Oleh: Ati Nurbaiti*
Kapan warga Indonesia bisa merasa aman?
Beruntunnya kasus-kasus penembakan warga tak lama setelah pelantikan Presiden Prabowo Subianto mengesankan, lembaga keamanan tidak peduli menjaga citra mereka sendiri dengan terpilihnya mantan bintang TNI sebagai pemimpin negara. Malah seolah mereka bisa semakin sok kuasa, meneruskan kebiasaan premanisme, kebiasaan melenggang bebas atau impunitas yang masih melekat pada hampir semua pelanggaran HAM berat yang melibatkan aparat — apalagi untuk penembakan satu dua warga.
Polri tengah disorot menyusul beberapa kasus pembunuhan bahkan pada rekan polisi dan keluarganya sendiri. Di antara beberapa kasus, anggota DPR menuntut investigasi dan pertanggungjawaban atas penembakan yang menewaskan Gamma R. Oktafandy, siswa 17 tahun di Semarang, dan melukai dua siswa lainnya. Mereka disangka “anggota gangster yang tawuran” oleh polisi, menurut Kapoltabes Semarang Kombes Irwan Anwar.
Sebelum tewasnya Gamma tanggal 24 November, Pangdam Bukit Barisan Ltjen TNI Mochammad Hasan menghadiri pemakaman Raden Barus, warga dusun Cinta Adil di Deli Serdang, Sumatra Utara, yang tewas karena luka senjata tajam. Pada Hari Pahlawan lalu, 10 November, Pangdam minta maaf pada keluarga dan masyarakat atas serangan anggota Batalyon Armed ke dusun tersebut, dan berjanji para pelaku akan diproses hukum; dan bahwa kejadian tersebut tidak akan terjadi lagi. Anggota Artileri Medan 2/Kilap Sumagan, katanya, mencari anggota gang motor yang “meresahkan masyarakat” dengan aksi kebut-kebutan.
Pengakuan peristiwa, permintaan maaf dan janji dari atasan para pelaku ini sangat penting. Bagaimana pers dapat mengawal janji ini?
Juga di bulan November, 73 keluarga korban dari 135 korban tewas Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022 menuntut ganti rugi Rp 17.5 milyar dari kelima orang terpidana dari pihak Brimob Jatim, Persebaya, Arema Football Club dan dua mantan petinggi Polres Malang. Seorang penonton yang kehilangan ayah dan dua adiknya pun menuntut para penembak gas air mata dan otak intelektualnya diadili.
Jika pertanggungjawaban para pelaku dan otak tewasnya 135 orang dua tahun lalu masih tidak jelas, bagaimana dengan keadilan untuk satu korban tewas masing-masing di Deli Serdang dan di Semarang?
Selama berpuluh tahun, di wilayah konflik maupun non konflik, tak terhitung korban sipil dari penembakan aparat, yang terpicu dugaan mereka terhadap “anggota gang tawuran, gang motor, separatis, teroris, Kelompok Kriminal Bersenjata, demonstran rusuh”..dst. Relatif sedikit kasus yang sampai ke pengadilan, yang proses dan hasilnya makin menurunkan kepercayaan terhadap sistem hukum Indonesia, terlebih menyangkut aparat keamanan. Pengakuan adanya peristiwanya saja sudah lebih maju dari banyak “kasus gelap” — sehingga tidak terbukti jelas mana kasus sembarang tembak karena prilaku indisiplin aparat, kesalahan SOP dalam penanganan kerusuhan, dan mana yang merupakan pembunuhan “extra-judicial” yang disengaja dan direncanakan.
Karena itulah pengawalan pers sangat penting terhadap janji para petinggi Polri dan TNI untuk keadilan korban, apalagi janji bahwa tindakan tersebut tidak akan berulang. Namun kasus Gamma segera mencuatkan penghambat tambahan yang sangat ironis untuk upaya pengawalan pers -- karena penghambatnya adalah warga pers sendiri, yang tentu tidak hanya berlaku untuk kasus almarhum Gamma.
Keluarganya mengeluhkan upaya polisi agar mereka berdamai — hal yang jamak terjadi — namun ternyata didampingi wartawan senior di Semarang, yang ikut mengarahkan keluarga agar terlibat dalam video yang menyuarakan keikhlasan mereka atas kematian Gamma. Lewat rilisnya, AJI Semarang segera mengecam tindakan yang serupa “Humas Polri”, yang jelas melanggar etika jurnalistik selain UU Pers, karena wartawan yang menemani polisi tersebut terlibat usaha menghalangi terbukanya informasi tentang penembakan terhadap siswa.
“Sikap dari wartawan itu sangat jauh dari tanggungjawabnya sebagai seorang wartawan,” kata Ketua AJI Semarang Aris Mulyawan, dalam rilis tertanggal 3 Desember.
Sikap wartawan di semua pos liputan memang sangat menantang kemampuan jurnalis mempertahankan kemerdekaan berpikir, menimbang arah liputan, memilih nara sumber dan menyaring fakta , tentunya tidak hanya di Indonesia. Sang jurnalis menjadi sangat ahli, antara lain karena bisa “ngepos” 20 tahun, misalnya, jauh lebih lama dari pejabat yang berganti-ganti. Namun memelihara kedekatan dengan nara sumber sambil menjaga “zero” konflik kepentingan adalah keahlian yang tidak bisa dikuasai dari teori jurnalistik. Persis karena itu wartawan senior belum tentu baik sebagai teladan wartawan pemula, khususnya dalam keharusan mengikuti kode jurnalistik yang diingatkan AJI Semarang, termasuk larangan jurnalis memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi.
Saya teringat rekan senior yang dulu mengatakan, “Gue tinggal minta semen” pada nara sumbernya di kementrian Pekerjaan Umum; ia sedang membangun rumah, katanya. Hubungan simbiosis mutualistis ini tentu sangat diharapkan para nara sumber, yang berkepentingan agar liputan pers mengungkap pekerjaan mereka paling tidak terlihat baik. Ketika sebagian terminal roboh di blok M, Jakarta, saya lega karena tampaknya rekan sekantor menolak amplop gemuk dari kontraktor, untuk menutup fakta adanya korban tewas.
Terlebih di pos liputan TNI dan Polri, pelanggaran etik wartawan ini lebih langsung menyangkut nyawa warga sipil dan upaya menuntut tanggungjawab dari pihak yang mendapat kepercayaan negara untuk menggunakan senjata api secara legal.
Potensi konflik kepentingan ini yang membuat AJI berhati-hati dalam membela wartawan dalam perseteruan dengan nara sumber. Namun diluar kecurigaan potensi tersebut, AJI berprinsip tetap membela wartawan korban kekerasan.
Kita tidak bisa dengan santai menunjuk pers di luar, yang juga tak luput dari pelanggaran kode etik profesi, karena tentunya pengawalan kemerdekaan pers sangat penting untuk kelancaran liputan, terlebih dengan dinamika “demokrasi” Indonesia yang timbul tenggelam.
Untuk pertama kali rakyat memilih presiden yang diberhentikan TNI antara lain karena kasus penculikan, dan seperti banyak kasus pelanggaran HAM lainnya, tidak ada pengadilan atas pidana tersebut.
Dengan kencangnya gelagat berbaliknya dwifungsi TNI selama 10 tahun pemerintahan Joko Widodo, dan macetnya proses keadilan untuk sekian banyak kasus yang melibatkan aparat, pers yang seenaknya menodai profesionalitas adalah “sahabat mesra” aparat dalam menutupi kebenaran.
Perkembangan demokrasi di antaranya bergantung pada keterbukaan informasi yang bisa diakses publik. Karena itu jurnalis termasuk penyumbang mundurnya demokrasi Indonesia, antara lain karena dua hal: kelakuan yang korup atau menyalahgunakan posisinya seperti dalam kasus Gamma, dan juga ketidakmampuan berpikir merdeka dan kritis. Kedua hal ini yang merupakan tantangan yang selalu diperjuangkan AJI, melalui kampanye dan juga pelatihan jurnalis. Terlebih dengan sifat industri media yang mementingkan laba belaka.
Seperti dalam birokrasi, wartawan muda menyerap segala ilmu dari para senior, yang baik mau pun yang buruk, termasuk segala cara menjaga hubungan dengan nara sumber. “Daripada dimarahi editor karena berita lolos?” Begitu kira-kira sikap reporter yang berusaha akrab dengan para senior, dan karena itu sering merasa harus mengikuti kelakuannya pula. Dari menerima amplop sampai tahap canggih seperti dicontohkan wartawan senior dalam kasus Gamma almarhum.
Namun faktor kedua sama sulitnya untuk diatasi yaitu kemampuan berpikir merdeka dan kritis, walau Orde Baru resminya sudah tumbang 25 tahun lalu. Wartawan perlu banyak simulasi tambahan untuk tidak terperangkap pola pikir lama. Di antaranya adalah warisan memelihara “stabilitas” yang cenderung anti kebebasan berpendapat dan berserikat – sehingga dulu aktifis dianggap orang yang cari penyakit, dan LSM bukan nara sumber kuat, terlebih yang terkesan “kekirian”. Aspirasi politis untuk merdeka pun dianggap makar, sehingga wartawan tidak bisa membedakan yang terduga kriminal yang langsung dicap “pengkhianat negara”, dan mana aspirasi yang dijamin UUD 1945 hasil amandemen.
Mengatasi tantangan pola pikir yang menghambat obyektifitas jurnalis masih harus menjadi PR bersama. Menurut peneliti politik Marcus Mietzner, konservatisme pihak keamanan bertambah kuat dengan pengaruh mantan Kapolri Tito Karnavian, yang lalu menjadi Mendagri.
Mietzner mengutip ucapan Tito yang membela tindakannya menangkap orang-orang Papua yang mengibarkan bendera pro-merdeka, yang dianggapnya musuh negara. “Di Jerman [negara asal Mietzner] anda juga punya larangan bendera Nazi,” katanya dalam suatu diskusi di Canberra tahun 2016. (Marcus Mietzner, The Coalitions Presidents Make: Presidential Power and Its Limits in Democratic Indonesia, 2023, hal. 135). Jadi idiologi Nazi yang dasarnya keharusan memelihara kemurnian ras, dengan pembunuhan kaum Yahudi, minoritas seksual dan penyandang disabilitas, disamakan Tito dengan mereka yang mempunyai aspirasi politik merdeka. Ngeri kali!
Pandangan anti demokrasi dan tidak manusiawi, maupun kelakuan korup berbagai pihak berpengaruh, cenderung dibiarkan para pemimpin seperti Jokowi, demi kemulusan kekuasaannya.
Keselamatan wartawan yang tak terjamin pun tak kalah penting sebagai penghambat upaya pers mengungkap kebenaran dari pihak korban aparat keamanan.
Namun penghambat paling memalukan dan menyakitkan tentu yang bersumber dari kelakuan kalangan pers sendiri. **
- Wartawan lepas dan anggota pendiri AJI.