Oleh Anza Suseno
INDEPENDEN-- Tidak semua orang tahu bahwa potensi panas bumi Indonesia merupakan terbesar kedua di dunia dan nomor satu di ASEAN.
Indonesia merupakan salah satu produsen energi panas bumi terbesar di dunia. Posisinya yang berada dalam jalur cincin api (ring of fire), karena dikelilingi oleh 127 gunung berapi aktif, menjadikan Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia.
Total cadangan dan potensi panas bumi Indonesia saat ini mencapai sekitar 23.766 MW atau sekitar 40 persen potensi panas bumi dunia. Besarnya cadangan dan potensi panas bumi Indonesia tersebut setara dengan sekitar 35% dari total kapasitas pembangkit secara nasional saat ini.
Lokasi potensi panas bumi tersebut tersebar di 357 titik lokasi di wilayah Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku, Sulawesi dan Papua. Khususnya di wilayah Indonesia bagian barat, potensi panas bumi terbesar di Indonesia adalah pulau Jawa, Provinsi Jawa Barat dengan luas wilayah 44.354,61 Km2 memiliki sumber panas bumi terbesar,
Menurut Peraturan (Presiden Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), potensi panas bumi di Jawa Barat mencapai 5.924 megawatt (MW). Potensi panas bumi ini terbagi menjadi dua diantaranya potensi sumber daya sebesar 2.159 MW dan potensi cadangan sebesar 3.765 MW.

Panas Bumi Gunung Salak merupakan salah satunya eksploitasi energi panas bumi di kawasan Gunung Halimun Salak telah berlangsung secara komersial sejak tahun 1994 dengan beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Gunung Salak kini memiliki kapasitas 377 MW (Megawatt). PLTP ini kini dioperasikan oleh Star Energy Geothermal Salak dan berlokasi di dalam Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) juga mencakup wilayah Sukabumi dan Bogor. PLTP Gunung Salak kini menjadi salah satu fasilitas geothermal terbesar di Indonesia dengan kapasitas sekitar 377 MW.
Panas Bumi Gunung Salak merupakan salah satunya Eksploitasi energi panas bumi di kawasan Gunung Halimun Salak telah berlangsung secara komersial sejak tahun 1994 dengan beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Gunung Salak kini memiliki kapasitas 377 MW (Megawatt). PLTP ini kini dioperasikan oleh Star Energy Geothermal Salak dan berlokasi di dalam Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) juga mencakup wilayah Sukabumi dan Bogor. PLTP Gunung Salak kini menjadi salah satu fasilitas geothermal terbesar di Indonesia dengan kapasitas sekitar 377 MW.
Jejak Geothermal Energi di Gunung Halimun Salak
Ini adalah jejak geothermal energi di Gunung Halimun Salak.
Dimulai pada 1981 saat adanya Keputusan Presiden (Keppres) No. 22 Tahun 1981 sebagai dasar hukum pengembangan panas bumi di Indonesia. Selanjutnya semua menjadi mudah. Pada 1982 ditandatangani kontrak pengusahaan panas bumi pertama oleh pihak swasta di Indonesia. Kesempatan itu diberikan kepada Unocal melalui Joint Operation Contract (JOC).
Butuh waktu cukup lama hingga 1994, untuk persiapan dan akhirnya unit 1 dan 2 mulai beroperasi secara komersial. Tiga tahun berikutnya yaitu pada 1997, ada penambahan unit Unit 3 hingga 6 mulai beroperasi demi meningkatkan kapasitas produksi.
Pada 2002 terjadi amandemen kontrak JOC & ESC, menyesuaikan regulasi dan pengelolaan proyek, dan pada 2005 PT Chevron mengakuisisi Unocal, mengambil alih operasional proyek di kawasan tersebut.
Perubahan kepemilikan kembali terjadi di 2017, saat Star Energy Consortium mengakuisisi aset panas bumi Chevron, termasuk Salak Geothermal, dan menjadi operator saat ini.

Proyek panas bumi ini sudah beroperasi selama 43 tahun terhitung sejak 1982. Pada wilayah kerja panas bumi (WKP) Lokasi Gunung Salak (Cibeureum-Parabakti) hingga tahun 2025 sudah memiliki setidaknya 115 sumur produksi panas bumi dengan capaian kapasitas dari 377 MW.
Sementara untuk menambah daya dengan target 495 MW perusahaan Star Energy akan melakukan drilling atau pengeboran tambahan sebanyak 15 sumur hingga akhir 2025 mendatang.
Selama lebih dari empat dekade, proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Gunung Salak telah menjadi penyediaan energi terbarukan di wilayah Pulau Jawa, Madura hingga Bali (JAMALI) Indonesia.
Namun, di balik pencapaian ini, ada dampak jangka panjang serius terkait lingkungan dan masyarakat sekitar. Dengan wilayah operasional yang mencakup dua kabupaten, yakni Sukabumi dan Bogor, proyek ini tidak terlepas dari isu-isu seperti perubahan ekosistem hutan, potensi gangguan seismik akibat aktivitas pengeboran, serta keseimbangan antara kebutuhan energi dan keberlanjutan lingkungan.

Gunung Halimun Salak, dengan kekayaan energi panas buminya, telah menjadi pusat eksploitasi besar-besaran demi memenuhi kebutuhan energi nasional. Sayangnya geliat pembangunan ini tidak dirasakan masyarakat. Mereka justru menghadapi realitas yang jauh dari harapan akan kesejahteraan.
Janji bahwa pemanfaatan panas bumi akan membawa manfaat besar bagi rakyat tampaknya masih sebatas wacana, sementara dampak lingkungan dan sosial semakin nyata.
Regulasi yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi menegaskan pentingnya keadilan, pengoptimalan ekonomi, serta kelestarian lingkungan dalam pengelolaan energi ini sepertinya tidak terlalu diimplementasikan.
Buktinya ketimpangan masih terjadi—akses masyarakat terhadap hasil eksploitasi terbatas, sementara lingkungan mereka terus mengalami degradasi akibat ekspansi wilayah kerja panas bumi.
Jika pengelolaan ini terus berjalan tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekologi dan keadilan sosial, maka eksploitasi panas bumi di Gunung Halimun Salak bukan hanya berisiko merusak lingkungan, tetapi juga semakin memperdalam ketimpangan sosial yang ada.

Mayoritas sebanyak 75 persen warga di sekitar kawasan proyek eksploitasi panas bumi menggantungkan hidup dari pertanian. Ardiansah misalnya. Dia adalah petani di area ring 1 kawasan panas bumi di Dusun Ciasmara, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor.
Ardi dan para petani lainnya terus berjuang mempertahankan mata pencaharian mereka di tengah aktivitas eksploitasi panas bumi di Gunung Salak. Dengan keterbatasan modal, banyak petani tidak mampu menggarap lahan yang mereka miliki.
Mereka berharap adanya dukungan berupa koperasi tani yang bisa membantu dalam penyediaan bibit, pupuk, atau sistem kredit yang dapat dibayar setelah panen. Harapan itu masih sebatas angan, karena bantuan yang diharapkan belum pernah mereka rasakan. Sementara itu, proyek panas bumi yang menghasilkan pendapatan besar belum dirasakan manfaatnya oleh petani sekitar.
"Saya nggak pernah tahu ada pendapatan lebih dari panas bumi yang diberikan ke petani," ungkap Ardiansah.

Tidak hanya soal ekonomi, warga juga menghadapi masalah serius terkait akses air bersih. Menurut Ardiansah, kemarau sebulan saja sudah cukup membuat masyarakat kesulitan mendapatkan air minum. Ironisnya, di tengah eksploitasi panas bumi yang membutuhkan banyak air, warga justru harus berjalan ratusan meter menuruni lembah hanya untuk mengambil air bersih.
“Kalau misalkan lagi kemarau berarti ngambil airnya ke sini ke bawah kurang lebih itu kan ada sekitar 300 meter, ada itu kan ngambil air, mau mandi, mau ngambil air minum itu harus jalan ke bawah, ini kan lumayan jauh gitu," keluh Ardi.
Dia berharap pihak perusahaan bisa membantu masyarakat untuk hal ini.
"Masa perusahaan sebesar ini nggak bisa ngadain air buat masyarakat di sini?" tanyanya, berharap ada perubahan nyata bagi kehidupan petani kecil sepertinya.

Situasi ini diperparah dengan seringnya gempa yang mengguncang wilayah mereka. Ardiansah mengaku tidak ingin berprasangka, namun ia tidak bisa menutup mata bahwa sejak proyek panas bumi beroperasi, guncangan gempa dirasakan semakin sering.
“Selama saya di sini udah dua kali, gempa yang begitu besar lah bisa merobohkan rumah itu udah dua kali selama saya di sini, nggak tahu itu dampaknya apakah dari perusahaan sini atau emang dari alam ya.” ucap Ardi.
Meski begitu, harapan tetap ada. Warga berharap agar perusahaan yang beroperasi di sana tidak hanya mengambil manfaat dari bumi mereka, tetapi juga memberikan solusi bagi masyarakat sekitar.

Sejumlah pihak telah mendorong adanya perbaikan dalam kebijakan dan implementasi proyek panas bumi di Gunung Halimun Salak. Transparansi dalam pengelolaan dana bagi hasil, bonus produksi dari hasil panas bumi, pemberdayaan masyarakat lokal, serta upaya mitigasi dampak lingkungan menjadi tuntutan utama.
Masyarakat berharap agar eksploitasi panas bumi tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi benar-benar memberikan dampak nyata bagi kehidupan mereka.
Eksploitasi sumber daya alam, jika dikelola dengan bijaksana, seharusnya menjadi berkah bagi masyarakat sekitar. Namun, jika keadilan tidak ditegakkan dan asas keberlanjutan diabaikan, maka potensi besar panas bumi di Gunung Halimun Salak bisa berubah menjadi ironi.
Kini, tantangannya adalah bagaimana menjadikan energi panas bumi sebagai instrumen kesejahteraan bagi masyarakat setempat, selaras dengan amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014.

Didin Sadilah, warga Kalapanunggal, Kabupaten Sukabumi, Jawa barat, salah satu pendiri Cikal Foundation, mengatakan berdasarkan laporan pemerintah bonus produksi tahunan berkisar antara 10 hingga 12 miliar rupiah, dengan rata-rata 12 sampai 13 miliar rupiah per tahun.
Hitungan Bonus Produksi berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2016 Tentang Besaran Dan Tata Cara Pemberian Bonus Produksi Panas Bumi berdasarkan Bonus Produksi dikenakan sebesar: 1 persen (satu persen) atas pendapatan kotor dari penjualan uap panas bumi; atau 0,5 persen (nol koma lima persen) atas pendapatan kotor dari penjualan listrik.
Di Kabupaten Sukabumi, sistem distribusi bonus produksi masih 50 persen: 50 persen, yaitu masing-masing dikelola pemerintah daerah dan diberikan kepada desa-desa di wilayah proyek (Kabandungan dan Kalapanunggal, yang mencakup 13 desa).

Dibandingkan daerah lain seperti Kabupaten Bogor yang menerapkan skema bonus produksi panas bumi 70 persen untuk desa, sistem di Sukabumi yang menerapkan skema 50 persen bonus produksi panas bumi, masih kurang menguntungkan bagi masyarakat lokal.
Oleh karena itu, Cikal Foundation yang Didin wakili, mendorong perubahan kebijakan agar distribusi dana lebih berpihak pada masyarakat. Sementara itu sebagai bentuk kontribusi terhadap daerah, perusahaan pengelola energi panas bumi memberikan Bonus Produksi yang disalurkan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2016 Tentang Bonus Produksi Panas Bumi.
Berdasarkan data dari Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Sukabumi mencatat besaran Bonus Produksi yang direalisasikan dari tahun 2020 hingga 2024. Dari total 100 persen pendapatan Bonus Produksi, 50 persen dikelola oleh pemerintah Pemkab Sukabumi untuk membiayai program prioritas pembangunan daerah yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Sementara 50 persen lainnya disalurkan ke desa-desa di wilayah proyek, yakni 2 Kecamatan diantaranya Kecamatan Kabandungan dan Kecamatan Kalapanunggal, yang mencakup 13 desa.
Berikut adalah data realisasi Bonus Produksi yang diterima Kabupaten Sukabumi dalam kurun waktu lima tahun terakhir:
• Tahun 2020 : Rp. 11.198.213.971,00
• Tahun 2021 : Rp. 12.526.136.302,00
• Tahun 2022 : Rp. 11.008.568.447,00
• Tahun 2023 : Rp. 14.330.140.614,00
• Tahun 2024 : Rp. 10.128.100.427,00

Meskipun jumlah bonus yang diterima cukup besar, realisasi manfaatnya bagi masyarakat sekitar masih menjadi perhatian. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa distribusi dana tersebut perlu lebih transparan dan tepat sasaran agar benar-benar dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.
Selain itu, ada tuntutan agar porsi dana yang dialokasikan untuk desa-desa di sekitar wilayah eksploitasi ditingkatkan, mengingat dampak langsung yang mereka rasakan dari aktivitas panas bumi.
Didin juga menyoroti bahwa sebagian besar dana bonus produksi hanya digunakan untuk infrastruktur. Padahal, menurutnya, alokasi dana seharusnya juga diarahkan ke pendidikan, kesehatan, dan ekonomi masyarakat agar dampaknya lebih berkelanjutan.
"Kalau investasi di infrastruktur, tiap tahun itu berkurang karena rusak. Tapi kalau investasi di pendidikan dan ekonomi, itu akan bertambah dan berkembang," jelasnya.
Didin menegaskan perlunya pemerintah daerah berkolaborasi dengan perusahaan untuk memastikan bahwa program-program sosial yang dijalankan bersifat berkelanjutan, bukan sekadar kegiatan seremonial atau event sponsorship semata.
Advokasi dan Perubahan Kebijakan Cikal Foundation mendorong pemerintah daerah untuk merevisi Peraturan Bupati No. 33 Tahun 2017, yang mengatur pembagian bonus produksi. Usulan perubahan mencakup:
- Meningkatkan pembagian ke masyarakat menjadi 70 persen untuk desa dan 30 persen untuk pemerintah daerah, mengikuti model kabupaten lain.
- Menentukan persentase penggunaan dana untuk infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
- Mengarahkan minimal 50 persen dana bonus produksi ke pengembangan ekonomi kerakyatan berbasis lingkungan.

Merujuk pada ketentuan Pasal 118 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, DBH Panas Bumi berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang bersumber dari iuran tetap dan iuran produksi panas bumi yang dibagikan oleh pemerintah pusat.
Adapun ketentuan pembagian 80 persen DBH Panas Bumi untuk pemerintah daerah ditetapkan sebagai berikut: 16 persen untuk provinsi bersangkutan, 32 persen untuk kabupaten/kota penghasil, 12 persen untuk kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan daerah penghasil, 12 persen untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang sama, dan 8 persen dialokasikan bagi kabupaten/kota yang memiliki fasilitas pengolahan panas bumi.
Berikut adalah data Dana Bagi Hasil (DBH) yang diterima oleh Pemda Kabupaten Sukabumi dalam kurun waktu lima tahun terakhir:
- 2020 : Rp. 64,523,438,722
- 2021 : Rp. 82,169,303,000
- 2022 : Rp. 64,291,415,000
- 2023 : Rp. 60,277,112,000
- 2024 : Rp. 210.378.472.190
Cikal Foundation juga mengadvokasi agar dana bagi hasil (DBH) panas bumi yang dialokasikan dapat kembali dialokasikan ke wilayah penghasil, seperti Kabandungan dan Kalapanunggal, untuk mempercepat pembangunan ekonomi lokal.

Jika disandingkan dengan keberadaan industri panas bumi yang telah beroperasi selama 43 tahun, fakta ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai efektivitas pemanfaatan sumber daya alam dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi mengamanatkan bahwa penyelenggaraan kegiatan panas bumi harus berlandaskan pada asas manfaat, efisiensi, keadilan, pengoptimalan ekonomi dalam pemanfaatan sumber daya energi, keterjangkauan, keberlanjutan, kemandirian, keamanan dan keselamatan, serta kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Namun, ketimpangan yang terjadi di Kecamatan Kabandungan dan Kalapanunggal menunjukkan bahwa prinsip-prinsip tersebut belum sepenuhnya terealisasi. Distribusi manfaat ekonomi dari industri panas bumi masih belum merata, menyebabkan kesenjangan yang signifikan antara potensi energi yang dihasilkan dan kesejahteraan masyarakat sekitar.

Berdasarkan data dari Dinas Sosial Kabupaten Sukabumi pada tahun 2024, jumlah penduduk Kecamatan Kabandungan tercatat sebanyak 46.643 jiwa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 40.390 jiwa masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), yang berarti mereka termasuk dalam kategori masyarakat prasejahtera. Sementara itu, hanya 6.253 jiwa yang terdata sebagai masyarakat sejahtera.
Situasi serupa terjadi di Kecamatan Kalapanunggal, yang memiliki total populasi 54.381 jiwa. Dari jumlah tersebut, 43.857 jiwa masuk dalam data DTKS, sedangkan hanya 10.524 jiwa yang terdata sebagai masyarakat sejahtera. Data ini mencerminkan bahwa mayoritas penduduk di sekitar wilayah operasi panas bumi masih berada dalam kondisi ekonomi yang sulit.

Salah satu potret nyata dari ketimpangan ini tergambar dalam kehidupan Ibu Tati, seorang warga Desa Nanggerang, Kalapanunggal Sukabumi, Jawa Barat. Ibu Tati bersama suaminya, yang bekerja sebagai tukang pijat keliling, harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pendapatan yang diperoleh tidak menentu, terkadang hanya Rp20.000 per hari, bahkan di tengah hujan suaminya tetap berjalan kaki untuk mencari pelanggan. Uang yang didapat langsung digunakan untuk membeli kebutuhan dasar, seperti beras satu liter, agar anak-anak mereka bisa makan sebelum berangkat sekolah.
“Kadang cuma dapat Rp20.000 habis hujan-hujanan. Itu pun langsung buat beli satu liter beras. Kalau gak ada uang, ya kami cuma bisa berdoa,” ujarnya dengan nada getir.
Anak-anak mereka sering kali harus berangkat sekolah tanpa sarapan. “Kasihan kalau nggak makan, takut sakit. Tapi mau bagaimana lagi?”
Di hadapannya, setumpuk daun pecah beling sebuah tanaman yang dikenal akan khasiatnya, ia pilah satu per satu tangannya yang cekatan menunjukkan pengalaman panjang dalam pekerjaan sederhana ini, sementara wajahnya menyimpan cerita berat tentang perjuangan hidup.
Memilah daun pecah beling menjadi salah satu cara Ibu Tati menambah penghasilan. Daun ini dijual untuk diolah menjadi obat herbal. Meski penghasilan mereka kecil, Ibu Tati tetap berusaha bekerja keras. “Nggak apa-apa kerja apa aja, yang penting halal,” ucapnya penuh keyakinan.
Ketika ditanya tentang peluang pekerjaan di proyek panas bumi Gunung Salak, Ibu Tati mengungkapkan bahwa suaminya pernah mencoba melamar pekerjaan di sana. Namun, ia ditolak karena hanya memiliki pendidikan setingkat SD kelas 3.
Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun eksploitasi panas bumi telah memberikan keuntungan ekonomi bagi perusahaan dan pemerintah, manfaatnya tidak dirasakan secara langsung oleh masyarakat sekitar yang masih bergelut dengan kemiskinan.
==
Liputan ini merupakan bagian dari program Fellowship “Mengawasi Proyek Strategis Nasional” yang didukung Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia