“Politik Keluarga” Penyimpangan Demokrasi yang Dianggap Wajar

 

INDEPENDEN – Sebelum pemilu legislatif Februari lalu, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus sudah woro-woro mengingatkan para pemilih untuk lebih hati-hati dalam menentukan pilihan.  Kekhawatiran Lucius ini didasarkan fenomena “politik keluarga” yang bisa terjadi pada pelaksanaan Pemilu 2024.

Menurut Lucius, ada beberapa penyebab yang membuat potensi politik keluarga bisa menjadi marak di 2024, antara lain pertama, tidak adanya perubahan dari sisi legal formal terkait aturan kompetisi di 2024.

Alasan lainnya terdapat penambahan daerah pemilihan, kursi legislatif serta penambahan partai politik peserta pemilu, sehingga kebutuhan calon yang akan diusung dalam pemilu legislatif, presiden ataupun pilkada, menjadi bertambah banyak pula.

Parahnya lagi, tidak semua partai politik siap dengan kader yang matang untuk menjadi calon peserta pemilu. Sebagian bahkan merupakan partai politik baru.

Formappi menunjukkan sebanyak 50 calon legislatif memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat tertentu. Kasus kekerabatan ini mencakup hubungan seperti ayah-anak dan suami-istri.

Selain dinasti politik yang melibatkan hubungan antara ayah-anak, suami-istri, atau ayah-keponakan, Formappi juga menemukan fenomena baru. Terdapat ketua partai yang membawa seluruh keluarganya maju di Pileg 2024.

Fenomena ini memperlihatkan ekspansi dan diversifikasi lebih lanjut dalam praktik politik dinasti.

Pernyataan Lucius ini memang terjadi di lapangan. Yang paling mencolok adalah pemilik MNC Group, Hary Tanoesoedibjo yang memboyong istri dan semua anaknya maju sebagai caleg dengan menggunakan partai miliknya; Perindo. Partai Perindo memang masih belum memenuhi persyaratan untuk masuk ke parlemen, namun sudah membuktikan bahwa Politik keluarga ini memang nyata.

Hary Tanoesoedibjo tidak sendirian. Berdasarkan data Formappi, Pada pileg 2014 lalu, ada 15 kerabat Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono juga maju sebagai caleg lewat Partai Demokrat.  Tentu saja semua caleg ini punya kemudahan karena hubungan kekerabatan dengan ketua umumnya.

Formappi sendiri yakin bahwa politik kekeluargaan yang menyimpang ini bisa dicegah dengan aturan yang lebih tegas dan jelas. Masalahnya fenomena ini terus terjadi di setiap pemilu dan bisa ditebak selalu diabaikan.

Bagaimana dengan di daerah? Kalau saja di pemerintah pusat bisa mengangkangi etika dalam hal ini, konon pula di daerah.  Misalnya saja di Bali. ada 69 orang caleg yang memiliki hubungan keluarga dengan tokoh publik, yang akan akan bertarung pada Pemilu 2024.

Berita tentang dinasti politik di Bali bisa dibaca di https://radarbuleleng.jawapos.com/bali/2164157743/dinasti-politik-di-bali-jejak-keluarga-politisi-pada-pemilu-2024

 

kali dilihat