janji-janji tersebut seringkali terlupakan. “Dulu kita dibohongi oleh caleg, sekarang kita bohongi balik,” kata Agus.

Liputan Kolaboratif

Liputan kolaborasi Conflict-Senstivie Reporting Pilkada 2024 ini menyoroti isu-isu yang dihadapi oleh lima kelompok marginal: masyarakat adat, orang dengan HIV/AIDS (ODHA), perempuan, penyandang disabilitas, dan masyarakat miskin perkotaan. Dalam hiruk-pikuk kampanye dan persaingan politik, kelompok-kelompok marginal yang rentan terpinggirkan tersebut seringkali terlupakan, sehingga membutuhkan perhatian khusus. Selain itu, ada kelompok marginal yang hanya dimanfaatkan dan dieksploitasi untuk kepentingan politik tertentu.

Dalam liputan ODHA pada Pilkada Banyumas, jurnalis Media Indonesia menemukan fakta  yang menunjukkan stigma terhadap ODHA masih terjadi. Di dalam proses Pilkada, ODHA masih ada yang gagal mencoblos. Sebagian besar masih bisa menyalurkan hak pilih karena tidak open status sebagai ODHA. ODHA juga harus membuang jauh-jauh hak untuk dipilih. Kondisi masih belum memungkinkan ODHA menjadi pejabat publik dengan cara dipilih langsung.

Selain itu, para penyelenggara Pemilu belum pernah mengagendakan kegiatan khusus terkait Pilkada untuk ODHA. Selama dua kali pelaksanaan Pilkada Banyumas pada 2013-2018 maupun 2018-2023, para calon juga tidak pernah membawa isu kaum marginal, salah satunya ODHA. Hak-hak mereka masih terpinggirkan dan belum menjadi agenda dalam Pilkada.

Jurnalis Suara.com melaporkan bentuk diskriminasi terhadap penyandang disabilitas di Pilkada dan Pemilu. Target Pemilu 2024 ramah disabilitas yang terus digaungkan oleh penyelenggara Pemilu ternyata masih jauh panggang dari api. Berdasarkan hasil penelusuran di lapangan, masih ditemui banyak pelanggaran penyelenggaraan Pemilu ramah disabilitas. Pelanggaran tersebut meliputi penyandang disabilitas masuk ke dalam DPT umum atau non-disabilitas sehingga tidak mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhannya, TPS tidak aksesibel bagi penyandang disabilitas fisik, dan temuan 12.284 TPS di Indonesia tidak menyediakan template braille pada Pemilu 2024.

Selain itu, tingkat partisipasi pemilih disabilitas masih rendah karena berbagai persoalan meliputi stigma masyarakat yang malu memiliki anggota keluarga disabilitas sehingga menyembunyikan anggota keluarga tersebut, hak pilih disabilitas diwakilkan oleh anggota keluarga lain, hingga tidak ada pendamping yang mendampingi disabilitas menuju TPS. Di sisi lain, penyelenggara Pemilu masih belum bisa mengurai persoalan tersebut, sebab pendataan di tingkat Pantarlih masih belum memilah secara benar antara pemilih disabilitas dan non-disabilitas, dan anggaran sosialisasi yang terbatas sehingga sulit memperbaiki pendidikan masyarakat mengenai hak pilih dalam Pemilu.

Dari IKN, jurnalis IniBalikpapan.com menceritakan kisah masyarakat adat Suku Balik di lingkar Ibu Kota Nusantara (IKN) di Sepaku, Penajam Paser Utara, yang merasa kian terpinggirkan, justru karena Pilkada, dalam proses pembangunan besar-besaran di wilayah mereka. Mereka khawatir akan kehilangan hak atas tanah dan identitas budaya, sementara komunikasi dengan pemerintah minim dan pengakuan resmi atas keberadaan mereka belum didapatkan. Menjelang Pilkada 2024, aspirasi mereka tak mendapat perhatian dari para calon pemimpin, meski mereka berharap hak-hak adat bisa diperjuangkan.

Jurnalis Kompas.com menyoroti soal perempuan Sukoharjo yang sering dijadikan sarana meraup suara oleh para calon kepala daerah. Kaum perempuan didekati oleh calon kepala daerah atau timsesnya agar mau menerima program yang mereka tawarkan dan akhirnya memilih calon sebagai kepala daerah. Apalagi, di Sukoharjo pemilih perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki.

Di berbagai pertemuan ibu-ibu, seperti arisan PKK, posyandu, atau pengajian disusupi permintaan mencoblos calon tertentu sejak jauh-jauh hari. Namun, setelah pesta demokrasi berakhir, nyatanya hampir semua program yang ditawarkan saat kampanye tak ada yang menyentuh kepentingan perempuan. (*)

*Agus Budiman, Rini Handayani, Tutik Sulastri, dan Bambang Supriyanto merupakan nama samaran demi keamanan narasumber sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Pasal 7

*Artikel ini diproduksi dalam kerangka proyek UNESCO Social Media 4 Peace, yang didanai oleh Uni Eropa. Hasil liputan jurnalistik ini menjadi tanggung jawab penerbit, tidak mencerminkan pandangan UNESCO atau Uni Eropa

kali dilihat