Oleh Ati Nurbaiti*
INDEPENDEN--Peringatan dan doa untuk enam juta korban Nazi dilakukan khusus tiap 27 Januari; Holocaust Memorial Day tentu disertai renungan dan tekad agar pembantaian serupa tidak terulang di mana pun. Menurut rekaman sejarah, tanggal 27 Januari 1945, tentara Soviet membuka gerbang kamp konsentrasi Auschwitz di Polandia dan membebaskan sekitar 500 tahanan, sehingga mata dunia baru terbuka pada rangkaian horor kekuasaan Adolf Hitler.
Juga di bulan Januari 2025, 80 tahun kemudian, kita menonton tahap awal pelepasan sandera Hamas dan tahanan Israel sebagai bagian persetujuan genjatan senjata Israel dan Hamas.
Dibanding pelepasan pertama, pelepasan sandera di Gaza berulangkali dipuji media Al Jazeera sebagai “sangat terorganisir”. Seorang ibu menabur bunga ke arah milisi Hamas. Sedangkan Associated Press menggambarkan betapa kedua pihak terlibat “optic war” atau perang pencitraan.

Awal 2024, Israel mengaku telah menewaskan lebih dari 10,000 anggota Hamas, sedangkan acara pelepasan sandera memberi kesempatan Hamas untuk pamer ke dunia, bahwa mereka masih solid di tengah sambutan bahagia warga Palestina. Para sandera yang dilepas mendapat kertas bak piagam lulusan. Kerumunan terkendali, tidak seperti pelepasan sandera pertama.
Ahli sejarah Israel, Amos Goldberg mengingatkan kita, apa hikmahnya Holocaust? Salah satunya, mendengar suara korban. Goldberg termasuk warga Israel yang ikut shock dengan serangan Hamas tanggal 7 Oktober 2023. Seperti warga sebangsanya ia pun tak menerima perlakuan Hamas terhadap warga sipil, dan ia mengenal beberapa korban. Namun gempuran Israel yang sejauh ini menewaskan lebih dari 47,500 warga Palestina, bahkan anak dan bayi, lama-lama membuat Goldberg menegaskan: “Yes, this is a genocide”.
Masalahnya, bangsa Yahudi hanya bisa dan mau memahami Holocaust sebagai peristiwa genosida, lengkap dengan kamp tahanan dan ruang gas. Karena itu Goldberg dan beberapa ahli Israel lain terus berusaha meyakinkan bangsanya bahwa tuduhan peradilan internasional di Den Haag tak dapat dibantah, bahwa tindakan israel memenuhi semua indikasi pelenyapan suatu bangsa. Sejarahwan Lee Mordechai mengumpulkan dokumentasi perang sejak Oktober 2023 sampai Desember 2024, berjudul “Bearing Witness to the Israel-Gaza War” (Kesaksian Perang Israel-Gaza) yang versi Bahasa Inggrisnya sepanjang 124 halaman (https://witnessing-the-gaza-war.com/).
Namun di tengah hanya sedikit kritik terhadap pemerintahan Benjamin Netanyahu, gempuran Israel terus dilancarkan terhadap warga sipil termasuk tenaga medis dan jurnalis, bahkan pengungsi yang sudah tak tahu lagi lari kemana.
Bagaimana pun, pelajaran Holocaust agar suara korban didengar berarti semua korban; sehingga pers perlu juga mewartakan suara korban di pihak Israel.
Nah ini yang sulit bagi pers di Indonesia, yang umumnya sepenuh hati solider dengan bangsa Palestina.
Tentu dalam konflik setidaknya ada dua sisi yang berperang meyakinkan penonton pada kebenaran versinya. Namun pers Indonesia paska reformasi tetap perlu berusaha meliput dengan obyektif, walau makin sulit sesudah 7 Oktober 2023.
Sejak hari itu sampai 6 Februari 2025, setidaknya 167 awak pers tewas menurut Committee to Protect Journalists. Kepala biro Al Jazeera, Wael Dahdouh, termasuk ayah yang harus kehilangan putranya yang juga wartawan.
Bagaimana upaya kita agar tidak terbawa perang pencitraan kedua pihak? Kebanyakan pers di sini hanya bisa berusaha meliput jauh dari lokasi konflik. Untuk mewartakan paling tidak suara korban Israel selain korban Palestina, kita tinggal klik beberapa media Israel, yang tentu akan disebut sebagai sumber. Paling tidak, pemirsa / pembaca akan mendapat perspektif pihak “lawan”; misalnya, ternyata tidak semua warga Israel setuju pada pemerintahnya.
Siapa pun bisa klik media mana saja, lengkap dengan bantuan aplikasi terjemahan; namun penyakit umum era dunia maya membiasakan kita untuk klik tautan yang cenderung kita suka atau lebih mudah percaya, di antara ragam info dan video yang muncul di medsos masing-masing.
Jadi ironisnya, jaman makin maju tapi komunikasi seperti makin terbatas. Pers yang wajib membantu masyarakat keluar dari gelembungnya, walau media kurang dikonsumsi dibanding medsos. Harapan perdamaian makin jauh selama masing-masing pihak konflik dan seantero pendukungnya buta terhadap pandangan ruang sebelah, sehingga hanya mendengar tokoh masing-masing yang maunya perang terus. Warga Israel sendiri menuduh Netanyahu berniat perang terus untuk melanggengkan kekuasaannya; sedangkan sikap resmi Hamas tetap tidak mengakui Israel.
Saya ingat seorang pelopor studi perdamaian, Johan Galtung, yang pernah mengemukakan pengalamannya, bahwa dalam konflik laki-laki tua cenderung lebih keras kepala, dibanding perempuan dan kaum muda yang pandangannya lebih mengarah ke solusi. AJI waktu itu mengundang Galtung, yang wafat 17 Februari 2024, untuk mengisi lokakarya yang diikuti peserta dari daerah konflik Maluku dan Sulawesi Tengah.
Jadi kita harus ingat mencari pendapat dari berbagai golongan masyarakat di masing-masing pihak yang berkonflik; tokoh masing-masing belum tentu mewakili pihak tersebut. Contoh nyata adalah Gerakan Baku Bae di Maluku yang lahir antara lain dari keresahan perempuan yang tetap harus belanja untuk memberi makan keluarga, sementara para panglima perang kedua pihak tetap mengobarkan semangat dendam.
Galtung mengakui, konflik Palestina sudah terlalu kompleks. Namun paling tidak pers harus berusaha menjalankan perannya untuk sebanyak mungkin mewartakan suara beragam korban. Pers tidak wajib mencari solusi, namun sikap malas dan tidak mau mengangkat ragam suara dalam konflik semakin menjauhkan kemungkinan damai untuk generasi penerus Palestina.
Solidaritas kita tetap pada yang terjajah, namun mewartakan suara kedua belah pihak konflik tetap kewajiban pers, bukan kewajiban pemerintah. Mungkin wartawan lain tidak setuju, namun mengupayakan jurnalisme damai adalah kewajiban warga AJI, yang menurut Deklarasi Sirnagalih “… menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan …”. Tentu tak mungkin meliput korban secara “berimbang” dalam jumlah; bagaimana mengimbangi penderitaan jutaan korban Aceh dibanding pengalaman aparat semasa perang?
Upaya jurnalisme damai termasuk sikap kritis terhadap siapa pun termasuk “pahlawan”. Dengan demikian pers Indonesia tidak bisa ikut mengangkat Hamas sebagai pejuang Islam tanpa cacat.
Memang tuduhan mereka sebagai teroris yang melakukan kekerasan seksual bahkan pemerkosaan terhadap warga sipil ditanggapi banyak pihak pro-Palestina dengan sangat curiga terhadap manipulasi pers dunia barat. Namun sulit sepenuhnya membantah kesimpulan misi pencarian fakta di bawah PBB yang menyatakan adanya “dasar kuat untuk meyakini terjadinya kekerasan seksual di beberapa lokasi” termasuk perkosaan dan perkosaan massal. Kekerasan demikian juga melibatkan aparat Israel, menurut misi UN tersebut.
Ada peneliti yang mengemukakan, tindakan demikian bukan ciri Hamas. Tapi siapa yang menjamin ciri dan disiplin seluruh anggotanya tetap sama sejak berdirinya tahun 1987? Sudah terlalu banyak riset tentang kekerasan seksual terkait konflik, di mana perempuan menjadi sasaran senjata bernama perkosaan.
Tentu Hamas tetap pahlawan bagi bangsa terjajah, bak “Daud” yang dengan kreatif dan mengejutkan mampu menembus pertahanan sang “Goliath” Israel; namun kekerasan pada sipil tidak bersenjata, terlebih kekerasan seksual, tidak dapat dibenarkan.
Masih banyak tahanan Israel dan sandera Hamas yang direncanakan dilepas, sehingga media dapat menyajikan banyak kisah dramatis. Memang mudah menyajikan liputan sederhana dengan “happy ending” bagi sandera Hamas, misalnya. Namun ketika sandera Yarden Bibas dilepas Hamas, ia tetap tak dapat kabar pasti tentang istri dan kedua putra mereka yang berusia 4 tahun dan 9 bulan ketika mereka diculik. Ada apa? Apakah cukup banyak bahasan tentang ajaran Islam tentang perlakuan warga tak bersenjata dalam perang, terlebih anak-anak? Semoga lebih banyak liputan yang lebih jeli daripada pujian berulang terhadap pelepasan sandera yang “sangat terorganisir”. ***
*Penulis seorang wartawan lepas di Tangerang Selatan.