Oleh : Efrial Ruliandi Silalahi*
Tagar #IndonesiaGelap merupakan tagar yang muncul karena keresahan rakyat akibat situasi sosial dan politik yang terjadi di Indonesia. Lebih tepatnya banyak kebijakan pemerintah yang dinilai sangat merugikan rakyat. Tagar ini kemudian dipakai sebagai simbol gerakan rakyat untuk menyuarakan aspirasinya melalui aksi turun ke jalan di masing-masing daerah di Indonesia sejak tanggal 17 Februari 2025 yang lalu.
Ada beberapa poin penting yang menjadi tuntutan dan amanat rakyat yang dirangkum dalam tulisan ini. Pertama, mengenai Proyek Strategis Nasional (PSN) dinilai bermasalah baik dari segi kebijakan maupun dari perencanaannya, sehingga rakyat merasa perlu untuk mewujudkan reforma agraria sejati. Berawal dari keprihatinan masyarakat sipil terhadap pelaksanaan pembangunan atas nama proyek strategis nasional yang bertentangan dengan cita-cita konstitusi.
Setidaknya ada lima masalah fundamental PSN yakni (1) PSN telah menjadi alat baru perampasan tanah, wilayah adat, dan wilayah tangkap nelayan di berbagai daerah, (2) PSN di berbagai daerah telah menyebabkan krisis agraria, sosial, ekonomi, lingkungan yang berdampak luas dan genting, (3) PSN telah menghilangkan sumber pencaharian, pangan dan penghidupan rakyat yang memperparah kemiskinan nasional secara terstruktur, sistematis, dan masif, (4) PSN di berbagai daerah dilaksanakan dengan cara-cara represif, intimidatif, dan manipulatif dengan menghilangkan partisipasi rakyat secara bermakna dan transparan, (5) PSN di sebagian daerah memobilisasi keuangan negara untuk kepentingan kelompok bisnis tertentu. Disamping itu, Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang sudah 16 tahun diperjuangkan masih saja mangkrak di DPR, masyarakat adat membutuhkan pengakuan dan perlindungan serta aturan hukum yang jelas bagi masyarakat adat, dan juga harus berdaulat atas tanah dan wilayah adatnya.
Kedua, Undang-Undang Minerba yang baru disahkan beberapa waktu lalu hanya menjadi alat pembungkaman bagi penguasa untuk kampus-kampus dan lingkungan akademik ketika bersuara dengan kritis. Terciptanya pendidikan gratis, ilmiah dan demokratis masih menjadi angan-angan belaka, namun perlu untuk terus diperjuangan oleh rakyat khususnya mahasiswa. Disamping itu, kebijakan multifungsi ABRI yang dinilai menambah keterlibatan militer dalam sektor sipil yang berpotensi menciptakan represi dan menghambat kehidupan yang demokratis. Revisi Undang-Undang TNI, Polri dan Kejaksaan juga berpotensi menguatkan imunitas aparat penegak hukum (APH). Revisi undang-undang ini dinilai sangat problematik baik dari proses maupun isinya. Terdapat beberapa rancangan pasal yang pada prinsipnya mengembalikan peran TNI seperti pada masa Orde Baru yang disebut dwifungsi. TNI tidak lagi menjadi alat pertahanan, namun dapat mengisi ruang-ruang sipil[1].
Ketiga, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025[2] yang mana instruksi presiden ini dinilai sebagai ancaman terhadap kepentingan rakyat seperti akses pendidikan dan kesehatan yang terjangkau. Pemangkasan anggaran yang hanya fokus pada program makan bergizi gratis (MBG) bisa menjadi bencana fiskal. Studi CELIOS[3] menyarankan alokasi maksimum sebesar Rp. 46.93 triliun untuk MBG dengan pendekatan yang lebih tepat sasaran, sedangkan sisa efisiensi Rp. 259,76 triliun bisa digunakan untuk perlindungan sosial dan pembangunan lainnya. Sebenarnya implementasi MBG dengan pendekatan yang lebih terarah, khususnya bagi kelompok rentan tentunya akan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Prioritas penerima manfaat mencakup (1) anak-anak di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal), (2) keluarga miskin dan mengalami malnutrisi, (3) balita dan ibu hamil yang membutuhkan dukungan gizi dan kesehatan. Skema ini jauh lebih efisien, tepat sasaran, berdampak, dibandingkan dengan skema yang diterapkan sekarang.
Keempat, mengenai pemangkasan anggaran yang juga berdampak pada pelayanan publik lainnya karena ada banyak hal yang dihilangkan. Apalagi pemerintah tidak memprioritaskan pendidikan dan kesehatan sebagai prioritas utama, kalah dengan makan bergizi gratis yang menjadi janji kampanyenya saat Pilpres 2024 lalu. Sehingga perlu untuk mengevaluasi kembali secara holistik dari program makan bergizi gratis (MBG) agar tepat sasaran dan terlaksana dengan baik, dan tidak menjadi alat politik semata. Pada kesimpulannya pemangkasan anggaran ini berpotensi mengancam berbagai bentuk pembangunan, baik fisik atau sumber daya lainnya. Bagi petani, tentunya berdampak pada subsidi yang membuat akses petani terhadap pupuk, bibit, dan obat-obatan pertanian akan semakin sulit dan pastinya mahal. Pemangkasan ini juga berakibat fatal bagi akurasi deteksi bencana, kekerasan dan lain sebagainya.
Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti mengatakan memang sudah seharusnya Prabowo fokus merealisasikan janji politik yang sudah disampaikan saat kampanye. Namun tentunya tidak harus fokus hanya ke MBG saja. Sehingga efisiensi anggaran tidak semuanya dialokasikan untuk MBG. Sebaliknya tetap mengalokasikan dana untuk janji-janji lain, seperti hilirisasi diberbagai sektor dan lainnya. Di lain pihak, Shofie Azzahrah peneliti yang berafiliasi dengan lembaga think tank Next Policy mengatakan untuk menyeimbangkan janji kampanye dan kebutuhan efisiensi anggaran. Pemerintah seharusnya memfokuskan dulu pada peningkatan penerimaan negara terlebih dahulu. pemerintah perlu mencari sumber pendanaan tambahan yang jika tidak tersedia, dapat berujung pada pemangkasan anggaran di sektor-sektor lain[4].
Tidak ada makan siang gratis, semua ada maksud dan dampaknya. Saat pelaksanaan makan gratis ada banyak masalah, mulai dari menu hingga tata kelola. Makan gratis ini menyerap anggaran besar, akibatnya banyak tenaga honorer yang di PHK karena institusi tidak mampu menggaji. Misalnya saja mengenai anggaran tunjangan kinerja dosen alasannya sepele yakni soal administrasi, kesejahteraan akademisi yang mestinya juga harus diperhatikan demi peningkatan kualitas pendidikan tinggi dan melindungi hak-hak buruh kampus dan buruh-buruh di sektor lainnya. Belum lagi soal ketersediaan lapangan pekerjaan yang tidak jelas, banyaknya masalah ini sampai masyarakat menyerukan tagar KaburAjaDulu karena merasa pesimis dengan keadaan saat ini.
Akhir tulisan ini, mencoba merangkum beberapa harapan rakyat Indonesia, yakni pemerintah dan dewan perwakilan rakyat harus mendorong model-model pembangunan yang berpusat pada kepentingan rakyat dan sifatnya partisipatif, artinya masyarakat mempunyai peran dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait dengan kebijakan yang telah dilaksanakan sejak awal, termasuk di dalamnya program makan bergizi gratis, pemangkasan anggaran, pembangunan proyek strategis nasional dan lain sebagainya. Disamping itu juga perlu untuk mendesak pemerintah untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang perampasan aset. Sebab korupsi merupakan kejahatan luar biasa, hal yang mendesak dan harus segera diatasi melalui Perpu untuk memberantas kejahatan ekonomi dan korupsi.
*) Penulis adalah Program Officer AJI Indonesia
[1] Revisi UU TNI No.34 Tahun 2004 Pasal 47 Ayat (2) melalui penambahan frasa “serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden”.
[2] Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 memangkas anggaran sebesar Rp. 306,7 triliun. Langkah ini positif jika digunakan untuk memperbaiki ruang fiskal, meningkatkan pelayanan publik, dan memperluas perlindungan sosial.
[3] “PAK PRESIDEN, KAMI PUNYA IDE LAIN: Pemangkasan Anggaran untuk Keadilan Fiskal dan Kesejahteraan Rakyat” Pemangkasan Anggaran.cdr
[4] Kontradiksi Antara Janji Politik dan Pemangkasan Anggaran Prabowo | Independen