Oleh Tim Independen
INDEPENDEN--Dari pertengahan November hingga akhir Januari, setidaknya terdata 1.752 pengungsi Rohingya mendarat di Aceh. Penolakan etnis yang diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai kelompok yang paling malang di dunia ini di sejumlah kawasan di Aceh secara terang-terangan.
Padahal Aceh dulu adalah daerah yang menerima pengungsi Rohingya ini dengan tangan terbuka. Bahkan di saat pandemi Covid-19 yang membuat semua negara menutup kawasannya, justru Aceh yang menerima pengungsi ini.
Kebencian atas etnis Rohingya ini memang terkesan berlebihan. Bahkan pada Desember 2023 lalu, ratusan mahasiswa memaksa relokasi lebih dari seratus pengungsi Rohingya di Banda Aceh. Mereka menyerbu ruang serbaguna tempat mereka berlindung dan menendang barang-barang mereka.
Di Sabang Polisi bahkan memasang garis polisi untuk menghentikan warga setempat menyerbu tempat penampungan Rohingya di pulau Sabang, Aceh.
Pada Maret lalu, sebuah kapal yang membawa pengungsi Rohingya terbalik dan tenggelam di perairan Aceh Barat. Hingga akhirnya Basarnas menyelamatkan 69 pengungsi yang selamat.
Masyarakat Aceh mengaku mereka cukup jenuh dengan etnis Rohingya yang sudah ditolong namun justru sering menyusahkan, anti-sosial dan sering kabur.
Meskipun demikian ada fenomena baru yang cukup menarik setelah berbagai penolakan yang dilakukan masyarakat Aceh. Fenomena itu adalah memperebutkan pengungsi Rohingya untuk mendapatkan keuntungan dari lembaga internasional.
Maklum organisasi internasional mengelontorkan dana yang cukup besar untuk lokasi pengungsian dan fasilitas lainnya, yang belakangan diurus oleh masyarakat setelah pemerintah daerah “angkat tangan”.
Tulisan dari media Sinar Pidie ini cukup menarik untuk dibaca, dan secara lugas memberikan detil termasuk bagaimana beberapa kawasan saling berbagi keuntungan dengan hadirnya pengungsi Rohingya.
https://sinarpidie.co/news/saling-berebut-pengungsi-rohingya/index.html
.