Oleh: Ais Fahira
INDEPENDEN- Setiap kali ombak pasang, rumah-rumah di pesisir makin dekat dengan laut. Tiang-tiang kayu yang dulu berdiri kokoh kini miring, sebagian pondasi rumah hilang terseret gelombang.
Di tengah keindahan laut biru dan angin asin yang menyapa, ada masyarakat pesisir yang hidup dalam kecemasan. Sebab abrasi perlahan memakan tempat tinggal mereka. Setiap tahun, laju abrasi di beberapa wilayah pesisir Indonesia bisa mencapai belasan meter. Tanah yang dulu tempat bermain anak-anak kini berubah jadi hamparan air asin.
Oleh karena itu perlu usaha menahan abrasi agar lingkungan hidup masyarakat pesisir tetap ada yaitu dengan adanya hutan mangrove
Hutan mangrove atau sering disebut hutan payau atau hutan bakau—tumbuh di sepanjang pesisir pantai, muara sungai, bahkan di rawa-rawa gambut. Akar-akar khasnya yang menjulang ke udara seperti jari-jari tangan, menjadi simbol keteguhan menghadapi gelombang. Komunitas mangrove bergantung pada kondisi alam: tipe tanah, kadar garam, pasang surut air laut, dan hempasan ombak. Tanah berlumpur menjadi media terbaik bagi sebagian besar spesies mangrove di Indonesia.
Namun, hutan ini bukan sekadar benteng hijau. Tetapi juga merupakan rumah bagi berbagai jenis ikan, burung, dan kepiting. Ia juga menjadi penyangga ekosistem laut dan sumber kehidupan masyarakat sekitar. Ketika mangrove rusak, bukan hanya hewan laut yang kehilangan tempat tinggal, manusia pun kehilangan pelindung alami mereka.
Jumlah Hutan Mangrove Indonesia
Menurut data World Bank Group, Indonesia menyumbang sekitar 23 persen mangrove dunia, dengan luas mencapai 3,5 juta hektare. Artinya, hampir seperempat dari seluruh hutan mangrove di bumi tumbuh di negeri ini. Mangrove yang tumbuh di pesisir dan muara sungai berfungsi sebagai penghalang alami terhadap abrasi dan banjir rob.
Selain itu, hutan mangrove juga menjadi penyerap karbon raksasa, dapat menyimpan hingga 3,1 miliar ton karbon, setara dengan emisi gas rumah kaca dari sekitar 2,5 miliar kendaraan yang digunakan selama setahun. Dengan kata lain, hutan mangrove bukan hanya menyelamatkan pesisir, tapi juga membantu dunia melawan perubahan iklim.
Target Rehabilitasi yang Belum Tercapai
Sayangnya, kehebatan itu perlahan terkikis oleh keserakahan manusia. Hilangnya mangrove di Indonesia sebagian besar dipicu oleh alih fungsi lahan—menjadi tambak, kawasan industri, perkebunan sawit, dan pembangunan pesisir. Di beberapa tempat, pohon-pohon bakau ditebang untuk membuka jalan atau dijadikan bahan bangunan. Padahal sekali rusak, butuh waktu bertahun-tahun bagi mangrove untuk tumbuh kembali dan menstabilkan ekosistemnya.
Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah berupaya memperbaiki kerusakan itu. Melalui Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), dicanangkan target rehabilitasi mangrove seluas 600.000 hektare dari 2021 hingga tahun 2024. Program ini menjadi bagian dari komitmen Indonesia untuk mengatasi krisis iklim dan menjaga keberlanjutan pesisir.
Namun hingga awal 2024, realisasi target tersebut baru mencapai sekitar 130.000 hektare—baru sekitar 22 persen dari total yang direncanakan. Banyak tantangan di lapangan: mulai dari keterbatasan anggaran, kondisi lokasi yang sulit ditanami, hingga kurangnya sosialisasi di tingkat masyarakat.
Sering kali proyek penanaman hanya berhenti di seremonial saja, ribuan bibit ditancapkan di lumpur, difoto, lalu dibiarkan begitu saja. Beberapa bulan kemudian, bibit-bibit itu mati karena tidak dirawat, atau karena masyarakat sekitar tidak dilibatkan dalam proses perawatannya. Inilah yang sering menjadi sorotan oleh banyak aktivis lingkungan. Bahwa menanam bukan sekadar menancapkan bibit, tapi memastikan akar itu tumbuh dan hidup.
Gerakan Akar Rumput dan Anak Muda
Di sisi lain, banyak gerakan kecil justru lahir dari akar rumput. Komunitas lokal dan anak muda di berbagai daerah membuktikan bahwa menjaga mangrove bukan pekerjaan instansi, tapi tanggung jawab bersama. Di pesisir Jakarta misalnya, Mangrove Jakarta Community rutin menanam dan merawat bakau sambil mengedukasi warga. Di Aceh, sekelompok pemuda membangun wisata edukasi mangrove yang memberi penghasilan alternatif bagi warga sekitar. Di Sulawesi, kelompok nelayan menanam mangrove untuk menahan abrasi dan melindungi tambak mereka dari air asin.
Gerakan semacam ini menumbuhkan harapan baru. Dari aksi kecil, lahir kesadaran besar bahwa lingkungan dan kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan. Anak-anak muda yang tumbuh di era digital kini mengangkat isu mangrove di media sosial, membuat video edukatif, hingga menggalang donasi untuk penanaman pohon. Mereka mungkin tidak punya kekuasaan besar, tapi punya semangat dan jangkauan yang luas untuk menggerakkan lebih banyak orang.
Ketika berbicara tentang pesisir yang perlahan tenggelam, kita sering lupa bahwa ancaman terbesar bukan hanya dari laut yang naik, tapi dari ketidakpedulian. Sebab tanpa mangrove, tanpa kesadaran bersama, masyarakat pesisir akan terus menjadi korban pertama dari krisis iklim.
Akar yang Saling Menguatkan
Hutan mangrove mengajarkan satu hal penting: bahwa kekuatan sejati justru tumbuh di lumpur. Di tempat yang tampak kotor dan sunyi, akar-akar saling berjalin, saling menopang agar tidak roboh diterpa ombak. Begitu pula manusia. Jika kita bisa bergandeng tangan, melibatkan warga, pemerintah, dan generasi muda, maka benteng itu akan kokoh.
Karena di tengah laut yang kian menelan daratan, benteng itu bernama mangrove—tumbuhan sederhana yang menahan abrasi, menyerap karbon, dan diam-diam menyelamatkan hidup jutaan orang di pesisir Indonesia.