Presiden Baru, Kanvas Liputan Baru!

Oleh: Ati Nurbaiti *) 

20 Oktober 2024 adalah hari bersejarah bagi Prabowo Subianto.

Untuk kita, pelantikan “Jenderal TNI purnawirawan Haji Prabowo Subianto” mengakhiri satu dekade kepemimpinan Joko Widodo, presiden dari luar elit lama yang tadinya membawa angin segar, tapi semakin ugal-ugalan dan nekad dalam melestarikan kekuasaannya. Bahkan almarhum Soeharto pun tak sampai berhasil menitipkan anaknya sebagai wakil presiden, yang paling mentok sebagai menteri. Di bawah Jokowi, Prabowo, seorang perwira TNI yang sudah dipecat, bahkan dinaikkan pangkatnya sebagai “Jenderal TNI Kehormatan”.

Untuk pers Indonesia, PR di depan mata sudah jelas: melakukan liputan-liputan yang sangat menantang, di mana tuntutan Reformasi semakin jauh dari impian dan nyaris terbunuh.

Menjelang 21 Mei 1998, mahasiswa dan masyarakat yang berdemonstrasi di berbagai kota menuntut turunnya harga-harga; adili Soeharto dan para kroninya; amandemen UUD 1945; otonomi seluasnya; penghapusan dwifungsi dan stop kekerasan, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Intisari tuntutan Reformasi yaitu STOP kekuasaan yang sewenang-wenang, stop KKN dan stop kekerasan. Amandemen UUD 1945 berhasil memuat jaminan negara pada hak sipil dan politik warganya. Namun “demokrasi” nyaris tinggal kulit saja.

Lebih dari 25 tahun Reformasi, PR pers makin mendesak untuk membantu mengembalikan checks and balances sebaik mungkin. Lembaga-lembaga yudikatif macam Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi harus dikembalikan sebagai institusi independen. Jabatan publik bukan diisi figur partai politik, tidak seperti sekarang dan kemarin yang secara jelas menimbulkan potensi konflik kepentingan terlalu besar.

Kembalikan juga integritas dan kemampuan Komisi Pemberantasan Korupsi. Cegah kembalinya dwifungsi militer dalam semua bentuknya; tuntut profesionalisme polisi; dan berakhirnya impunitas pelanggar HAM berat untuk semua kasus di seluruh Indonesia; cegah berulangnya kekerasan yang nyata maupun yang jauh lebih senyap yaitu ancaman di dunia maya.

Bagi media yang terbiasa kritis seperti Project Multatuli, meneruskan liputan demikian mungkin biasa saja, dan tantangannya pun tetap: bagaimana penyebarannya agar para konsumen tertarik menyebarkannya kembali lewat akun medsos masing-masing (soalnya yang senang reportase panjang sedikit kan!).

Sebab menurut para analis di situlah kekuatan kampanye Prabowo: penyebaran konten sederhana yang menarik yang membanjiri medsos lewat “pasukan siber” yang dibayar maupun yang tidak.

Dengan pendidikan di sekolah yang hanya menyebut Reformasi tipis-tipis, narasi “positif toksik” (menurut peneliti media Ross Tapsell) tentang Prabowo menenggelamkan informasi lainnya. Tidak saja pemilih muda, bagi pemilih tua pun, informasi tentang dugaan pelanggaran HAM masa lalu yang melibatkan Prabowo dianggap kekhilafan manusiawi yang bisa diperbaiki dengan “niat baiknya” melayani rakyat.

Keberanian pers masih berhadapan dengan tantangan berat, yaitu kepemilikan media di tangan segelintir elit bermodal yang harus menjaga baik-baik hubungannya dengan penguasa; terancamnya keamanan kerja pers bahkan jauh sebelum pandemi; dan daya tarik media yang jauh lebih kecil daripada segala informasi yang berseliweran di medsos dari sumber mana pun.

Belum lagi ancaman dituduh pencemaran nama baik serta intimidasi fisik. Kejadian yang mutakhir di bulan Oktober adalah pelemparan bom Molotov ke kantor Jubi di Jayapura; pada awal 2023, mobil publisher Jubi, Victor Mambor, dirusak dan bom rakitan pun meledak dekat rumahnya.

Sebagai pers kita hanya dapat berusaha sebaik mungkin, justru karena iklim politik semakin mendung.

Sejak 2010, misalnya, ilmuwan politik mencermati banyak negara yang sudah tidak cocok lagi digolongkan dalam “transisi demokrasi”.  Situasi seperti di Indonesia sudah menunjukkan “competitive authoritarianism”, kekuasaan otoriter yang dibuat seolah-olah kompetitif, seolah-olah demokratis.

Pantas rasanya transisi ini mentok saja. Dan seperti ditunjukkan Marcus Mietzner, ilmuwan politik lainnya, Indonesia akan tetap seolah demokratis karena para elit yang sekarang berpeluang berkuasa lebih terbuka, tegas menolak kembalinya pemimpin absolut. Karena itu wacana perpanjangan periode Jokowi buyar, tapi pemotongan kuasa KPK sukses karena sesuai kepentingan elite.

Pendeknya, peluang rakyat dan pers menuntut demokrasi sejati itu ada meski tipis-tipis. Dan peluang tipis ini harus kita gunakan semaksimal mungkin!

Meski begitu, tantangan lebih sulit berakar dari begitu mudahnya penyerapan informasi ngawur. Selain terbuai konsumerisme, suksesnya Orde Baru menumpulkan daya kritis penduduknya, yang berarti banyak awak pers termasuk para editor yang sangat kurang kritis.

Tentu tidak bisa terus menerus menyalahkan Orde Baru pasca-Soeharto, tapi nyatanya ketumpulan media masih jelas. Misalnya, dalam liputan serangan di Papua, begitu mudah kita kutip “sumber berwenang” dan menyalahkan “KKB”, Kelompok Kriminal Bersenjata, padahal wartawan yang bersangkutan belum sempat ke lokasi apalagi mewawancarai semua pihak yang relevan. Zaman internet kok sama saja seperti era di mana media cuma ada TVRI dan RRI, dan sedikit koran?

Semua pelanggaran yang sudah “normal” ini banyak dimungkinkan oleh pers yang tidak kritis walau sudah lama lepas dari ancaman Orba. Namun perubahan bisa terjadi. Semakin banyak pers yang menyadari tuntutan demokrasi tidak lepas dari tuntutan keamanan di ruang pribadi dan publik. Perubahan ini tak lepas dari bertambahnya wartawan feminis yang berani dan nekad melawan arus utama, yang tidak mementingkan liputan “ruang pribadi”. 

Satu per satu, kampus-kampus mendirikan satgas anti kekerasan seksual, menyusul keberanian laporan dari para korban yang tadinya amat mudah ditepis selama puluhan tahun. Satu keberanian korban memicu yang lain, walaupun masih banyak liputan  sensasional tentang kekerasan seksual.

Saya yakin kawan-kawan wartawan mampu mendapatkan semangat baru sesudah 20 Oktober lalu. 

*) Penulis adalah wartawan lepas, penasihat Project Multatuli, anggota pendiri AJI

kali dilihat