Bengkulu Terancam, Sawit di Hutan Semakin Masif

Oleh: Betty Herlina

INDEPENDEN-  Negara terus mendorong agar sektor sawit menjadi industri yang berkelanjutan. Salah satunya dengan mengeluarkan instruksi Presiden No. 6 Tahun 2019– RAN-KSB, sebuah Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan.

Ada empat hal yang menjadi fokus RAN-KSB, yakni peningkatan kapasitas pekebun dan sertifikasi ISPO. Termasuk diplomasi dagang untuk melawan kampanye negatif terhadap sawit serta legalitas dan status lahan.

Menginjak usia regulasi yang nyaris lima tahun dikeluarkan, masih ada perusahaan sawit yang tidak patuh. Seperti yang terjadi di Provinsi Bengkulu.

Analisis spasial dan pengumpulan data yang dilakukan Genesis Bengkulu menunjukan ada 13 perusahaan sawit yang melakukan kegiatan usaha di dalam kawasan hutan secara ilegal tanpa adanya Persetujuan Penggunaan Kawasan hutan (PPKH).

“Ini terlihat secara terang-terangan melanggar hukum,” kata Direktur Yayasan Genesis, Egi Ade Saputra.

Dari 13 perusahaan tersebut, 8 perusahaan mengajukan penyelesaian melalui mekanisme Pasal 110 A dan B Undang-Undang Cipta Kerja. Yakni, PT Agro Nusa Rafflesia, PT Sandabi Indah Lestari, PT Agri Andalas Bengkulu, PT Alno Agro Utama, PT Mitra Puding Mas, PT Mukomuko Agro Sejahtera, PT Surya Andalan Primatama, dan PT Aqgra Persada.

Namun, Egi mengatakan pengajuan tersebut tidak berarti pelepasan tanggung jawab. Langkah administratif tersebut tidak serta merta menghapuskan kerusakan ekologis yang telah mereka timbulkan.

“Lebih memprihatinkan, 5 perusahaan lainnya justru tidak menunjukkan itikad baik sama sekali dengan belum mengajukan permohonan penyelesaian. Perusahaan-perusahaan ini seakan menganggap kawasan hutan sebagai lahan garapan pribadi tanpa konsekuensi,” kata Egi.

Tak hanya membabat hutan lanjut Egi, tindakan 13 perusahaan sawit tersebut juga ditengarai mempercepat laju deforestasi di Bengkulu.

Melansir data Global Forest Watch, Rabu (16/07/2025), dari tahun 2001 hingga 2024, Bengkulu kehilangan 1,81 hektare tutupan pohon, setara dengan 23% dari luas tutupan pohon tahun 2000, dan emisi CO₂e sebesar 990 kt. Angka ini belum memperhitungkan peningkatan tutupan pohon selama periode yang sama.

Dari tahun 2021 hingga 2024, 3,6% kehilangan tutupan pohon di Bengkulu terjadi di hutan alam. Total kehilangan tutupan pohon di hutan alam adalah 13 ha, setara dengan 6,71 kt emisi CO₂e.

Hutan penyangga kehidupan  

Akademisi Universitas Bengkulu, Yansen, P.hd mengatakan alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit berdampak dengan keberlanjutan ekosistem di Bengkulu. Secara prinsip, perubahan laham hutan ke vegetasi lain ataupun menjadi non hutan (non vegetasi) pasti akan mempengaruhi fungsi ekosistem hutan, terutama terkait sistem tata air, siklus karbon, iklim mikro serta daerah sekitarnya serta dampak terhadap biodiversitas.

Perubahan hutan menjadi non vegetasi, atau terbuka, seperti menjadi bukaan tambang, kata Yansen, memberikan dampak perubahan yang paling besar, karena fungsi vegetasi hilang.  Sedangkan perubahan hutan menjadi vegetasi lain, seperti perkebunan, walaupun tidak menghilangkan seratus persen fungsi vegetasi, tapi tetap akan menurunkan fungsi ekosistem dalam menjaga sistem tata air dan lainnya.

“Terkait perkebunan sawit, maka secara umum fungsi vegetasi dalam hal menjaga sistem tata air dan tanah akan berkurang dibandingkan dengan vegetasi hutan. Di samping itu, perkebunan sawit yang monokultur sangat berdampak pada penurunan biodiversitas. Walaupun, ada model konservasi biodiversitas pada perkebunan yang dapat diimplementasikan,” paparnya.

Lebih jauh, Yansen mengatakan perubahan lansekap tutupan hutan yang beragam dan didominasi pohon, ke vegetasi seragam, juga akan mempengaruhi iklim daerah. Hal ini karena misalnya akan ada perubahan pola hujan dan peningkatan temperatur.

Yansen mengatakan secara umum lahan sawit tetap dapat berfungsi sebagaimana tutupan vegetasi lain. Namun, dibandingkan tutupan hutan alam, ada penurunan kemampuan vegetasi sawit dalam meregulasi siklus air. Seperti terkait transpirasi total vegetasi yang dapat mempengaruhi pembentukan uap air dan hujan, infiltrasi air hujan ke dalam tanah dan aliran permukaan.

“Kemungkinan dampak lingkungan terkait dengan sistem tata air ini adalah kemungkinan banjir di musim hujan (karena air hujan intensitas tinggi, tapi tidak mampu diregulasi dengan baik oleh vegetasi dalam jalan aliran permukaan) dan kekeringan di musim kemarau (karena simpanan air permukaan yang tidak banyak),” lanjutnya.

Selain itu penggunaan pupuk intensif dan sistem monokultur juga meningkatkan kemungkinan lahan kritis dan dampak lingkungan lainnya adalah kehilangan biodiversitas.

Egi: Tindak Perusahaan Sawit Nakal

Genesis Bengkulu, kata Egi mendesak tindakan nyata pemerintah dan aparat penegak hukum atas tindakan 13 perusahaan sawit di Provinsi Bengkulu yang terbukti melakukan kegiatan usaha di dalam kawasan hutan secara ilegal tanpa adanya Persetujuan Penggunaan Kawasan hutan (PPKH).  

“Satgas Penanganan Kawasan Hutan (PKH) didesak untuk segera mengambil tindakan tegas dengan memproses hukum semua perusahaan yang melakukan pelanggaran tanpa terkecuali,” kata Egi.

Genesis juga menyoroti absennya pengumuman resmi dari kementerian terkait soal perusahaan mana saja yang permohonannya diterima. Pasalnya, ketiadaan transparansi memperbesar risiko permainan kotor yang merugikan kepentingan publik dan keberlanjutan lingkungan.

“kawasan hutan adalah benteng bagi keanekaragaman hayati dan penyangga kehidupan. Setiap hektar hutan yang dikorbankan untuk kepentingan korporasi yang rakus adalah pengkhianatan terhadap generasi masa depan,” tegas Egi.

Egi meminta pemerintah untuk melakukan penegakan hukum terhadap korporasi melakukan kerusakan kawasan hutan sudah jelas disebutkan dalam UU No.41 Tahun 1999, UU No.32 Tahun 2009, UU No.18 Tahun 2013, KUHP dan Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, PP No 24 Tahun 2021, PP No 22 Tahun 2021 dan Permen LHK No.8 Tahun 2021.

Jika negara gagal bertindak, maka deforestasi akan terus meluas, bencana ekologis akan semakin sering terjadi, dan rakyatlah yang menanggung derita,” kata Egi.

Terpisah, Yansen mengatakan saat ini aturan perlindungan hutan, beserta sanksi pelanggaran, sudah cukup komprehensif disusun oleh pemerintah seperti UU Kehutanan beserta aturan turunannya, serta aturan perlindungan lingkungan hidup. “Namun implementasi di lapangan untuk perlindungan hutan, termasuk penindakan tindakan pelanggaran hukum masih lemah,” pungkas Yansen.

kali dilihat