Polisi Diduga Halangi Warga Dokumentasikan Eksekusi Lahan di Kawasan IKN, LBH Samarinda: Itu Pembungkaman

INDEPENDEN- Kepolisian diduga melakukan upaya pembungkaman ketika warga berusaha mendokumentasikan eksekusi lahan seorang warga di kawasan delienasi IKN, tepatnya di Jalan Negara RT 10, Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara. Polisi bahkan sempat mengambil ponsel warga untuk memastikan tak ada gambar atau video dari eksekusi tersebut.

Salah seorang sumber yang enggan disebutkan namanya menjelaskan, kejadian ini bermula ketika pada Kamis, 23 Januari 2024, Pengadilan PPU hendak mengeksekusi lahan seorang warga bernama Supriyadi. Sebab berdasarkan putusan pengadilan, lahan tersebut akan digunakan untuk kepentingan umum dan warga pemilik lahan berhak atas sejumlah dana ganti rugi.

Berdasarkan informasi diterima, lahan itu sudah dimiliki warga sejak 2007, dengan luas sekitar 6,5 hektare. Pemerintah disebut menghargai Rp200 ribu per meter lahan, ini termasuk tanam tumbuh di atas lahan berikut bangunan yang dimiliki warga. Maka, total dana ganti rugi yang disiapkan perintah yang kemudian dititipkan di pengadilan sekitar Rp20 miliar.

"Sebenarnya sudah lama (putusannya keluar) tapi mereka (warga pemilik lahan) tidak mau menerima uang ganti rugi. Maunya tanahnya kembali, seperti yang dimiliki sekarang," kata sumber tersebut.


Desember 2024, pengadilan bersama aparat gabungan TNI-Polri mendatangi lahan warga yang bakal diesekusi ini. Dalam kesempatan itu, mereka juga memasang plang pengumuman tanah diekseskusi per tanggal 12 Desember 2024. Dalam plang itu tertulis objek tanah tersebut diksekusi untuk kepentingan umum. 

Namun, kembali ada resistensi dari pemilik lahan ketika dieksekusi. Warga enggan pindah karena ingin penggantinya bukan nominal uang, tapi tetap lahan. Dia ingin lahan yang juga posisinya sama strategis (lahan yang sekarang posisinya di sisi jalan provinsi), pun tidak terlalu jauh dari IKN.


"Desember datang lagi, mereka pasang spanduk (plang) penyitaan. Tanya juga, betul tidak mau terima uang. Warga tetap tidak mau uang, maunya lahan," bebernya.

"Tapi tetap diminta kosongkan lahan. Harusnya tanggal 20 (Januari 2025) diminta pindah, terus ada kabar tanggal 25, nah ini dimajukan jadi tanggal 23," tambahnya.

Ketika eksekusi 23 Januari itu, pengadilan dan kepolisian disebut makin represif. Kali ini mereka bahkan sudah membawa dua unit alat berat, padahal warga masih menolak pindah dari lahannya. Belum ada opsi pula akan tinggal di mana. Padahal di atas lahan itu, buka cuma pemilik lahan dan keluarganya yang tinggal. Juga ada sekitar 10 orang calon penghafal qur’an. Sebab diketahui, pemilik lahan juga pengurus YPI Fastabiqul Khairat, sebuah yayasan yang mendukung anak-anak, khususnya kurang mampu, untuk belajar hafal al qur’an (hafiz qur’an) secara gratis.

Ketika upaya ekseskusi itulah, sejumlah warga menyaksikan dan coba melakukan dokumentasi. Namun ketika warga mulai mengambil gambar melalui kamera ponsel mereka, kepolisian diduga melarang.

"Bu, bu, hapus itu bu!" kata sumber kami ketika mengulangi ucapan polisi kepada warga yang merekam eksekusi lahan.
Sumber kami menyebut, ponsel warga disita. Polisi membuka galeri ponsel warga guna memastikan tak ada gambar atau video apapun yang diambil.

"Mereka tanya-tanya, lalu suruh hapus video," sebutnya.
“Desember itu juga sama (dilarang dokumentasi). Itu pun ada videonya (tersimpan) karena diambil sembunyi-sembunyi,” katanya.

LBH Samarinda: Kepolisian Lakukan Pembungkaman Warga

Direktur LBH Samarinda, Fathul Huda Wiyashadi mengatakan, apa yang dilakukan kepolisian ini adalah bentuk dari upaya pembungkaman dan menghalangin kebebasan berkespresi warga. Kepolisian, sebutnya, tak punya hak menghalangi atau melarang warga bila ingin mendokumentasikan eksekusi lahan tersebut.

"Bahkan di era keterbukaan informasi seperti ini, kalau mau disebarkan pun tidak ada masalah. Tidak ada unsur pidana, tidak ada unsur perdatanya. Masalahnya di mana, ini informasi, dan ini, kan, fakta," kata Fathul.

Fathul bilang, hal-hal yang dilakukan kepolisian ini, baik melakukan pembungkaman atau intimidasi terhadap warga di sekitar IKN sebenarnya sudah sering terjadi. Seringnya kebiasaan buruk ini dilakukan kepolisian, kata Fathul, sebab mereka tak punya instrumen berpikir yang jelas. Mestinya, bila polisi punya instrumen berpikir, sebut Fathul, mereka mestinya tidak sulit memahami hal sederhana seperti 'hak warga negara'.

"Represifitas aparat sudah berlebih dan mereka tidak belajar dari pengalaman-pengalaman terdahulu," tegasnya.

Dia menambahkan hal tersebut disinyalir sudah menjadi kebiasaan.  "Kebiasaan aparat ini. Makanya mereka perlu direformasi. Reformasi ini bukan hanya soal struktur, tapi juga instrumen berpikirnya tuh," pungkasnya. 

kali dilihat