Koalisi Masyarakat Sipil Somasi Presiden dan DPR terkait Draf KUHAP

 

INDEPENDEN — Komisi III DPR RI dan Pemerintah resmi menyetujui Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUUKUHAP) untuk dibawa ke Sidang Paripurna DPR pada Selasa pekan depan guna disahkan. 

Keputusan ini diambil setelah Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP melakukan rapat pembahasan yang hanya berlangsung selama dua hari, yaitu pada 12–13 November 2025, menjelang penutupan masa sidang.

Pembahasan super singkat itu mengundang kritik luas dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP, yang menilai proses legislasi berlangsung tertutup, tidak substansial, dan bahkan memuat klaim keliru atas nama organisasi masyarakat sipil. 

“Pemerintah dan DPR untuk segera melakukan klarifikasi dan minta maaf kepada publik secara luas… Karena memberikan informasi yang tidak benar atau kebohongan atas masukan  yang diklaim sebagai masukan dari kami” kata Arif Maulana, Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dalam konferensi pers di Jakarta pada Minggu (16/11)

Arif mengatakan bahwa RUUKUHAP mengalami kemunduran dibanding hukum acara pidana yang telah berlaku selama lebih dari 40 tahun.

Dari hasil pemantauan Koalisi, sejumlah bagian pembahasan Panja yang disebut sebagai masukan dari masyarakat sipil ternyata tidak pernah diusulkan dalam bentuk apa pun, baik melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), penyerahan Draf Tandingan RUUKUHAP, maupun dokumen masukan lainnya.

Dalam rapat Panja yang disiarkan secara live streaming, Pemerintah dan Komisi III DPR RI membacakan beberapa pasal yang diklaim sebagai hasil masukan dari organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi, seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), LBH APIK, Lokataru Foundation, ILRC, Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas, hingga Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Namun, Koalisi menyatakan bahwa sebagian besar masukan tersebut tidak akurat, bahkan memiliki perbedaan substansi yang signifikan dengan masukan resmi yang pernah mereka ajukan.

Mereka menilai proses ini sebagai bentuk orkestrasi kebohongan, dengan tujuan menimbulkan kesan bahwa DPR dan Pemerintah telah menyerap seluruh pandangan masyarakat.

Misalnya, DPR mengklaim bahwa Koalisi mengusulkan perluasan alat bukti melalui pengamatan hakim dalam Pasal 222 draf RUUKUHAP. 

Koalisi menegaskan tidak ada satu pun anggotanya yang memberikan masukan tersebut. 

Begitu pula klaim terhadap YLBHI mengenai usulan pasal baru tentang Pelindungan Sementara. YLBHI menyatakan tidak pernah mengajukan masukan redaksional atau usulan pasal baru sebagaimana dibacakan dalam rapat Panja.

Selain itu, LBH APIK dan Organisasi Penyandang Disabilitas Nasional disebut memberikan masukan terkait Pasal 208 mengenai keterangan saksi penyandang disabilitas yang tidak bisa disumpah. 

Koalisi mengklarifikasi bahwa masukan resmi mereka tidak sebagaimana dikutip DPR.

Koalisi menyatakan bahwa tindakan tersebut menunjukkan adanya meaningful manipulation, yaitu memutarbalikkan atau menyelewengkan masukan demi melegitimasi pasal-pasal bermasalah dalam RUU KUHAP.

Untuk membuktikan perbedaan substansi, Koalisi kembali merilis tautan dokumen resmi, termasuk Draf Tandingan versi Masyarakat Sipil (8 Juli 2025), sembilan Masalah Krusial dalam RUU KUHAP, Pasal-Pasal Bermasalah RUU KUHAP Hasil Pembahasan Panja (11 Juli 2025) dan permintaan Klarifikasi dan Respons DPR RI Terhadap Usulan Koalisi.

“Pada Juli 2025, atensi publik tinggi, sehingga pemerintah membuka waktu untuk pembahasan, kemudian akhirnya panja DPR RI melanjutkan pembahasan di 12-13 November dan pembahasannya selected,” kata Peneliti ICJR Iftitah Sari.

Menurut Tita — begitu dia disapa— pihaknya tidak tahu bagaimana pembahasan itu. Pihaknya hanya menyimak dari livestreaming Youtube dan website DPR belum ada draft KUHAP terbaru yang dibahas.

“Kita menolak draf itu dan minta dibahas ulang,” kata Tita.

 

Pasal Bermasalah menurut Koalisi

Koalisi menilai bahwa pembahasan RUU KUHAP pada 12–13 November mengulang pola rapat sebelumnya pada Juli 2025. Tidak ada pembahasan serius atas pasal-pasal bermasalah, termasuk pasal karet dan pasal yang menyuburkan penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum. Sejumlah isu fundamental kembali diabaikan.

1. Semua Bisa Dijebak Aparat — Operasi Penyelidikan Tak Terkontrol

RUU KUHAP memasukkan undercover buy dan controlled delivery dalam Pasal 16 sebagai bagian dari metode "penyelidikan", bukan lagi penyidikan. 

Artinya, metode yang sebelumnya hanya berlaku untuk tindak pidana khusus seperti narkotika kini dapat digunakan untuk semua jenis tindak pidana tanpa batasan yang jelas. Lebih jauh, metode tersebut bahkan dapat digunakan sebelum ada kejelasan apakah suatu tindak pidana memang terjadi.

Koalisi menilai ketentuan ini berpotensi membuka ruang penjebakan (entrapment), karena aparat dapat menciptakan tindak pidana, menetapkan pelakunya, dan menyusun konstruksi perkaranya tanpa kontrol yudisial.

2. Semua Bisa Ditangkap dan Ditahan di Tahap Penyelidikan

RUU KUHAP membuka peluang penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, hingga penahanan pada tahap penyelidikan, padahal pada tahap ini belum ada konfirmasi adanya tindak pidana. 

Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 5 dan jauh lebih longgar dibandingkan KUHAP saat ini, yang tidak mengizinkan penahanan pada tahap penyelidikan.

Koalisi menyebut ketentuan ini memberi kewenangan aparat untuk menahan seseorang berdasarkan dugaan awal tanpa mekanisme kontrol dari pengadilan.

3. Semua Bisa Ditangkap Tanpa Izin Hakim — Habeas Corpus Hilang

Pasal 90 dan 93 RUU KUHAP tidak memperbaiki persoalan klasik: minimnya pengawasan pengadilan terhadap penangkapan dan penahanan. 

Tidak ada mekanisme habeas corpus, yaitu hak seseorang untuk segera diuji legalitas penahanannya oleh hakim. RUU KUHAP justru memperluas ruang penyalahgunaan dengan skema alternatif penahanan: penyidik dapat memilih menggunakan surat perintah sendiri tanpa perlu penetapan hakim.

4. Semua Bisa Disadap dan Digeledah Berdasarkan Penilaian Subjektif Aparat

RUU KUHAP memperbolehkan penggeledahan, penyitaan, pemblokiran, dan penyadapan tanpa izin hakim dalam kondisi yang dinilai “mendesak” oleh aparat (Pasal 105, 112A, 132A, 124). 

Padahal, UU khusus tentang penyadapan belum terbentuk, sehingga mekanisme kontrol yudisial tidak ada. Koalisi menilai hal ini membuka ruang pelanggaran privasi dan ancaman pemerasan, mengingat data pribadi dapat dikuasai tanpa batasan yang jelas.

5. Semua Bisa Dipaksa Damai — Celah Penyalahgunaan RJ

Dalam Pasal 74a, kesepakatan damai antara pelaku dan korban dapat dilakukan pada tahap penyelidikan, padahal pada tahap tersebut belum dapat dipastikan adanya tindak pidana. RUU KUHAP juga mempersempit peran hakim dalam penetapan penghentian penyidikan, sehingga mekanisme keadilan restoratif berpotensi hanya menjadi “stempel” tanpa pemeriksaan substansial.

Koalisi khawatir ketentuan ini membuka ruang pemerasan, paksaan, dan praktik damai paksa di ruang gelap penyelidikan.

 

6. Semua Penyidik Polri — Sentralisasi Kekuasaan

Pasal 7 dan 8 RUU KUHAP menempatkan seluruh PPNS dan Penyidik Khusus di bawah koordinasi polisi. 

Koalisi menyebut hal ini menjadikan Polri sebagai lembaga superpower, padahal selama ini lembaga tersebut sering mendapat sorotan terkait akuntabilitas, maladministrasi, penanganan perkara, serta impunitas terhadap pelanggaran yang melibatkan anggotanya sendiri.

RUU KUHAP juga membatasi akses bantuan hukum, bertentangan dengan prinsip bantuan hukum sebagai hak dasar.

7. Penyandang Disabilitas Rentan Tersisih

Koalisi menilai banyak pasal dalam RUU KUHAP bersifat ableistik. Tidak ada kewajiban penyediaan akomodasi layak bagi penyandang disabilitas, membuka ruang proses hukum yang diskriminatif. Pasal 137A bahkan membuka kemungkinan penghukuman tanpa batas waktu bagi penyandang disabilitas mental dan intelektual. 

Sementara Pasal 99 menambah durasi penahanan hingga 60 hari untuk orang dengan gangguan fisik atau mental berat.

8. Semua Bisa Kena karena RUU Dipaksakan Tanpa Transisi

RUU KUHAP mulai berlaku 2 Januari 2026, tanpa masa transisi yang memadai. Ada lebih dari 10 peraturan pemerintah yang harus disusun dalam waktu satu tahun. Koalisi memperingatkan potensi kekacauan implementasi karena aparat dan infrastruktur belum siap, apalagi substansi RUU KUHAP dinilai belum mengakomodasi perubahan KUHP Baru secara memadai.

 

Koalisi Melayangkan Somasi Terbuka

"Masukan publik tidak boleh diabaikan begitu saja atau hanya kemudian dijadikan etalase sekedar didengar, tapi kemudian tidak pernah dipertimbangkan atau diakomodir," kata Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana.

Menurut dia, masukan-masukan itu penting dan berharga, dan menjadi kebutuhan real dari masyarakat sipil, dari masyarakat yang selama ini menjadi korban

Draf KUHAP tersebut dinilai tidak mengakomodir poin-poin yang telah disampaikan koalisi masyarakat sipil.

Atas berbagai temuan dan penyimpangan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP melayangkan somasi terbuka kepada Presiden RI, DPR RI, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Sekretariat Negara.

Somasi tersebut mencakup lima tuntutan utama yaitu Presiden menarik draf RUU KUHAP agar tidak dibahas pada Tingkat II paripurna dan memastikan proses penyusunan aturan hukum acara pidana yang transparan, akuntabel, dan berlandaskan prinsip fair trial serta perlindungan HAM.

Kedua, koalisi meminta DPR membuka dan mempublikasikan draf terbaru RUU KUHAP hasil pembahasan Panja pada 12–13 November 2025, beserta dokumen masukan yang dijadikan dasar pembahasan.

Kemudian Koalisi meminta Pemerintah dan DPR merombak substansi RUU KUHAP sesuai kebutuhan penguatan judicial scrutiny dan mekanisme check and balances, sebagaimana konsep dalam Draf Tandingan versi masyarakat sipil.

Tuntutan lain adalah Menghentikan alasan menyesatkan publik terkait kebutuhan mendesak pemberlakuan KUHP Baru, yang dijadikan pembenaran untuk mempercepat pengesahan RUU KUHAP.

Dan terakhir Pemerintah dan DPR meminta maaf kepada publik, karena telah memberikan informasi palsu berupa klaim masukan masyarakat sipil yang tidak pernah diberikan.

Koalisi menegaskan bahwa RUU KUHAP yang dipaksakan secara terburu-buru, tanpa transparansi, serta tanpa memperbaiki substansi bermasalah, berpotensi menjadikan semua warga negara rentan ditangkap, ditahan, disadap, dan direkayasa menjadi tersangka.

Draft Tandingan

Pada 8 Juli 2025, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP merilis Draf Tandingan RUU KUHAP sebagai bentuk perlawanan terhadap RUU KUHAP versi DPR yang dinilai mengkhianati prinsip negara hukum, hak asasi manusia, dan demokrasi. 

Selama proses legislasi, draf resmi RUU KUHAP menunjukkan kecenderungan otoritarian, memperluas kewenangan aparat tanpa kontrol efektif, serta mengecilkan peran korban, pendamping hukum, dan warga negara dalam proses peradilan pidana.

Sebaliknya, Draf Tandingan disusun secara kolektif oleh puluhan organisasi masyarakat sipil lintas isu, dengan mengusung prinsip perlindungan hak-hak dasar bagi tersangka, terdakwa, korban, saksi, hingga penyandang disabilitas; pengawasan ketat terhadap upaya paksa melalui Hakim Komisaris yang independen; penguatan akses terhadap bantuan hukum dan keadilan restoratif; serta mekanisme keberatan dan pemulihan hak bagi korban penyalahgunaan wewenang. Draf ini juga mendorong pembaruan sistem peradilan pidana yang demokratis, transparan, dan akuntabel.

Dokumen alternatif ini menjadi kontrapropaganda hukum atas legislasi bermasalah yang tengah didorong DPR. Ia adalah seruan bahwa hukum pidana tidak boleh menjadi alat kekuasaan yang membungkam, melainkan jaminan atas martabat manusia dan keadilan sosial.

 

kali dilihat